Jumat, 25 Juli 2008

Revisi UU Perikanan Merujuk Australia

Kerugian akibat pencurian ikan Rp 30 triliun per tahun.

Jakarta -- Pemerintah berencana akan merevisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, khususnya yang terkait hukum acara. Beberapa pasal yang akan disempurnakan, antara lain, merujuk hukum kelautan Australia yang memberi kewenangan petugas patroli menenggelamkan dan membakar kapal asing yang melanggar.

"Kami ingin mengadopsi hal semacam itu," kata Direktur Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (P2SDKP) Aji Sularso kepada Tempo di Departemen Kelautan dan Perikanan akhir pekan lalu.

Selain itu, ia melanjutkan, penyidik dari TNI Angkatan Laut, polisi, dan aparat Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) perlu diberi kewenangan untuk secepatnya melelang barang bukti ikan agar tidak membusuk. "Hasilnya dimasukkan ke kas negara," ujar Aji. Sedangkan kapal yang tertangkap dapat digunakan negara untuk menambah aset.

Aji juga menyebut perlunya batas waktu penuntutan dipercepat, birokrasi dirampingkan agar tidak berbelit, dan proses peradilan diperkuat agar lebih tegas. Saat ini terdapat lima pengadilan perikanan, yaitu di Jakarta Utara, Medan, Pontianak, Bitung, dan Tual. "Jumlah ini harus ditambah, yaitu di Tanjung Pinang dan Natuna," ujarnya.

Ia juga menyoroti Pasal 8 dan 9 Undang-Undang Perikanan yang dinilai kurang tegas. Selama ini, Aji mencontohkan, pelanggaran alat tangkap dan fishing ground hanya dimasukkan dalam kategori pelanggaran dengan denda hanya Rp 250 juta. Hal semacam itu, kata dia, seharusnya masuk kategori pidana dengan sanksi lebih berat. "Bisa didenda Rp 2,5 miliar."

Penguatan aspek legal itu terkait dengan tingginya tingkat pencurian ikan di perairan Indonesia oleh kapal-kapal asing. Data di Departemen Kelautan dan Perikanan mencatat kerugian Rp 30 triliun per tahun.

Selain aspek legal, menurut Aji Sularso, untuk mengurangi pencurian, strategi sistem komando operasi tak akan lagi memakai telegram karena rawan bocor. "Kami akan menggunakan peta satelit pergerakan ikan dan kapal yang berlayar," ujarnya.

Ia menyebut Natuna, perairan Sulawesi Selatan, yang berbatasan dengan Filipina, serta Laut Arafuru sebagai wilayah rawan pencurian. Idealnya, di tiga wilayah itu minimal ada 30 kapal patroli. Saat ini kapal yang dimiliki DKP hanya 21 unit. "Ini adalah kelemahan kita," kata Aji.


Sekretaris Jenderal Koalisi untuk Keadilan Perikanan (KIARA) M. Riza Damanik mengatakan kenaikan harga bahan bakar minyak telah menurunkan kemampuan patroli. Saat ini, satu unit kapal hanya berpatroli sekitar 70 hingga 80 jam dari sebelumnya 100 jam. Padahal tren kejahatan perikanan justru meningkat.

Riza menyarankan, selain memperkuat aspek legal, perlu aksi diplomasi dengan negara regional soal pencurian ikan. "Biar mereka ikut menekan warganya yang mencuri," katanya.

Jika tidak, ia memperkirakan pada 2015 Indonesia akan krisis ikan karena habis dicuri. Selain itu, konsumsi ikan nasional meningkat menjadi 26 kilogram per kapita per tahun. Sehingga, kebutuhan domestik ikan mencapai lebih dari 4,8 juta ton per tahun dan kebutuhan ekspor ikan meningkat menjadi 1,2 juta ton. Ismi Wahid | Sudrajat. (Koran Tempo) Senin, 21 Juli 2008.

(Pengirim : Mukhtar, A.Pi Satker PSDKP Kendari http://mukhtar-api.blogspot.com )

Tidak ada komentar: