Senin, 05 Mei 2014

Illegal Fishing di Indonesia

Samudera Pasifik merupakan daerah yang tingkat pelanggarannya cukup tinggi dibanding dengan wilayah lainnya. Pelanggaran-pelanggaran tersebut terutama dilakukan oleh KIA yang berasal dari berbagai negara diantaranya Thailand, Vietnam, China, dan Filipina.  
Pengertian Illegal Fishing merujuk kepada pengertian yang dikeluarkan oleh International Plan of Action (IPOA) – Illegal, Unreported, Unregulated (IUU) Fishing yang diprakarsai oleh FAO dalam konteks implementasi Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF). Pengertian Illegal Fishing dijelaskan sebagai berikut.
Illegal Fishing, adalah :
1. Kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh suatu negara tertentu atau kapal asing di perairan yang bukan merupakan yuridiksinya tanpa izin dari negara yang memiliki yuridiksi atau kegiatan penangkapan ikan tersebut bertentangan dengan hukum dan peraturan negara itu (Activities conducted by national or foreign vessels in waters under the jurisdiction of a state, without permission of that state, or in contravention of its laws and regulation).
2. Kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh kapal perikanan berbendera salah satu negara yang tergabung sebagai anggota organisasi pengelolaan perikanan regional, Regional Fisheries Management Organization (RFMO) tetapi pengoperasian kapal-kapalnya bertentangan dengan tindakan-tindakan konservasidan pengelolaan perikanan yang telah diadopsi oleh RFMO. Negara RFMO wajib mengikuti aturan yang ditetapkan itu atau aturan lain yang berkaitan dengan hukum internasional (Activities conducted by vessels flying the flag of states that are parties to a relevant regional fisheries management organization (RFMO) but operate in contravention of the conservation and management measures adopted by the organization and by which states are bound, or relevant provisions of the applicable international law).
3.
 Kegiatan penangkapan ikan yang bertentangan dengan perundang-undangan suatu negara atau ketentuan internasional, termasuk aturan-aturan yang ditetapkan negara anggota RFMO (Activities in violation of national laws or international obligations, including those undertaken by cooperating stares to a relevant regioanl fisheries management organization (RFMO).
Walaupun IPOA-IUU Fishing telah memberikan batasan terhadap pengertian IUU fishing, dalam pengertian yang lebih sederhana dan bersifat operasional
Illegal fishing dapat diartikan sebagai kegiatan perikanan yang melanggar hukum.
Illegal Fishing di Indonesia
Kegiatan Illegal Fishing yang paling sering terjadi di wilayah pengelolaan perikanan Indonesia adalah pencurian ikan oleh kapal-kapal ikan asing (KIA) yang berasal dari beberapa negara tetangga (neighboring countries). Walaupun sulit untuk memetakan dan mengestimasi tingkat illegal fishing yang terjadi di WPP-RI, namun dari hasil pengawasan yang dilakukan selama ini, (2005-2010) dapat disimpulkan bahwa illegal fishing oleh KIA sebagian besar terjadi di ZEE (Exlusive Economic Zone) dan juga cukup banyak terjadi di perairan kepulauan (archipelagic state). Pada umumnya, Jenis alat tangkap yang digunakan oleh KIA atau kapal eks Asing illegal di perairan Indonesia adalah alat-alat tangkap produktif seperti purse seine dan trawl.Kegiatan illegal fishing juga dilakukan oleh kapal ikan Indonesia (KII). 
Beberapa modus/jenis kegiatan illegal yang sering dilakukan KII, antara lain: penangkapan ikan tanpa izin (Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP) dan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) maupun Surat Izin Kapal Pengangkutan Ikan (SIKPI)), memiliki izin tapi melanggar ketentuan sebagaimana ditetapkan (pelanggaran daerah penangkapan ikan, pelanggaran alat tangkap, pelanggaran ketaatan berpangkalan), pemalsuan/manipulasi dokumen (dokumen pengadaan, registrasi, dan perizinan kapal), transshipment di laut, tidak mengaktifkan transmitter (khusus bagi kapal-kapal yang diwajibkan memasang transmitter), dan penangkapan ikan yang merusak (destructive fishing) dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang membahayakan melestarikan sumberdaya ikan.
Sampai dengan tahun 2008, kegiatan illegal fishing di perairan Indonesia, terbilang cukup tinggi dan memprihatinkan, sebagaimana diilustrasikan pada Gambar...
Gambar ..
Tingkat Pelanggaran Peraturan Perundang-undangan Perikanan
di WPP-RI
Faktor -faktor yang menyebabkan terjadinya Illegal fishing di perairan Indonesia tidak terlepas dari lingkungan strategis global terutama kondisi perikanan di negara lain yang memiliki perbatasan laut, dan sistem pengelolaan perikanan di Indonesia itu sendiri. Secara garis besar faktor penyebab tersebut dapat dikategorikan menjadi 7 (tujuh) faktor, sebagaimana diuraikan di bawah ini.
Pertama, Kebutuhan ikan dunia (demand) meningkat, disisi lain pasokan ikan dunia menurun, terjadi overdemand terutama jenis ikan dari laut seperti Tuna. Hal ini mendorong armada perikanan dunia berburu ikan di manapun dengan cara legal atau illegal.
Kedua, Disparitas (perbedaan) harga ikan segar utuh (whole fish) di negara lain dibandingkan di Indonesia cukup tinggi sehingga membuat masih adanya surplus pendapatan.
Ketiga, Fishing ground di negara-negara lain sudah mulai habis, sementara di Indonesia masih menjanjikan, padahal mereka harus mempertahankan pasokan ikan untuk konsumsi mereka dan harus mempertahankan produksi pengolahan di negara tersebut tetap bertahan. 
Keempat, Laut Indonesia sangat luas dan terbuka, di sisi lain kemampuan pengawasan khususnya armada pengawasan nasional (kapal pengawas) masih sangat terbatas dibandingkan kebutuhan untuk mengawasai daerah rawan. Luasnya wilayah laut yang menjadi yurisdiksi Indonesia dan kenyataan masih sangat terbukanya ZEE Indonesia yang berbatasan dengan laut lepas (High Seas) telah menjadi magnet penarik masuknya kapal-kapal ikan asing maupun lokal untuk melakukan illegal fishing.
Kelima, Sistem pengelolaan perikanan dalam bentuk sistem perizinan saat ini bersifat terbuka (open acces), pembatasannya hanya terbatas pada alat tangkap (input restriction). Hal ini kurang cocok jika dihadapkan pada kondisi faktual geografi Indonesia, khususnya ZEE Indonesia yang berbatasan dengan laut lepas.
Keenam, Masih terbatasnya sarana dan prasarana pengawasan serta SDM pengawasan khususnya dari sisi kuantitas. Sebagai gambaran, sampai dengan tahun 2008, baru terdapat 578 Penyidik Perikanan (PPNS Perikanan) dan 340 ABK (Anak Buah Kapal) Kapal Pengawas Perikanan. Jumlah tersebut, tentunya sangat belum sebanding dengan cakupan luas wilayah laut yang harus diawasi. Hal ini, lebih diperparah dengan keterbatasan sarana dan prasarana pengawasan.
Ketujuh, Persepsi dan langkah kerjasama aparat penegak hukum masih dalam penanganan perkara tindak pidana perikanan masih belum solid, terutama dalam hal pemahaman tindakan hukum, dan komitmen operasi kapal pengawas di ZEE.
Kegiatan Illegal Fishing di WPP-RI telah mengakibatkan kerugian yang besar bagi Indonesia. Overfising, overcapacity, ancaman terhadap kelestarian sumberdaya ikan, iklim usaha perikanan yang tidak kondusif, melemahnya daya saing perusahaan dan termarjinalkannya nelayan merupakan dampak nyata dari kegiatan IUU fishing. Kerugian lain yang tidak dapat di nilai secara materil namun sangat terkait dengan harga diri bangsa, adalah rusaknya citra Indonesia pada kancah International karena dianggap tidak mampu untuk mengelola perikanannya dengan baik.
Untuk dapat mengetahui, kerugian materil yang diakibatkan oleh Illegal fishing perlu ditetapkan angka asumsi dasar antara lain: diperkirakan jumlah kapal asing dan eks asing yang melakukan IUU fishing sekitar 1000 kapal, ikan yang dicuri dari kegiatan IUU fishing dan dibuang (discarded) sebesar 25% dari stok (estimasi FAO, 2001). Dengan asumsi tersebut, jika MSY(maximum sustainable yield = tangkapan lestari maksimum) ikan = 6,4 juta ton/th, maka yang hilang di
curi dan dibuang sekitar 1,6 juta ton/th. Jika harga jual ikan di luar negeri rata-rata 2 USD/Kg, maka kerugian per tahun bisa mencapai Rp 30 trilyun.
Prediksi lain sebagian kerugian ekonomi akibat illegal fishing melalui perhitungan yang didasarkan pada data hasil penelitian dapat kita simak pada Tabel
Tabel
Kerugian Ekonomi Akibat Illegal Fishing
Rincian
Pukat
Ikan
L. Arafura
Pukat
Ikan
Slt. Malaka
Pukat Udang
Pukat Cincin Pelagis Besar
Rawai
Tuna
Ukuran Kapal (GT)
202
240
138
134
178
Kekuatan Mesin (HP)
540
960
279
336
750
Produksi (Ton/Kpl/thn)
847
864
152
269
107
Rugi pungutan Perikanan (Rp juta/Kpl/Thn)
193
232
170
267
78
Rugi subsidi BBM (Rp.Juta/Kpl/Thn)
112
221
64
77
173
Rugi Produksi Ikan (Rp. Juta/Kpl/Thn)
3.559
1.733
3.160
1.101
801
Total Kerugian (Rp.Juta/Kpl/Thn)
3.864
2.187
3.395
1.446
1.052
Sumber: Dr. Purwanto, 2004
Dari tabel tersebut terlihat jelas bahwa kerugian negara secara ekonomi akibat pencurian ikan oleh kapal ikan setiap tahunnya sekitar Rp. 1,052 miliar/kapal. Sehingga secara sederhana kerugian negara akibat illegal fishing dapat diprediksi melalui perkalian jumlah kapal ikan yang melakukan illegal fishing dengan jumlah kerugian tersebut.
 





CARA PENANGGULANGAN IUU FISHING

Sebelum membahas cara penanggulangan IUU Fishing terlebih dahulu harus mengetahui kendala yang dihadapi dalam penanganan IUU Fishing adalah :

1. Lemahnya pengawasanSimpan Sekarang
 masih terbatasnya sarana prasarana dan fasilitas pengawasan;
 SDM pengawasan yang masih belum memadai terutama dari sisi kuantitas;
 belum lengkapnya peraturan perundang-undangan di bidang perikanan,
 masih lemahnya koordinasi antara aparat penegak hukum baik pusat maupun daerah;
 belum berkembangnya lembaga pengawasan;
 Penerapan sistem MCS yang belum sempurna

2. Belum tertibnya perijinan -
 Pemalsuan Ijin, penggandaan ijin

3. Lemahnya Law Enforcement
 Wibawa hukum menurun
 Ketidak adilan bagi masyarakat
 Maraknya pelanggaran & illegal

Penanggulangan IUU Fishing
1. Sistem Pengelolaan
 Perumusan Kebijakan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan dengan cara Pelestarian: Perlindungan, Pengawetan dan Rehabilitasi, Pengalokasian dan penataan pemanfaatan, Penyusunan Peraturan, Perijinan dan pemanfaatan Sumberdaya ikan.

2. Kebijakan dengan Visi Pengelolaan SDKP tertib dan bertanggung jawab
 Meningkatkan kualitas pengawasan secara sistematis dan terintegrasi agar pengelolaan SDKP berlangsung secara tertib dengan cara operasi pengawasan dan penegakan hukum.
 Meningkatkan apresiasi dan partisipasi masyarakat dalam pengawasan SDKP dengan cara pengembangan sistem pengawasan berbasis masyarakat seperti pembentukan kelompok apengawas masyarakat (Pokmaswas).

3. Strategi
 Optimalisasi Implementasi MCS (Monitoring, Controlling, Surveillancea) dalam pengawasan dengan cara Peningkatan Sarana dan Prasarana pengewasan dan Mengintegrasikan komponen MCS (VMS, Kapal Partroli, Pesawat Patroli Udara, Alat Komunikasi, Radar Satelit/Pantai, Siswasmas, Pengawas Perikanan (PPNS) dan Sistem Informasi Pengawasan dan Pengendalian SDKP) dalam satu system yang sinergis.

 Pembentukan Kelembagaan Pengawasan di Tingkat Daerah.
Dasar Pembentukan Kelembagaan ini yaitu : Belum adanya lembaga pengawasan yang mandiri, Lambannya penanganan operasi dan penanganan perkara, Rentang kendali dan koordinasi yang panjang, Ketergantungan pada pihak lain, Tidak adanya kepastian kendali dan pasca operasi. Rancangan kebutuhan kelembagaan pengawasan yaitu Pangkalan Pengawasan 7 Unit, Stasiun Pengawas 31 Unit dan Satker Pengawas 130 Unit. Sampai saat ini baru Pangkalan 2 unit, Stasiun 3 unit dan Satker unit masih jauh dari harapan.

 Meningkatkan Intesitas Operasional Pengawasaan Baik Dengan Kapal Pengawas Ditjen P2SDKP secara mandiri maupun kerjasama dengan TNI AL dan Polri. Dengan Langkah ke depan :
• Meningkatkan frekuensi kerjasama operasi dengan TNI AL dan POLAIR
• Memprogramkan pengadaan Kapal Pengawas dalam jumlah yang mencukupi baik melalui APBN Murni maupun Pinjaman / Hibah Luar Negeri (PHLN).

 Operasional Penertiban Ketaatan Kapal Dipelabuhan.
Dalam operasi tersebut dilakukan pemeriksaan :
1. Ketaatan berlabuh di pelabuhan pangkalan sesuai dengan ijin yang diberikan,
2. Ketataan Nakhoda kapal perikanan dalam melaporkan hasil tangkapan melalui pengisian Log Book Perikanan,
3. Ketaatan pengurusan ijin untuk kapal yang belum berijin dan masa berlaku ijinnya telah habis.
Berdasarkan hasil pemeriksaan kapal di pelabuhan pangkalan yang tertib diterbitkan Surat Laik Operasi (SLO) Kapal Perikanan dari Pengawas Perikanan untuk mendapatkan Surat Izin Berlayar (SIB) dari Syahbandar dan bagi yang tidak tertib tidak akan dikeluarkan.

 Pengembangan Dan Optimalisasi Implementasi Vessel Monitoring System (VMS).
1. Mewajibkan Pemasangan Transmitter VMS Bagi Kapal berukuran 60 GT ketas.
2. Penerapan Transmitter VMS Off Line Bagi Kapal Berukuran 30 – 60 GT.
3. Penerapan Sanksi yang tegas sesuai ketentuan yang berlaku bagi pemilik kapal yang tidak patuh.

 Pengembangan Sistem Radar Pantai Yang Terintegrasi Dengan VMS.
1. Pengembangan sistem radar yang diintegrasikan dengan VMS (telah dikembangkan bersama BRKP).
2. Stasiun-stasiun radar tersebut akan ditempatkan pada titik-titik pintu masuknya kapal-kapal perikanan asing ke Indonesia (Selat Malaka, Laut Natuna dsb).
Apabila konsep ini terwujud Informasi pengawasan dapat diterima lebih banyak. Hal itu akan mengurangi fungsi patroli kapal pengawas, sehingga pengadaan kapal pengawas bisa dikurangi.

 Koordinasi Dalam Penanganan Pelanggaran Tindak Pidana.
1. Peningkatan Peran Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana Perikanan
2. Mempercepat proses penegakan hukum (penyidikan, penuntutan dan persidangan) antar lain melalui Pengadilan Khusus Perikanan
3. Mengantisipasi terjadinya tuntutan (Pra-peradilan, Class Action dan Tuntutan Perdata)
4. Mengamankan dan merawat barang bukti (misal: kapal, alat tangkap) agar nilai ekonominya dapat dipertahankan
5. Penanganan ABK Non Yustitia dari kapal-kapal perikanan asing illegal yang tertangkap

 Pelibatan Masyarakat dalam Pengawasan Sumberdaya Ikan melalui SISWASMAS
1. Pembinaan berupa peningkatan teknis pengawasan dan pemberian stimulant kepada kelompok-kelompok tersebut berupa perlengkapan pengawas (radio komunikasi, senter, mesin tik dll).
2. Sampai dengan tahun 2006 telah terbentuk 759 Pokmaswas yang tersebar di 30 Propinsi di Indonesia.
3. Evaluasi Pokmaswas tingkat Nasional untuk mendapatkan penghargaan dari Presiden RI.

 Pembentukan Pengadilan Khusus Perikanan.
Dasar Pembentukan :
1. Perkara perikanan belum mendapat perhatian serius dibanding perkara lain
2. Mewujudkan suatu tatanan sistem peradilan penanganan perikanan yang efektif
3. Menstimulasi kinerja pengadilan negeri dalam menangani tindak pidana perikanan
4. Mengubah paradigma di kalangan aparat penegak hukum dalam menangani perkara-perkara perikanan
Sampai saat ini telah dibentuk di lima tempat yaitu Jakarta Utara, Pontianak, Medan, Tual dan Bitung.

Sumber Kebijakan Penaggulangan IUU Fishing Dalam Mendukung Tugas PPNS di Lapangan Oleh Direktur Jenderal P2SDKP pada Acara Coaching Clinic PPNS Perikanan Tahun 2007.

Sumber : Mukhtar, A.Pi

DESTRUCTIVE FISHING DI PERAIRAN PROPINSI SULTRA

Oleh : Mukhtar, A.Pi, M.Si

Nelayan adalah kelompok masyarakat yang bermukim di kawasan pantai umumnya menggantungkan sumber kehidupan dari sektor kelautan dan perikanan. Dalam memanfaatkan sumberdaya kelautan dan perikanan sering kali terjadi eksploitasi secara besar-besaran namun tidak mempertimbangkan aspek kelestarian lingkungan. Persoalannya adalah cara-cara yang dilakukan selama ini seringkali bertentangan dengan prinsip-prinsip tata laksana perikanan yang bertanggungjawab (Code of Conduct for Responsible Fisheries - CCRF). Konkritnya sebagai nelayan tradisional telah melakukan penangkapan ikan dengan cara–cara destructive fishing salah satu bagain dari Illegal Fishing yaitu kegiatan menangkapan ikan yang dilakukan oleh masyarakat/nelayan dengan cara merusak sumberdaya ikan dan ekosistemnya seperti pemboman ikan, penggunaan racun sianida, pembiusan dan penggunaan alat tangkap ikan seperti trawl (pukat harimau) serta mengeksploitasi habitat laut yang dilindungi.
Destructive fishing merupakan kegiatan mall praktek dalam penangkapan ikan atau pemanfaatan sumberdaya perikanan yang secara yuridis menjadi pelanggaran hukum. Secara umum, maraknya destructive fishing disebabkan oleh beberapa faktor ; (1) Rentang kendali dan luasnya wilayah pengawasan tidak seimbang dengan kemampuan tenaga pengawas yang ada saat ini (2) Terbatasnya sarana dan armada pengawasan di laut (3) Lemahnya kemampuan SDM Nelayan Indonesia dan banyaknya kalangan pengusaha bermental pemburu rente ekonomi (4) Masih lemahnya penegakan hukum (5) Lemahnya koordinasi dan komitmen antar aparat penegak hukum.
1. Bentuk Destructive Fishing
Dari hasil pengamatan dan pemantauan yang dilakukan terhadap masyarakat pesisir, nelayan, anggota kelompok masyarakat pengawas, dan pemerintah kelurahan ditemukan beberapa komponen destructive fishing di daerah pesisir perairan Sulawesi Tenggara, yaitu :
1) Menggunakan bahan peledak dan bahan kimia seperti : bom (dengan bahan berupa pupuk (cap matahari, beruang,obor), bius (kalium cianida – KCn) dan Tuba (akar tuba).
2) Penangkapan ikan dengan trawl (pukat harimau).

Ø Destructive fishing dengan Bom




Gambar 1. Penggunaan Bom Untuk Menangkap Ikan
Penggunaan bahan peledak seperti bom dapat memusnahkan biota dan merusak lingkungan, penggunaan bahan peledak dalam penangkapan ikan di sekitar daerah terumbu karang menimbulkan efek samping yang sangat besar. Selain rusaknya terumbu karang yang ada di sekitar lokasi peledakan, juga dapat menyebabkan kematian biota lain yang bukan merupakan sasaran penangkapan. Oleh sebab itu, penggunaan bahan peledak berpotensi menimbulkan kerusakan yang luas terhadap ekosistem terumbu karang. Penangkapan ikan dengan cara menggunakan bom, mengakibatkan biota laut seperti karang menjadi patah, terbelah, berserakan dan hancur menjadi pasir dan meninggalkan bekas lubang pada terumbu karang. Indikatornya adalah karang patah, terbelah, tersebar berserakan dan hancur menjadi pasir, meninggalkan bekas lubang pada terumbu karang.
Gambar 2. Terumbu karang yang rusak akibat Penggunaan Bom
Ø Destructive fishing dengan Racun Sianida, Pembiusan
Bahan beracun yang sering dipergunakan dalam penangkapan ikan, seperti sodium atau potassium sianida. Penangkapan dengan cara ini dapat menyebabkan kepunahan jenis-jenis ikan karang, misalnya ikan hias, kerapu (tpinephelus spp.), dan ikan napoleon (Chelinus). Racun tersebut dapat menyebabkan ikan besar dan kecil menjadi "mabuk" dan mati. Disamping mematikan ikan-ikan yang ada, sisa racun dapat menimbulkan dampak negatif bagi kehidupan terumbu karang, yang ditandai dengan perubahan warna karang yang berwarna warni menjadi putih yang lama kelamaan karang menjadi mati. Indikatornya adalah karang mati, memutih, meninggalkan bekas karang yang banyak akibat pengambilan ikan di balik karang.
Gambar 3. Pembiusan ikan di Terumbu karang
secara umum terutama pada daerah-daerah yang mempunyai jumlah terumbu karang yang cukup tinggi, karena kebanyakan ikan-ikan dasar bersembunyi atau melakukan pembiakan pada lubang-lubang terumbu karang. Sedang pelaku pembius memasukkan/ menyemprotkan obat kedalam lubang dan setelah beberapa lama kemudian ikan mengalami stress kemudian pingsan dan mati, sehingga mereka dengan muda mengambil ikan.
Ø Destructive fishing dengan Trawl (Pukat Hariamau).
Pukat harimau (trawl) merupakan salah satu alat penangkap ikan yang digunakan oleh nelayan. Alat ini berupa jaring dengan ukuran yang sangat besar, memilki lubang jaring yang sangat rapat sehingga berbagai jenis ikan mulai dari ikan berukuran kecil sampai dengan ikan yang berukuran besar dapat tertangkap dengan menggunakan jaring tersebut. Cara kerjanya alat tangkap ditarik oleh kapal yang mana menyapu ke dasar perairan. akibat penggunaan pukat harimau secara terus menerus menyebabkan kepunahan terhadap berbagai jenis sumber daya perikanan seperti yang terjadi di perairan Bagan Siapi-Api Provinsi Sumatera Utara dan di Selat Tiworo Provinsi Sulawesi Tenggara.
Gambar 4. Kapal Trawl (Pukat Harimau) di Kab. Bombana Sultra.
Gambar 5. Pengoperasian Trawl (Pukat Harimau).
Pukat harimau (trawl) yang merupakan salah satu alat penangkap ikan saat ini telah dilarang di wilayah perairan Indonesia sesuai Keputusan Presiden RI No.39 Tahun 1980 tentang Penghapusan Jaring Trawl, namun pada kenyataannya masih banyak nelayan yang melanggar dan mengoperasikan alat tersebut untuk menangkap ikan. Indikatornya adalah karang mati, atau sulit bertahan hidup di daerah dimana nelayannya sering menggunakan pukat harimau untuk menangkap ikan.
Menurut data dari Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bombana terdapat 105 unit kapal dengan alat tangkap trawl yang beroperasi di perairan Selat Tiworo yang berasal dari daerah kecamatan Rumbia. Sedangkan nelayan yang menggunakan trawl sebanyak 127 orang (23 %) dari keseluruhan nelayan.
Namun Keberadaan trawl (pukat harimau) di Kabupaten Bombana hingga saat ini membawa dampak negatif yang sangat besar terhadap nelayan tradisional. Keberadaan nelayan trawl sangat menggangu nelayan lainnya dan tidak sedikit kerugian yang diderita oleh nelayan tradisional karena ulah nelayan trawl, dan yang paling menyedihkan adalah banyaknya alat tangkap bubu yang hilang setiap malam dan rusaknya alat tangkap lainnya seperti bagan dan sero karena tertabrak oleh kapal trawl, sehingga hampir seluruh nelayan tradisional dililit utang bukan karena hasil tangkapan kurang, melainkan alat tangkap mereka raib di perairan. Rata-rata alat tangkap bubu yang hilang setiap malamnya hingga mencapai 100 buah. Jika dirupiahkan harga 1 unit bubu adalah Rp. 15.000,-. Jadi kerugian nelayan setiap malamnya mencapai Rp. 1.500.000,-. Kondisi ini sudah berlangsung sejak tahun 1998.
Dampak keberadaan Trawl terjadinya perselisihan antara nelayan trawl dengan nelayan tradisional sudah berulangkali terjadi; bahkan sudah mengarah ke tingkat anarkis. Upaya melakukan perdamaian sudah sering dilakukan melalui pembagian jalur penangkapan tetapi kesepakatan ini selalu dilanggar oleh nelayan trawl. Kesepakatan tidak dibarengi dengan pengawasan, sehingga aksi penolakan terhadap trawl semakin gencar dilakukan oleh nelayan tradisional.
Kendala penghapusan trawl di Kabupaten Bombana mengalami kendala karena tidak adanya sarana pengawasan dan lemahnya penegakkan hukum, HNSI tidak memperlihatkan peranannya dalam menyelesaikan masalah ini bahkan HNSI sebagai wadah seluruh nelayan justru memperparah permasalahan ini, sehingga nelayan tradisional semakin tertindas. Jika kondisi ini dibiarkan, maka kemungkinan terjadi anarki antara nelayan trawl dengan nelayan tradisional.
2. Jenis Bahan Beracun dan Berbahaya (B3) Untuk Destructive Fishing
Berdasarkan temuan yang ditemukan terhadap pelaku destructive fishing bahan-bahan yang sering digunakan adalah :
Ø Bahan Beracun
- Potasium Cianida digunakan untuk penangkapan ikan didaerah karang, bahan ini biasa digunakan tukang mas.
- Racun hama pertanian seperti merek Dexon, Diazino, Basudin, Acodan digunakan untuk penangkapan ikan air tawar di sungai atau perairan umum, bahan ini sering digunakan didaerah transmigrasi dan masyarakat lain disekitar perairan umum.
- Deterjen digunakan untuk penangkapan ikan didaerah karang.
- Akar Tuba digunakan untuk penangkapan ikan didaerah karang.
- Tembakau digunakan untuk penangkapan ikan didaerah karang.
Ø Bahan Berbahaya
- Belerang korek api seperti merek Diponegoro, Segi tiga ungu digunakan untuk penangkapan ikan teri dan ikan karang.
- Pupuk urea seperti merek matahari, tiga obor dan tengkorak digunakan untuk penangkapan ikan didaerah karang dan permukaan. Bahan ini bersama korek api diatas diracik sebagai bahan peledak diisi dalam botol korek api sebagai sumbu bahan peledak.
- Aliran listrik (strom) digunakan untuk penangkapan ikan di sawah, kali-kali kecil dan daerah genangan air.
3. Penyebab Destructive Fishing
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan kami ini secara perorangan (pembom aktif dan non aktif), bahwa dalam beberapa faktor “Penyebab utama/alasan" atas pelaku terhadap kegiatan destructive fishing di salah satu daerah di pesisir perairan Provinsi Sulawesi Tenggara yaitu didaerah Pulau Wawonii dengan menggunakan bom ikan dan berupa racun (bius dan tuba), antara lain :
Ø Adanya Pelaku Bom dari Pihak Luar.
Ø Adanya Pengedaran Bahan Baku yang masuk
Ø Mereka dianggap sebagai Golongan Monoritas (Terabaikan)
Ø Kurangnya ketegasan sanksi hukum
Ø Merupakan Tradisi
4. Persepsi Masyarakat Terhadap Destructive Fishing
Kegitan destructive fishing seperti bom, bius dan tuba berpengaruh terhadap kelangsungan ekosistem laut dan pantai, terutama pada daerah yang memiliki terumbu karang. Kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan bom menyebabkan karang hancur, ikan-ikan kecil mati, bahkan kelangsungan jiwa dari pelaku juga dapat terancam bahkan sampai mati. Selain itu, kegiatan penggunaan bom juga dapat menyebabkan kegiatan budidaya ikan dalam keramba terganggu dan penggunaan obat bius dapat merusak pertumbuhan budidaya rumput laut berubah menjadi putih dan mati.
Dari wawancara dengan warga setempat, secara umum destructive fishing banyak ditentang oleh para nelayan dan ibu rumah tangga terutama nelayan kecil dan nelayan usaha budidaya (rumput laut dan keramba) untuk itu perlu ada upaya penyadaran terhadap mereka yang melakukan pemboman, bahkan kalau sudah pernah mendapatkan pembinaan kemudian melakukan lagi maka ditindak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.
Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat diatas, bahwa penangkapan ikan dengan cara destructive fishing (bom, bius, dan sejenisnya) adalah sangat tidak menguntungkan bagi kehidupan serta dapat menyebabkan kerusakan habitat laut yang pada akhirnya mempengaruhi lapangan kerja mereka. Hal ini terbukti dari pernyataan masyarakat sebagaimana pada tabel 1 sebagai berikut :
Tabel 1. Jenis dan Persentase Dampak destructive fishing (Bom, Bius dan Sejenisnya)
No
Jenis/Bentuk
Dampak Illegal Fishing
Jumlah Responden (orang)
Prosentase
(%)
1.
Memusnahkan/merusak/mematikan ikan/bibit ikan
10
25
2.
Mengancam jiwa/merusak badan
7
17,5
3.
Sulit mencari ikan (mengurangi mata pencaharian nelayan lain)
5
12,5
4.
Mengganggu usaha nelayan lain/merusak rumput laut
4
10
5.
Merusak karang/habitat laut
3
10
6.
Lebih banyak ikan terbuang dari pada hasil yang diperoleh
1
2,5
7.
Menjadi tradisi
6
15
8.
Tidak tahu
4
10
TOTAL
40
100






Sumber Data : Satker PSDKP Kendari 2007.
6. Strategi Penanganan Destructive Fishing
Secara umum penanganan destructive fishing yaitu cara :
Ø Meningkatkan ke­sadaran masyarakat melalui sosialisasi, penyuluhan atau penerangan terhadap dampak negatif yang diakibatkan oleh penangkapan ikan secara ilegal.
Ø Mencari akar penyebab kenapa destructive fishing itu dila­kukan. Apakah motif ekonomi atau ada motif lainnya. Setelah diketahui perma­salahan, upaya selanjutnya melakukan upaya preventif.
Ø Meningkatkan penegakan dan penaatan hukum.
Ø Meli­batkan masyarakat setempat dalam pengelolaan sumberdaya ikan.
Ø Perlu adanya dukungan kelembagaan dari pemerintah. Artinya harus ada yang mengurusi kasus ini.
Berdasarkan hasil pemantauan yang dilakaukan selama ini ditemukan destructive fishing dengan menggunakan bahan peledak dan kimia seperti Bom, Bius dan Tuba, Pukat Harimau (Trawl). Pencegahan terhadap penangkapan ikan dengan menggunakan bahan-bahan peledak dan kimia lainnya seperti bom ikan, Bius, Racun Cianida adalah bukan persoalan yang mudah, apalagi aktifitas ini sudah mengakar dan membudaya bagi kalangan nelayan tradisional. Beberapa strategi penanganan masalah, antara lain :
Ø Peningkatan Ekonomi Nelayan
Dari hasil wawancara terhadap masyarakat nelayan, termasuk pelaku bom aktif dan non aktif, bahwa apalagi kegiatan destructive fishing dilarang maka meraka harus di beri mata pencaharian alternatif yang bernilai ekonomis sesuai dengan bidang/pengetahuan dan keterampilan masyarakat dan dalam penyalurannya harus tepat sasaran, bukan hanya pada nelayan tertentu atau yang hanya dekat dengan pejabat. Sebab jika tidak, maka strategi yang terbangun tidak menyelesaikan masalah.
Beberapa mata pencaharian alternatif yang diusulkan oleh masyarakat nelayan, sebagai berikut :
­ Budidaya rumput laut
­ Budidaya ikan keramba Tancap.
­ Alat Penangkapan Bubu
­ Tambahan Modal Usaha Bagi Pedagang Ikan (Papalele antar Pulau)
Ø Penguatan Kelompok Masyarakat Pengawas
Kelompok masyarakat pengawas di Kelurahan Langara Laut di sebut ” Kelompok Masyarakat Pengawas Samudera – KMPS ”. Sesuai hasil wawancara dengan masyarakat setempat termasuk nelanyan pelaku bom yang sudah non aktif, bahwa keberadaan kelompok msyarakat pengawas yang dibina oleh Satker PSDKP Kendari sangat menekankan intensitas kegiatan destructive fishing di Kelurahan Langara Luat dan Kawasan perairan Pulau Wawonii secara umum
Sejalan dengan kegiatan kelompok masyarakat pengawas yang rata-rata mereka adalah nelayan yang berpendapatan rendah termasuk mantan pelaku bom ikan, maka pihak Satker PSDKP Kendari dan Instansi teknis terkait (Dinas Perikanan Provinsi dan Kabupaten Konawe) harus memperhatikan keberlangsungan usaha dan kehidupan mereka karena mereka selain tertanggung jawab menjaga laut selaku anggota pengawas, juga mereka tetap bekerja sebagai nelayan.
Untuk mendukung aktivitas kelembagaan kelompok pengawas dan kehidupan sosial ekonomi anggota, maka diperlukan bentuk-bentuk strategi penguatan sebagai berikut :
Ø Kerjasama Instansi Terkait (Tim Gabungan Terpadu)
Kelompok Masyarakat Pengawas Laut dan Pantai yang ada di Kelurahan Langara Laut, masih tergolong muda dan merupakan hal baru bagi sebangian masyarakat setempat, maka strategi gerakan yang diperlukan adalah kerja sama Instansi teknis terkait secara terpadu yang meliputi : (1) Unsur Kelompok Masyarakat Pengawas samudera (2) Kepolisian (3) ABRI (4) Angkatan Laut (5) Dinas Kelautan dan Perikanan (6) Anggota Satuan Pengawas Perikanan Satker PSDKP Kendari. Bentuk kegiatan kerjasama (Tim Gabungan Terpadu – TIGER) antara lain :
• Penegakan hukum secara merata (Pelaku bom ikan dan pengedar bahan baku
• Gerakan penyadaran
• Pelacakan Pengedaran dan Bahan Baku Bom Ikan dan sejenis
Ø Peningkatan Sarana dan Prasanan Pendukung Kelompok Masyarakat Pengawas
Dalam rangka peningkatan kinerja dan jangkauan operasi Kelompok Masyarakat Pengawas Samudera yang maksimal maka di butuhkan sarana dan prasarana yang antara lain :
· Alat transportasi yang mempunyai kapasitas GT yang lebih besar ketimbang yang dimiliki oleh pelaku bom (minimal kapal mesin tempel 40 PK). Sebagai contoh sewaktu Tim Satker PSDKP Kendari dan Anggota KMPS turun lapangan diperairan Langara Laut ada sekelompok orang yang siap akan melemparkan bom dan ketika kami mendekati, mereka melarikan diri dengan menggunakan bodi batang bermesin tempel sehingga tidak mungkin untuk mengejar pelaku karena perahu kami menggunakan mesin katinting.
· Radio (HT) 3 unit
· Handy come 1 unit
· Posko Pengawasan 1 unit
· Identitas (Atribut anggota).
Ø Penguatan Kapasitas Sosial Ekonomi Anggota Pengawas
Bentuk usaha ekonomi produktif yang diusulkan oleh anggota Kelompok Masyarakat Pengawas Samudera, yaitu :
· Alat tangkap ikan Bubu (100 Unit) + Kompresor (1 Unit)
· Kapal Ikan (kapal gai – bahasa lokal) 2 Unit
· Jaring Insang (10 Unit )
· Budidaya Rumput Laut
· Budidaya Ikan dalam keramba tancap.
Ø Pencegahan Pelaku Bom dari Pihak Luar.
Berdasarkan wawancara dengan masyarakat nelayan (Pelaku Bom aktif dan non Aktif) serta informasi dari pihak pemerintah Kelurahan Langara Laut, anggota Pokmaswas dan Petugas Satker PSDKP Kendari, bahwa pelaku bom ikan di Perairan Wawonii, bukan saja dari nelayan setempat, tetapi juga berasal dari desa-desa lain, seperti : Desa di Pulau Cempedak dan sekitarnya (Kec. Laonti) Kabupaten Konawe Selatan dan Desa Mekar, Bajo Indah dan Sekitarnya (Kec. Soropia) Kab. Konawe.
Berdasarkan informasi tersebut di atas, maka masyarakat nelayan di Kelurahan Langara Laut, menyarankan kepada Pemerintah agar bom ikan baik dari dalam maupun dari luar wilayah Wawonii perlu ditindak tegas (diberikan sanksi hukum yang sesuai dengan Undang-Undang Perikanan).
7. Penanganan Pelaku Destructive Fishing
Pelaku destructive fishing yang berada di pesisir Propinsi Sulawesi Tenggara tidak pernah jerah (kapok) atau takut dengan ancaman hukuman dan bahaya yang menyintai terhadap diri mereka. Sudah banyak kasus tewasnya pelaku karena terkena bom yang belum sempat dibuang atau banyaknya tersangka sudah diadili di pengadilan yang sudah mempunyai keputusan yang tetap.
Gambar 6. Korban Yang Tewas akibat bom ikan.
Gambar 7. Korban Yang Terpotong Tangan akibat bom ikan.
Selain itu banyak kasus destructive fishing yang ditangani oleh Satker PSDKP Kendari terlihat pada tabel dibawah ini :
Tabel 2. Penanganan Kasus Tindak Pidana Perikanan destructive fishing oleh Satker PSDKP Kendari.
NO
TAHUN
HANDAK (BOM)
BIUS
TRAWL
KET
1.
2002
1 Kasus (4 Orang)
-
-
Proses Hukum
2.
2003
-
-
5 Kasus
Proses Hukum
3.
2004
2 Kasus (2 Orang)
-
-
Proses Hukum
4.
2005
2 Kasus (2 Orang)
-
-
Proses Hukum
5.
2006
2 Kasus (2 Orang)
-
7 Kasus
Proses Hukum
6.
2007
1 Kasus (5 Orang)
-
3 Kasus
Proses Hukum
Sumber Data : Satker PSDKP Kendari 2007.
Selain itu banyak kasus yang ditanggani oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten/Kota, Kepolisian dan TNI Angkatan Laut yang belum ada datanya.
Tabel 3. Penanganan Kasus Tindak Pidana Perikanan destructive fishing oleh Instansi Lain.
NO
TAHUN
HANDAK (BOM)
BIUS
TRAWL
KET
1.
2000
24 Kasus (24 Org)
-
57 Kasus
Proses Hukum
2.
2001
12 Kasus (30 Org)
-
55 Kasus
Proses Hukum
3.
2002
3 Kasus (3 Org)
-
3 Kasus
Proses Hukum
4.
2003
-
-
-
Proses Hukum
5.
2004
11 Kasus (11 Org)
-
-
Proses Hukum
6.
2005
1 Kasus (1 Org
6 Kasus (6 Org)
-
Proses Hukum
7.
2006
5 Kasus (5 Org)
3 Kasus (3 Org)
-
Proses Hukum
8.
2007
3 Kasus (5 Org)
-
7 Kasus
Proses Hukum
Sumber Data : DKP Propinsi Sultra 2007.
(Mukhtar, A.Pi, M.Si, Kepala Satuan Kerja Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Kendari, Dosen Fakultas Perikanan Universitas Muhammadiah Kendari, Kepala SMKS Kelautan dan Perikanan Kendari, Pembina Yayasan Pelestarian Laut dan Pantai-Marine And Coastal Conservation Foundation Kendari, Penyidik Kasus-Kasus Perikanan, Pemerhati masalah Illegal Fishing dan Pembina Forum Illegal Fishing Indonesia). Email : mukhtar_api@yahoo.co.id Blog : http://mukhtar-api.blogspot.com