Jumat, 19 September 2008

Ribuan Ikan di Kali Lamong Mati

Ratusan nelayan Desa Sukorejo, Kecamatan Kebomas, Gresik, Jawa Timur, resah karena ribuan ikan di Kali Lamong mati.


"Kalau ikan mati seperti itu, kami biasanya tidak dapat tangkapan ikan selama tiga bulan," kata warga Desa Sukorejo, RT 03 RW 02, Zaenuri (50), di Gresik, Kamis.


Menurut dia, kejadian seperti itu bisa mencapai 10 kali dalam setahun, sehingga mata pencaharian mereka di Kali Lamong juga mati minimal tiga bulan.

"Apa yang bisa kami makan," katanya dengan nada sedih.


Secara terpisah, Kepala Desa Sukorejo Fatkur Rahman menyatakan setelah ditelusuri asal limbah yang mematikan ikan-ikan itu diduga dari buangan limbah pipa TPA Benowo.


"Kami minta aparat terkait menindaklanjuti laporan masyarakat itu, agar warga kami tetap dapat menangkap ikan, seperti ikan kakap, keting, dukang, otik, dan sebagainya," katanya. (*) Gresik, (ANTARA News) -

Gunakan Pukat Harimau, Dua Kapal Ditangkap

Kapal Maju Jaya dan Kapal Rezeki Abadi ditangkap polisi air dan udara Kepolisian Daerah Bangka Belitung di perairan Karang Sembilang, Sungai Liat, Rabu (17/8). Kedua kapal pencari ikan itu memang diincar polisi lantaran dicurigai beroperasi menggunakan pukat harimau.


Saat ditangkap, nakhoda dan para anak buah kapal tidak melawan. Menurut pengakuan nakhoda, mereka berasal dari Tanjungpinang dan sudah dua bulan menangkap ikan dengan jaring pukat harimau di Bangka. Meski tahu dilarang, mereka tetap nekat memakainya karena hasil tangkapan lebih banyak dibandingkan menggunakan jaring biasa.


Sampai saat ini, dua kapal nelayan berserta seluruh awaknya masih ditahan di Polair Bangka Belitung untuk pengusutan lebih lanjut. Liputan6.com, Pangkal Pinang:
18/09/2008 .



DKP Tangkap 9 Kapal Illegal Fishing

Perairan Indonesia khususnya perairan Natuna, Laut China Selatan, Laut Sulawesi bagian utara Samudara Pasifik, dan Laut Arafuru ternyata masih menjadi incaran para nelayan asing berburu ikan secara ilegal.


Itu terbukti, saat kapal pengawas perikanan HIU 09 dan HIU 10 milik Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) berhasil menangkap sembilan kapal asing berbendera Thailand dan Vietnam yang sedang melakukan penangkapan ikan secara ilegal pada 3 September 2008.


Menurut Direktur Jenderal Pengawas dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (P2SDKP), Aji Sularso, kapal yang ditangkap terdiri dari enam kapal berbendera Vietnam dan tiga lainnya berbendera Thailand. Kapal-kapal Vietnam kini ditahan di dermaga Kepulauan Riau, sedangkan kapal-kapal Thailand dibawa ke dermaga Muara Baru, Jakarta.


"Kami ingin mengawal proses hukum bagi kapal-kapal yang melanggar ini, sampai di bawah pengawasan TNI Angkatan Laut. Karenanya, tiga kapal berbendara Thailand kita bawa ke sini," ujar Aji di Jakarta, Selasa (16/9).


Setelah dilakukan penyelidikan oleh jajaran TNI Angkatan Laut, nantinya kasus ini akan dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara. "Paling lama untuk proses sampai di pengadilan itu 90 hari. Sedangkan pasal yang akan dikenakan yang paling utama adalah pelanggaran atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Kelautan," jelasnya.


Ancaman sanksi bagi pelanggar adalah perampasan kapal dan denda sebesar Rp250 juta. "Semua putusan tergantung hakim. Tapi, kita akan berjuang untuk menegakkan keadilan," tambah Aji.


Selanjutnya, tentang nasib awak kapal, para anak buah kapal biasa akan dideportasi ke negara asalnya, bekerja sama dengan Departemen Luar Negeri, serta Kedutaan Besar Thailand dan Vietnam yang ada di Indonesia. Sementara, Nahkoda dan Kepala Kamar Mesin (KKM) akan ditahan sampai proses hukum selesai.


Dalam penangkapan 9 kapal ini pihak DKP P2SDKP menyita barang bukti berupa ikan sebanyak 15-20 ton per kapal. Nilai kerugiaan negara ditaksir mencapai ratusan juta. "Bila harga ikan di pasaran Rp10.000 per kilogram silakan saja dikalkulasikan berapa kerugian negara yang diakibatkan oleh ulah mereka," terang Aji. (kompas.com), JAKARTA, TRIBUN.

‘MAINSTREAMING’ UNTUK PENGAWASAN BERMODAL DENGKUL

Oleh: M. Zulficar Mochtar

Sumber: Suara Pembaruan online

Upaya pengawasan dan pengendalian sumberdaya kelautan memiliki dimensi yang sangat luas dan kompleks, meliputi seluruh ancaman terkait dengan pemanfaatan ruang maupun sumberdaya kelautan, termasuk: (i) pencemaran dan tumpahan minyak, (ii) konflik pemanfaatan wilayah, tanah dan sumberdaya (antar-nelayan, antar-institusi, pelaku usaha), (iii) illegal unreported and unregulated (IUU) and destructive (pemboman, pembiusan, trawl, dll) Fishing, (iv) kegiatan investasi dan pemanfaatan yang tidak prosedural, (v) penyelundupan berbagai obyek (satwa langka, Bahan Bakar Minyak (BBM), illegal logging, dll); (vi) infiltrasi dan intervensi oleh asing dalam berbagai bentuk, misalnya penguasaan hak atau pemanfaatan, (vii) perdagangan pasir laut, (viii) antisipasi aksi bencana (gempa/tsunami, dll), (ix) perompakan di laut, maupun kerawanan insidental (kelaparan akibat cuaca buruk, terisolasi, kecelakaan kapal), dan sebagainya.

Setiap isu dan obyek ancaman tersebut memiliki kompleksitas dan karakteristik spesifik tinggi baik status lintas wilayah, baik lokal, nasional, maupun internasional yang unik. Isu dan obyek ancaman juga memiliki karakteristik dan substansi yang cukup kompleks dan memerlukan pertimbangan saintifik obyektif, dukungan data dan informasi yang akurat, pendekatan masalah yang multi-disipliner, proyeksi rentang waktu yang variatif, serta tingkat sensitifitas politik yang sangat tinggi.

Dalam melakukan upaya pengawasan dan pengendalian yang efektif, diperlukan pemenuhan perangkat pengelolaan yang memadai, baik kebijakan dan aturan, wewenang dan peran, anggaran, ketersediaan sumberdaya manusia (SDM), sistem informasi, infrastruktur pengawasan dan pengendalian, serta sistem perencanaan dan aksi yang optimal.

Sayangnya, selama lebih dari tiga dekade, pembangunan kelautan cenderung dianaktirikan dan dipinggirkan, sehingga berbagai perangkat ‘management’ sumberdaya kelautan, termasuk untuk pengawasan dan pengendalian sumberdaya kelautan tidak dapat dikatakan memadai apalagi dikategorikan optimal.

2. Pengawasan dan Pengendalian Kelautan Masih Bermodal ‘dengkul’

Secara umum, meski komitmen dan upaya untuk melakukan pengawasan dan pengendalian berbagai obyek dan isu sumberdaya kelautan semakin meningkat dalam beberapa tahun terakhir, status berbagai perangkat pengawasan dan pengendalian masih bisa dikatakan masih jauh dari memadai atau dapat dikatakan masih ‘bermodal dengkul’.

Dari perspektif kebijakan misalnya, berbagai kebijakan dan aturan (dalam berbagai tingkatan) telah mencoba memberikan wilayah dan wewenang berbagai pihak dan institusi untuk baik secara sendirian maupun bersama-sama melakukan upaya preventif, antisipatif, dan kuratif serta represif, dalam setiap isu dan obyek ancaman sumberdaya kelautan yang ada. Akan tetapi, berbagai kebijakan tersebut masih lebih banyak ‘bolong’nya sehingga cenderung terjadi tumpang tindih, tidak efisien, terlalu sektoral, dan kadang tidak sensitif terhadap realitas yang ada. Juga memusingkan dalam enforcement-nya

Dari segi anggaran, sistem pengawasan dan pengendalian yang komprehensif ke seluruh wilayah Indonesia sangat sulit diterapkan secara optimal karena ketersediaan anggaran yang relatif jauh dari memadai. Pengadaan kapal dan peralatan, sistem informasi, penyediaan SDM yang well-trained, dan pola operasi yang dikembangkan masih terlalu mahal untuk dijangkau. Disisi lain, negara yang sedang berkembang dengan anggaran terbatas ini, memiliki terlalu banyak prioritas pembangunan, sehingga ‘sulit’ untuk meminta anggaran yang lebih signifikan.

Dari segi SDM, ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi. Pertama, kapasitas SDM yang tidak disiapkan untuk memahami dan mengantisipasi permasalahan secara khusus. Sehingga pola operasi dan penanganan yang dilakukan terkadang ‘bias’ atau tidak tuntas. Kedua, ada rantai ketergantungan tugas antar-institusi pemerintah sangat besar, dimana TNI-AL, kepolisian perairan (Polairud), Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), Bakosurtanal, Badan Pertanahan Nasional (BPN), Kantor Lingkungan Hidup (KLH), Lembaga peradilan (jaksa, hakim), dan sebagainya yang belum dipadukan. Belum lagi hubungan dengan pihak lainnya, seperti swasta, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), universitas, dan sebagainya yang tidak terjalin optimal. Hal ini antara lain disebabkan karena perspektif ego-sektoral yang masih tinggi dan etos kerja bermitra yang masih rendah. Dengan situasi ini, upaya pengawasan dan pengendalian masih tersekat-sekat, terisolasi, dan belum efisien.

Di sisi lain, sistem data dan informasi sebagai elemen substansial fungsi pengawasan juga ternyata sangat lemah. Sudah begitu sering berbagai kegiatan operasi maupun sistem pengendalian dilaksanakan dengan model ‘management by feeling’ tidak didasarkan pada informasi yang akurat dan obyektif. Sudah bukan rahasia kalau data dan informasi ada di ‘laci meja’ masing-masing institusi. Cukup banyak juga informasi yang ada tidak up to date (usang) dan tidak akurat, dan menghiasi perpustakaan-perpustakaan tanpa dimanfaatkan. ‘Ketiadaan’ informasi ini menyebabkan pola operasi di lapangan bersifat reaktif dan cenderung serabutan, yang akhirnya menangkapi orang-orang kecil (pelaku/operator lapangan), namun tidak mampu menyentuh gembong (dalang) penyebab permasalahan. Penerapan pola operasi juga menjadi sangat mahal.

Sistem Operasi dan Pengendalian yang diterapkan juga masih sangat parsial dan tidak terstruktur, seolah memindahkan masalah dari satu sektor atau institusi ke institusi lainnya. Membersihkan halaman sendiri, namun menyisakan masalah buat tetangga. Belum ada prosedur tetap (protap) yang jelas dan memuaskan. Sistem ini sangat membingungkan bahkan dari terminologi, pola, pendekatan, maupun perencanaan. Seringkali terlalu eksklusif atau berasal dari adopsi instant dari berbagai model lain dari dalam maupun luar negeri. Cukup banyak kasus dimana kepolisian atau jaksa sudah mengeluarkan energi sangat besar untuk menangkap pelaku illegal fishing, namun justru merasa frustasi ketika pengadilan memutuskan ‘bebas’, mengembalikan berkas ataupun menjatuhkan hukuman sangat ringan akibat pemahaman terhadap kasus illegal fishing yang amat terbatas. Model MCS-IS adalah contoh ideal masa depan yang amat mahal dan rumit dan saat ini tidak mampu mengimbangi laju praktek ilegal dan pengrusakan yang terjadi. Demikian pula model Pokwasmas, masih lebih sering diartikan dan dipraktekkan sebagai ‘intel’ atau ‘satpol’ atau ‘mata-mata’ yang bertugas mengintai atau melaporkan kegiatan masyarakat kepada yang berwajib, sehingga cenderung dimusuhi masyarakat. Yang terjadi akhirnya adalah model penanganan superfisial (permukaan) yang tidak menjawab akar permasalahan. Pemahaman lebih makro dan mikro, termasuk misalnya kemiskinan masyarakat terhadap suatu masalah sangat dibutuhkan sehingga tidak bias.

Dari akumulasi keterbatasan dan realitas ‘modal’ dasar dalam melakukan upaya pengawasan dan pengendalian sumberdaya kelautan ini, tidak sulit untuk memprediksi bahwa bidang ini berada pada titik nadir yang menggelisahkan. Memainkan pola dan pendekatan lama akan berujung pada hasil yang ‘ala kadarnya’ seperti sekarang, meskipun sudah dilakukan secara maksimal, malah akan melahirkan frustasi atau kekecewaaan.

Untuk itu, dibutuhkan suatu inovasi pendekatan yang mampu mensinergikan seluruh kekuatan (di tengah keterbatasan) yang ada, sehingga mencapai hasil optimal; sambil melakukan pendekatan yang terstruktur untuk membenahi berbagai keterbatasan yang ada secara kolektif. Dalam konteks ini, sistem pengawasan perlu diarahkan pada upaya agar pengawasan menjadi domain dan tanggung jawab publik dengan pendekatan partisipatif dan kemitraan multi-pihak. Untuk itu, mainstreaming pengawasan secara sistemik merupakan alternatif upaya yang dapat dilakukan untuk mengoptimalkan kinerja dan koordinasi pengendalian.

3. Mainstreaming Sistem Pengawasan untuk Optimasi Pengendalian

Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) memiliki mandat penting untuk mengambil peran strategis dalam membangun fondasi pengawasan yang efektif dan menunjang strategi pengendalian setiap ancaman dan isu terkait dengan wilayah dan obyek kelautan. Di usia departemen yang relatif baru (sekitar 8 tahun) dengan jaringan dan infrastruktur yang relatif terbatas, misi pengawasan dan pengendalian ini adalah sebuah ‘tantangan’ besar.




Untuk itu, hal yang sangat penting dipahami oleh DKP adalah melakukan ‘positioning’ atau bagaimana memposisikan diri dalam kerangka pengawasan dan pengendalian tersebut, sehingga mampu melakukan kegiatan secara optimal. Menghindari tumpang tindih (overlapping), menjembatani kesenjangan (bridging the gaps), memfasilitasi kemajemukan pola dan mekanisme ( fungsi fasilitator), dan secara efektif melakukan pendampingan terhadap berbagai jenis kasus dan isu yang memungkinkan berbagai pihak yang terkait secara langsung maupun tidak langsung untuk memberikan partisipasi yang menunjang misi besar pengawasan dan pengendalian.

Salah satu strategi kolaboratif yang efektif untuk situasi ini adalah pengarusutamaan (mainstreaming) fungsi dan strategi pengawasan dalam berbagai perangkat dan sistem pembangunan yang ada saat ini, baik program, perencanaan, sistem informasi, institusi, dan sebagainya dengan melibatkan seluruh pihak (pemerintah, swasta, LSM, donor, masyarakat) sehingga dapat mengoptimalkan setiap upaya pengendalian. Metode ini melepaskan sekat-sekat sektoral atau ego-sektoral yang ada, menuju fungsi kerja bersama untuk manfaat bersama.

Upaya mainstreaming sistem pengawasan menjadi sangat relevan berdasarkan beberapa asumsi maupun fakta bahwa :

§ Isu dan ancaman yang kompleks tidak mungkin ditangani sebuah institusi. Tingkat kerumitan dan kompleksitas isu maupun ancaman terhadap sumberdaya kelautan Indonesia, pada hakekatnya tidak mungkin dapat dibebankan atau menjadi tugas dan tanggung jawab satu institusi atau pihak semata.

§ Potensi menjadi domain publik. Seluruh institusi dan komponen masyarakat pada dasarnya memiliki hak dan potensi untuk berpartisipasi atau menjalankan fungsi pengawasan dalam berbagai skala maupun tingkatan.

§ Sinergi untuk menutupi keterbatasan. Keterbatasan anggaran, peralatan, SDM, kebijakan, dan perangkat pengawasan di setiap institusi terkait, apabila disinergikan secara optimal dapat memberikan dampak yang lebih besar dan manfaat yang efektif

§ Harmonisasi dan Koordinasi. Keterpaduan perencanaan, kebijakan dan aksi secara harmonis akan memberikan efektifitas operasi pengawasan dan pengendalian

4. Strategi Mainstreaming Sistem Pengawasan

Upaya mainstreaming sistem pengawasan ini memerlukan suatu pendekatan dan proses, antara lain namun tidak terbatas pada:

§ Menginspirasi tanggung jawab bersama. Sistem pengawasan sumberdaya kelautan, pada hakekatnya adalah pengawasan sebuah matra, sehingga pengawasan yang efektif akan memberikan manfaat bagi semua pihak. Sementara pengawasan yang lemah akan memberikan efek kerugian yangamat besar bagi semua pihak. Siapapun dan dari lembaga apapun, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat memberikan kontribusi dalam strategi dan sistem pengawasan. Baik dalam bentuk kontribusi informasi, strategi, sumberdaya manusia, dan sebagainya. Secara tidak langsung ditingkat daerah misalnya, DKP bisa menitipkan beberapa pertanyaan atau informasi kepada program/institusi di daerah misalnya pada proses sensus penduduk tahunan, pos yandu, kegiatan pramuka, RT/RW/Lurah, Kuliah Lapangan mahasiswa, perguruan tinggi/pesantren, koperasi-koperasi, LSM, organisasi massa, partai dan sebagainya. Demikian pula ditingkat pusat, DKP bisa ‘menitipkan’ beberapa pertanyaan dan tugas pengawasan kepada departemen kesehatan, pendidikan, dan sebagainya. Secara langsung, DKP sangat mungkin mendiskusikan dan menitipkan strategi pengawasan kepada TNI-AL, Polairud, lembaga peradilan, dan sebagianya. Untuk mendapatkan partisipasi pengawasan yang tinggi, sistem sosialisasi dan kampanye yang baik menjadi sangat penting.

§ Positioning Peran DKP sebagai fasilitator. Untuk melakukan pengawasan matra yang begitu luas, dibutuhkan ‘kebesaran hati’ bagi DKP untuk meninggalkan fungsi sektoral semata dan ‘naik kelas’ menjadi fasilitator yang bertugas mencoba menjembatani berbagai proses kerja bersama/kolaborasi untuk melahirkan format pengawasan yang komprehensif. Untuk menjadi fasilitator yang baik, ‘logo DKP’ perlu tidak dimunculkan secara jelas, dan mendapatkan porsi sama dengan institusi lain. Sekalipun secara substansial DKP yang banyak memfasilitasi upaya-upaya kerja bersama tersebut.

§ Media data dan informasi multi-pihak. Di era teknologi informasi yang semakin murah dan mudah, DKP perlu menyiapkan suatu media data dan informasi menyangkut isu dan ancaman terhadap sumberdaya kelautan yang dapat diakses secara up to date oleh semua lapisan. Media informasi ini ditingkat awal bisa diinisiasi oleh DKP, namun perlu diproyeksikan untuk menjadi milik bersama. Dengan adanya media yang ‘bisa dipercaya’ baik sebagai informasi biasa maupun sebagai referensi berbagai tujuan, media ini perlahan-lahan akan mengundang partisipasi dari berbagai pihak. Berbagai kebijakan, strategi aksi, lokasi-lokasi target, jenis isu yang rawan, pihak-pihak yang menjadi target, status pencapaian dan perencanaan pengawasan dapat dimasukkan dalam sistem informasi tersebut secara bertahap.

§ Format dan bingkai kerjasama yang fleksibel. Mengingat setiap institusi atau lembaga memiliki sekat birokrasi dan keterbatasan, DKP harus mampu menyiapkan format dan kerangka kemitraan yang fleksibel, sederhana dan tidak rumit. Format kemitraan harus memberikan nuansa manfaat untuk pihak yang bermitra, bukan transfer beban atau ‘menitipkan’ tugas semata. Ownership dalam proses-proses kemitraan ini perlu digalang bagi smua pihak. Bukan DKP semata.

§ Peningkatan kapasitas dan Pendampingan/Advokasi Kasus Intensif. Dalam banyak kasus, misalnya peradilan kasus perikanan ilegal atau pemanfaatan pulau, atau sengketa batas wilayah dibutuhkan kepakaran yang memadai untuk mendatangkan fungsi pengawasan dan pengendalian yang efektif. Untuk itu, DKP harus menyiapkan diri untuk berperan aktif bagi institusi-institusi yang membutuhkan pendampingan, advokasi maupun kepakaran yang dibutuhkan, sehingga persoalan dapat dituntaskan. Pendampingan ini bisa dibentuk secara informal bersama-sama, bisa juga diformalkan sebagai ‘help-desk’. Pendampingan intensif untuk berbagai jenis kasus yang berbeda didokumentasikan sebagai model yang memungkinkan semua pihak melihat peran dan fungsi strategisnya dalam upaya pengawasan dan pengendalian.

§ Komunikasi multi-media interaktif. Semakin sering pengawasan dan pengendalian sumberdaya kelautan mendapatkan liputan, semakin intensif upaya, perhatian maupun partisipasi terhadapnya. Untuk itu, komunikasi formal dan informal dengan media perlu dikemas secara efektif. Momentum hari-hari nasional dan internasional, perlu dikemas untuk mendapatkan momentum peliputan status pengawasan. Pengkaderan wartawan dan umum khusus pengawasan sumberdaya kelautan perlu dikemas secara apik untuk memberikan ruang bagi media maupun khalayak yang ingin memperdalam atau berpartisipasi dalam format pengawasan tersebut.

5. Kriteria Operasionalisasi Mainstreaming Sistem Pengawasan

§ Konsolidasi internal DKP dan eksternal. Misi DKP untuk me-mainstreaming strategi pengawasan harus mampu dipahami secara internal DKP dan disosialisasikan secara eksternal ke berbagai departemen dan dinas, LSM, swasta, masyarakat dan sebagainya. Konsolidasi ini perlu dirancang seefektif mungkin sehingga DKP mampu melepaskan diri dari sekat institusi/direktorat maupun berdasarkan peran sektoral semata. Konsolidasi dan komunikasi ini juga perlu menekankan bahwa pengawasan tidak identik dengan menangkapi orang-orang kecil, namun bagian integrasi dari elemen pembangunan. Image dan kemasan pengawasan perlu disederhanakan dalam bingkai pembangunan agar tidak melahirkan resistensi partisipasi.

§ Cross cutting team. Sistem mainstreaming ini memerlukan kesatuan rencana dan aksi yang bergerak secara paralel baik dalam wilayah kegiatan/program DKP sendiri maupun institusi/departemen lain, sehingga dibutuhkan tim (formal maupun informal) yang mampu berperan lintas sektoral-institusional dan program-program.

§ Pemetaan Potensi Mainstreaming Pengawasan. DKP perlu melakukan suatu pengkajian dan pemetaan yang mengidentifikasi dan memvisualkan segenap potensi mitra, baik langsung atau tidak langsung, untuk menjalankan ‘mainstreaming’ pengawasan. Dalam pemetaan ini, peran setiap pihak, mulai program dan kegiatan pemerintah, swasta, LSM, kelompok masyarakat, partai, dan sebagainya harus mampu diterjemahkan dalam kerangka fungsional untuk pengawasan dan diformat dalam semangat partisipatif yang tidak membebani.

§ Roadmap / Skenario. Dibutuhkan suatu roadmap dan skenario yang memungkinkan seluruh tim dan DKP maupun mitra institusinya memahami bahwa untuk mencapai titik ideal pengawasan, membutuhkan kerangka skenario bersama (ownership) dan roadmap yang terpadu, tanpa harus memberikan beban kepada pihak lain. Roadmap ini harus mampu mendemonstrasikan keuntungan bermitra, baik secara ekonomi, program, maupun pencapaian.

§ Disiplin Proses dan Tahapan. Pendampingan intensif dibutuhkan untuk memastikan bahwa berbagai perubahan baik eksternal maupun internal, tidak merubah komitmen dan prinsip kegiatan ke arah terbalik. Model instan dan oportunis, perlu dicekal agar tidak terjadi dalam upaya membangun sistem secara wajar.

§ Simulasi Pengawasan dan Pengendalian. Setiap isu/obyek pengawasan memiliki karakteristik yang unik dan membutuhkan pendekatan dan mitra yang relatif berbeda. Untuk itu, perlu disusun suatu simulasi untuk berbagai jenis kasus yang ada yang kemudian dibahas dan didiskusikan melibatkan berbagai pihak, sehingga dihasilkan suatu pendekatan yang secara sosial efektif, secara ekonomis efisien dan mampu menuntaskan suatu permasalahan.

§ Dashboard Pengawasan dan Pengendalian. Dalam menjalankan strategi pengawasan dan pengendalian dinamika dapat terjadi, sehingga ada satu atau dua kasus yang mendapatkan perhatian dan yang lainnya terlupakan. Untuk itu, diperlukan indikator efektif yang dapat berfungsi sebagai dash-board yang bisa menyeimbangkan proses dan fokus penanganan berbagai kasus/obyek dengan skala yang wajar. Dashboard ini juga untuk menjadi acuan dan pertanggungjawaban sosial DKP terhadap kinerja pengawasan, sehingga meningkatkan kepercayaan publik.

Hutan Bakau Lindung Dikonversi

Menhut Belum Ganti Status Hutan
Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat sedang  membahas rancangan usulan konversi 7.000 hektar hutan lindung mangrove di  Kabupaten Kubu Raya agar tetap bisa dimanfaatkan untuk tambak. Jumlah itu  meliputi luasan kurang dari 20 persen areal hutan lindung di kabupaten  itu.
Hal itu diungkapkan oleh Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kalbar  Budi Haryanto, Rabu (10/9) di Pontianak. Pihak Dinas Kehutanan, Perkebunan, dan Pertambangan Kubu Raya pekan  lalu menyatakan, ada konversi sekitar 300 ha hutan lindung mangrove di  Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu Raya, untuk tambak udang tanpa ada proses  pelepasan dari Menteri Kehutanan. Budidaya udang itu dilegalkan dengan  izin yang dikeluarkan Dinas Perikanan Kabupaten Pontianak selaku  kabupaten induk.
Persoalan konversi hutan lindung untuk tambak yang telah berlangsung 10  tahun lalu itu sudah disampaikan ke Pemerintah Provinsi Kalbar.  Menanggapi hal itu, Asisten II Pemprov Kalbar Munir HD menyatakan, pemprov  sudah mengeluarkan larangan pemberian izin untuk tambak baru di hutan  lindung mangrove.
Hari Rabu, Gubernur Kalbar Cornelis menerima rombongan Direktur  Jenderal Kementerian Pangan, Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan Korea Selatan  Young Hyo-ha di Pontianak. Dalam pertemuan itu, Korsel menyampaikan  minat untuk berinvestasi di bidang budidaya perikanan di Kalbar.
 ”Korsel menyiapkan investasi senilai 10 miliar dollar AS (Rp 90  triliun) untuk budidaya perikanan di Indonesia. Mereka juga akan  mengembangkan di Nusa Tenggara Timur,” kata Budi seusai mendampingi Cornelis.
Di Kalbar, mereka akan mengembangkan tambak udang dan industri  pengolahan hasil perikanan yang berorientasi ekspor. Budi menjamin, hal itu  tidak akan mengganggu hutan lindung mangrove. ”Banyak kawasan pesisir
 yang bisa dimanfaatkan untuk tambak, misalnya di Mempawah,” katanya.
Menhut belum lepas
Menteri Kehutanan MS Kaban belum melepas status hutan lindung pada  lahan yang hendak dibangun sebagai pusat pemerintahan dan ibu kota  Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau. Hal itu dikatakan Bupati Bintan  Ansar Ahmad, Rabu.
Menurut dia, sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2004 tentang  Pemindahan Ibu Kota Kabupaten Kepulauan Riau dari Wilayah Kota Tanjung  Pinang ke Bandar Seri Bentan, Kecamatan Teluk Bintan, Kabupaten Bintan,  maka ditetapkan ibu kota Kabupaten Bintan adalah Bandar Seri Bentan.
Pemkab Bintan telah meminta Menhut untuk melepas status hutan lindung  seluas 7.300 ha yang akan digunakan untuk pembangunan pusat pemerintahan  dan ibu kota Kabupaten Bintan. Pembangunan itu akan melibatkan pihak  swasta, antara lain konsorsium dari Singapura.
Namun, dari jumlah itu, tim terpadu Dephut hanya merekomendasikan  pelepasan status hutan lindung seluas 6.813 ha.  Asisten I Bidang Hukum dan Pemkab Bintan Yudha Inangsa menuturkan,  proses pelepasan hutan lindung masih panjang. Ada beberapa tahapan yang  harus dilalui. Pertama, pengukuran batas lahan hutan lindung yang akan  dilepas. Kedua, penetapan lahan untuk hutan lindung pengganti.
Pemkab Bintan telah mengalokasikan anggaran Rp 600 juta untuk  pengukuran tata batas lahan yang berstatus hutan lindung yang akan dilepas.  Selain itu, Pemkab Bintan akan menetapkan sejumlah kawasan hutan mangrove  sebagai hutan lindung pengganti.
”Diharapkan, akhir 2009, proses pelepasan hutan lindung bisa selesai,” kata Yudha. (FER/WHY) Pontianak, Kompas

Empat Pulau Dikuasai Perorangan (Penguasaan Pulau agar Dilarang)

Penguasaan pulau-pulau oleh perorangan menunjukkan adanya praktik penjajahan atas korporasi dengan dalih pengembangan pariwisata. Praktik penguasaan pulau semestinya dilarang karena pariwisata yang berkembang di pulau-pulau itu cenderung eksklusif.

Hal itu membuat pulau-pulau itu tak bisa lagi untuk berlindung nelayan, selain itu juga merusak lingkungan karena pulau-pulau tersebut masuk kawasan lindung Taman Nasional Karimunjawa.

Hal itu dikemukakan pakar lingkungan dari Universitas Diponegoro Semarang, Prof Dr Sudharto Prawata Hadi, Rabu (10/9), menanggapi kepemilikan pulau-pulau di kawasan lindung Taman Nasional Karimunjawa, Kabupaten Jepara, oleh perorangan.

Data di Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Jawa Tengah, empat pulau di Kepulauan Karimunjawa dimiliki perseorangan. Empat pulau itu adalah Pulau Kembar, Pulau Katang, Pulau Bengkuang, serta Pulau Cemara Besar dan Pulau Cemara Kecil. Pulau-pulau itu dibeli pengusaha dari Italia dan Australia.

Menurut Sudharto, pemda dan instansi terkait semestinya bisa mencegah penguasaan satu pulau oleh perorangan. Perorangan itu mewakili korporasi tertentu yang akan melakukan penguasaan mutlak. Bila hal itu terjadi, pariwisata yang berkembang tidak memberikan peningkatan ekonomi masyarakat sekitar.

"Wisata yang berkembang cenderung eksklusif yang hanya dinikmati segelintir turis," katanya.

Kepala Kanwil BPN Jateng Doddy Imron Cholid mengatakan, pulau- pulau itu berhasil dikuasai perorangan karena si pembeli tidak memahami bahwa kawasan pulau itu masih dalam kawasan lindung Taman Nasional Karimunjawa. Hal itu bisa terjadi karena Departemen Kehutanan hanya memberikan izin penguasaan pulau untuk kepentingan wisata, seperti Pulau Kembar dan Katang yang menjadi wisata Kura Kura Resort.

"Ketika izin pengusahaan diberikan, pengusaha minta dibuatkan sertifikat hak milik untuk keperluan pengembangan usahanya. Padahal, kepemilikan tidak mungkin keluar tanpa ada perubahan status kawasan lindung," kata Doddy.

Ia menegaskan, Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 maupun Undang-Undang 24/1992 juga UU 26/2007 tentang Tata Ruang sudah menggariskan bahwa kriteria Taman Nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam dilakukan untuk pengembangan pendidikan, rekreasi, pariwisata untuk peningkatan kualitas lingkungan. Semarang, Kompas.

Diusulkan Konversi 7.000 Hektare Hutan Mangrove

Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat mengusulkan alih fungsi lahan kawasan hutan lindung mangrove di Kabupaten Kubu Raya dengan luas sekitar tujuh ribu hektare untuk digunakan sebagai kawasan komersial.


"Usulan itu berasal dari masyarakat yang menempati seputar kawasan hutan lindung mangrove di Kabupaten Kubu Raya," kata Asisten II Bidang Ekonomi Sekretariat Daerah Pemprov Kalbar, A Munir HD di Pontianak, Rabu.


Luas lahan yang diusulkan untuk dialihfungsikan tersebut sekitar 20 persen dari total kawasan hutan lindung mangrove yang ada di wilayah itu. Ia menambahkan, perubahan fungsi lahan itu akan dimasukkan dalam revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).


"Kita coba usulkan untuk investasi, terlebih ada tawaran dari investor Korea Selatan di sektor perikanan," kata Munir.


Mengenai penggunaan hutan lindung mangrove di Kabupaten Kubu Raya untuk tambak, Munir mengatakan bahwa pemerintahan daerah hingga kecamatan maupun desa sudah dilarang memberikan izin yang dapat mengganggu hutan lindung. "Mereka sudah diingatkan supaya tidak mudah memberikan izin," katanya.

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kalbar, Budi Haryanto menambahkan, usulan pelepasan fungsi lindung hutan mangrove tersebut juga untuk "menjawab" rencana pembangunan serta RTRW Gubernur Kalbar yang salah satunya mengenai pengembangan wilayah pesisir. "Jadi bukan gara-gara ada calon investor dari Korea Selatan," katanya menegaskan,


Kepala Biro Ekonomi Sekretariat Daerah Kalbar, Zulkarnain mengatakan, saat ini tengah dikaji pula apakah tambak yang sudah ada di hutan mangrove di Kabupaten Kubu Raya masuk dalam kawasan hutan lindung atau tidak. "Karena ada areal permukiman disana yang sudah ada sejak lama," katanya.


Sekitar 300 hektare hutan lindung mangrove di Kabupaten Kubu Raya digunakan untuk budidaya tambak udang tanpa ada pelepasan dari Menteri Kehutanan.(* ) Pontianak (ANTARA News) -

Minggu, 07 September 2008

Bangsa Bahari Tradisi Besar yang Dilupakan

Jauh sebelum kedatangan orang-orang Eropa di perairan Nusantara pada paruh

pertama abad XVI, pelaut-pelaut negeri ini telah menguasai laut dan tampil
sebagai penjelajah samudra. Kronik China serta risalah-risalah musafir Arab
dan Persia menorehkan catatan agung tentang tradisi besar kelautan nenek
moyang bangsa Indonesia.


Serangkaian penelitian mutakhir yang dilakukan Robert Dick-Read (Penjelajah
Bahari: Pengaruh Peradaban Nusantara di Afrika, 2008) bahkan memperlihatkan
fenomena mengagumkan. Afrikanis dari London University ini, antara lain,
menyoroti bagaimana peran pelaut-pelaut nomaden dari wilayah berbahasa
Austronesia, yang kini bernama Indonesia, meninggalkan jejak peradaban yang
cukup signifikan di sejumlah tempat di Afrika.


Para penjelajah laut dari Nusantara diperkirakan sudah menjejakkan kaki
mereka di Benua Afrika melalui Madagaskar sejak masa-masa awal tarikh
Masehi. Jauh lebih awal daripada bangsa Eropa mengenal Afrika selain Gurun
Sahara-nya dan jauh sebelum bangsa Arab dan Zhirazi dengan perahu dhow
mereka menemukan kota-kota eksotis di Afrika, seperti Kilwa, Lamu, dan
Zanzibar.

”Meskipun (para pelaut Nusantara) tidak meninggalkan catatan dan
bukti-bukti konkret mengenai perjalanan mereka, sisa-sisa peninggalan mereka
di Afrika jauh lebih banyak daripada yang diketahui secara umum,” tulis
Dick-Read pada pengantar buku terbarunya.


Catatan hasil penelitian Dick-Read kian memperkaya khazanah literatur
tentang peran pelaut-pelaut Indonesia pada masa lampau. Bukti-bukti mutakhir
tentang penjelajahan pelaut Indonesia pada abad ke-5 yang dibentangkan
Dick-Read makin mempertegas pandangan selama ini bahwa sejak lebih dari
1.500 tahun lampau nenek moyang bangsa Indonesia adalah pelaut sejati.

Jauh sebelum Cheng Ho dan Columbus membuat sejarah pelayaran mereka yang
fenomenal, para penjelajah laut Nusantara bisa dikatakan sudah melintasi
sepertiga bola dunia. Meskipun sejak 500 tahun sebelum Masehi orang-orang
China sudah mengembangkan beragam jenis kapal dalam berbagai ukuran, hingga abad VII kecil sekali peran kapal China dalam pelayaran laut lepas.


Jung-jung China lebih banyak melayani angkutan sungai dan pantai.


Tentang hal ini, Oliver W Wolters (1967) mencatat bahwa dalam hal hubungan
perdagangan melalui laut antara Indonesia dan China—juga antara China dan
India Selatan serta Persia—pada abad V-VII, terdapat indikasi bahwa bangsa
China hanya mengenal pengiriman barang oleh bangsa Indonesia.


I-Tsing, pengelana dari China yang banyak menyumbang informasi terkait masa
sejarah awal Nusantara, secara eksplisit mengakui peran pelaut-pelaut
Indonesia. Dalam catatan perjalanan keagamaan I-Tsing (671-695 Masehi) dari
Kanton ke Perguruan Nalanda di India Selatan disebutkan bahwa ia menggunakan kapal Sriwijaya, negeri yang ketika itu menguasai lalu lintas pelayaran di ”Laut Selatan”.


Dengan kata lain, arus perdagangan barang dan jasa menjelang akhir milenium
pertama di ”jalur sutra” melalui laut— meminjam istilah arkeolog Hasan
Muarif Ambary (alm)—sangat bergantung pada peran pelaut-pelaut Indonesia.
Tesis Dick-Read bahkan lebih jauh lagi, bahwa pada awal milenium pertama
kapal-kapal Kun Lun (baca: Indonesia) sudah ikut terlibat dalam perdagangan
di Mediterania.


Masyarakat bahari


Denys Lombard (Nusa Jawa: Silang Budaya, Jilid 2), mengidentifikasikan nya
sebagai orang-orang laut, sedangkan Dick-Read merujuk ke sumber yang lebih
spesifik: orang-orang Bajo atau Bajau. Mereka ini semula berdiam di kawasan
Selat Melaka, terutama di sekitar Johor saat ini, sebelum akhirnya menyebar
ke berbagai penjuru Nusantara, dan pada sekitar abad XIV sebagian besar
bermukim di wilayah timur Indonesia.


Peran yang dimainkan para pelaut Indonesia pada masa silam tersebut terus
berlanjut hingga kedatangan orang-orang Eropa di Nusantara. Para penjelajah
laut dan pengelana samudra inilah yang membentuk apa yang disebut Adrian B
Lapian, ahli sejarah maritim pertama Indonesia, sebagai jaringan hubungan
masyarakat bahari di Tanah Air.


Anthony Reid (Sejarah Modern Awal Asia Tenggara, 2004) menyebut kelompok
masyarakat berbahasa Austronesia ini sebagai perintis yang merajut kepulauan
di Asia Tenggara ke dalam sistem perdagangan global.


Akan tetapi, pada abad XVIII masyarakat Nusantara dengan budaya maritimnya
yang kental itu mengalami kemunduran. Monopoli perdagangan dan pelayaran
yang diberlakukan pemerintahan kolonial Belanda, walau tidak mematikan,
sangat membatasi ruang gerak kapal-kapal pelaut Indonesia.


Ironisnya, setelah 68 tahun Indonesia merdeka, setelah PBB mengakui
Deklarasi Djoeanda (1957) bahwa Indonesia adalah negara kepulauan, tradisi
besar itu masih saja dilupakan.

Kini, kemiskinan dan keterbelakangan masyarakat nelayan dijumpai di banyak
tempat, sementara di sisi lain, kekayaan laut kita terus dikuras entah oleh
siapa.... (KEN) Kompas cetak, Jumat, 5 September 2008.

Terumbu Karang Sulawesi Selatan Rusak 70 %

Sekitar 70 persen terumbu karang di perairan Sulawesi Selatan rusak akibat ulah manusia.


Seorang pejabat Dinas Kelautan Sulsel, Andi Husbawaty, menyatakan bahwa nelayan-nelayan setempat yang menggunakan bom dan bius saat menangkap ikan adalah penyebab utama rusaknya ekosistem laut Sulsel terutama terumbu karang.


Data Pusat Penelitian Terumbu Karang Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, Rabu, menunjukkan, dari sekitar 5.000 km2 luas terumbu karang Sulsel, 70 persennya rusak dan 30 persen sisanya dalam kondisi kritis.


Kerusakan terparah terjadi di Kabupaten Bulukumba yang sudah 100 persen rusak, Kabupaten Pangkep 97 persen rusak, Sinjai 86 persen, dan Kabupaten Selayar yang memiliki taman nasional bawah laut "Takka Bonerate" pun 70 persen terumbu karangnya juga rusak.
Makassar (ANTARA News) –

Di Laut Kita Jaya?

Jalesveva Jayamahe. Semboyan Angkatan Laut Republik Indonesia ini sungguh
menggetarkan: ”Di Laut Kita Jaya”!


Lupakan sejenak olok-olok ataupun cerita-cerita konyol terkait berbagai
kasus ketidakmampuan kita menjaga laut Nusantara. Lupakan dulu bahwa 80
persen dari sekitar 7.000 kapal perikanan di laut Nusantara adalah milik
asing meski dipasangi bendera Indonesia. Lupakan pula sejenak bahwa hanya 5
persen dari ekspor berbagai komoditas kita yang dilayani kapal domestik,
sedangkan 95 persen lainnya oleh kapal-kapal asing.


Sebagai negara kepulauan (archipelagic state), yang dideklarasikan oleh
Perdana Menteri Ir Djoeanda pada 13 Desember 1957 dan diterima PBB pada
1982, bukankah sudah sepantasnya bila mimpi sebagai penguasa laut itu bisa
diwujudkan?
Kalaupun hari ini belum jadi kenyataan, paling tidak impian itu
bisa menjadi semacam doa.


Masih dalam suasana peringatan ulang tahun kemerdekaan RI seperti sekarang,
ketika nilai-nilai patriotisme muncul dari lorong dan sudut-sudut jalan,
mendengar semboyan bahwa ”Di Laut Kita Jaya” seharusnya menggugah
kembali semangat bahari pada anak-anak bangsa ini. Ungkapan ”nenek
moyangku orang pelaut”, seperti tertuang dalam salah satu bait lagu yang
sangat terkenal itu, juga seharusnya tidak sekadar kata-kata kosong tanpa
disertai kesadaran untuk mengelola laut Nusantara sebagai sumber hidup dan
penghidupan bagi anak bangsa ini.


Namun, yang kerap dilupakan adalah kesadaran bahwa kejayaan tidak datang
begitu saja hanya lantaran kita ditakdirkan sebagai bangsa yang memiliki
wilayah laut begitu luas. Kejayaan itu mesti dibangun dan direbut. Bukan
cuma slogan, apalagi sekadar semboyan yang dimitoskan.


Pertanyaannya, sudahkah bangsa ini mensyukuri karunia Tuhan itu dengan
memberi perhatian lebih pada matra kelautan yang dimilikinya? Sudahkah laut
ditempatkan sebagai yang utama, sesuatu yang penting, sehingga orientasi
kita pun sebagai bangsa lebih diarahkan untuk menatap laut daripada daratan?

Tanpa harus membolak-balik statistik keuangan negara mengenai seberapa besar
alokasi dana APBN untuk pembangunan kelautan, atau mengukur komitmen negara lewat aturan perundang- undangan yang diciptakannya sebagai pijakan bagi kebijakan kelautan, dengan gamblang pertanyaan-pertanya an tadi sudah
menemukan jawabannya sendiri.

Bahwa, setelah 63 tahun Indonesia merdeka, laut masih diabaikan. Perhatian
pemerintah masih dan bahkan cenderung akan terus tersedot ke daratan. Sejauh
ini laut baru dilihat sebatas potensi tidur.


”Ini pula yang menjadi faktor kecilnya perhatian terhadap matra laut bagi
kehidupan berbangsa dan bernegara. Padahal, persoalan besar sebuah negeri
dengan panjang pantai terpanjang kedua di dunia (setelah Kanada) bernama
Negara Kesatuan Republik Indonesia ini adalah bagaimana memelihara
kedaulatan laut dan memanfaatkan potensinya seoptimal mungkin bagi
kesejahteraan rakyat,” kata Susanto Zuhdi, guru besar sejarah (maritim)
dari Universitas Indonesia.


Ditinggalkan

Tiap tanggal 21 Agustus, kalender peringatan hari-hari bersejarah bagi
bangsa ini mencatatnya sebagai Hari Maritim. Akan tetapi, seberapa banyak
warga-bangsa yang tahu dan peduli bahwa hari itu menandai awal penguasaan
laut Nusantara oleh Indonesia yang direbut dari tangan Jepang?


Pada peringatan Hari Maritim 2008, beberapa waktu lalu, hampir tak ada
berita di media massa—cetak maupun elektronik— nasional yang
menyuarakannya. Perhatian lebih terfokus pada kisruh dunia perpolitikan,
kasus aliran dana Bank Indonesia yang kian tak menentu ujungnya,
melambungnya harga-harga bahan kebutuhan pokok, hingga gosip-gosip di
sekitar kehidupan para selebritas.


Peringatan Hari Maritim pun berlalu tanpa catatan berarti. Laut baru ditoleh
dan mendapat tempat dalam pemberitaan ketika ombak mengganas dan kisah
tragis tenggelamnya kapal yang menelan banyak korban terjadi. Jangankan
peringatan Hari Maritim, kisah heroik para penjelajah pulau-pulau terluar
yang dimotori oleh Wanadri pun seperti tenggelam dalam hiruk-pikuk
keseharian bangsa bahari yang masih berorientasi ke daratan ini.


Ironis? Memang! Tak berlebihan bila mantan Panglima Armada Barat TNI AL
Djoko Sumaryono sampai pada kesimpulan, ”… harus jujur kita akui bahwa
budaya maritim yang pernah kita miliki berabad-abad lalu telah lama kita
tinggalkan.”

Akibatnya bukan saja laut Nusantara kehilangan kendali sepenuhnya oleh sang
pemilik, kedaulatan bangsa pun kian terancam. Meski satu-dua kasus
penangkapan kapal-kapal ikan asing yang beroperasi di perairan Nusantara
sempat mencuat, sesungguhnya jauh lebih banyak yang bebas berkeliaran dalam
aksi pencurian ikan di wilayah kedaulatan Indonesia.


Belum lagi berbagai kasus penyelundupan, perompakan, dan pelanggaran wilayah
oleh kapal asing yang melintas tanpa izin. Semua itu mengindikasikan
ketidakmampuan kita menjaga laut Nusantara. Berbagai potensi kerawanan itu
secara tidak langsung ikut meruntuhkan wibawa Indonesia sebagai penguasa
laut Nusantara di mata internasional.


Dengan luas wilayah laut mencapai 5,8 juta kilometer persegi, melingkupi
pantai sepanjang 81.000 kilometer atau setara dua kali panjang khatulistiwa,
bisa dipahami jika potensi kerawanan selalu muncul. Kondisi ini tentunya
menuntut perhatian lebih, terutama bila mimpi untuk menjadi penguasa laut
Nusantara benar-benar ingin diwujudkan.


Masalahnya, dihadapkan pada kenyataan ini, TNI AL sebagai garda terdepan
pengamanan laut Nusantara yang begitu luas hanya memiliki kurang dari 150
kapal perang. Itu pun hanya sepertiganya yang berpatroli secara bergantian,
sepertiga lagi dalam posisi siaga, dan sisanya dalam perawatan.


Bahkan, menurut catatan peneliti Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan
Kebudayaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PMB-LIPI), Jaleswari
Pramodhawardani (”Jalesveva Jayamahe”, Cuma Tinggal Mitos?, 2007), saat
ini tinggal 40 persen alat utama sistem pertahanan (alutsista) milik TNI AL
yang bisa dikatakan layak pakai. Dari 209 unit KAL (kapal patroli berukuran
lebih kecil dibandingkan kapal perang), misalnya, yang dalam kondisi siap
operasi tinggal 76 unit. Adapun dari 435 unit kendaraan tempur Marinir,
hanya 157 unit dalam kondisi siap.


Keterbatasan itu masih dihadapkan pada kondisi di mana peralatan pertahanan
yang dimiliki TNI AL tersebut rata-rata sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan teknologi. Sekadar contoh, Jaleswari menunjuk kondisi 79 buah
KRI, kapal patroli, dan kapal pendukung yang layak pakai ternyata usia
pakainya 20-40 tahun.


Jaleswari bahkan menambahkan, ”10 kapal pendukung (usia pakainya) telah
lebih dari 40 tahun. Saat ini Marinir (malah) masih mempergunakan kendaraan
tempur produksi tahun 1960-an, yang secara teknis telah sangat menurun efek
penggetar dan pemukulnya.”


Dari paparan singkat tersebut, jelas bahwa kekuatan TNI AL sebagai penjaga
laut Nusantara sangat tidak sebanding dengan wilayah laut yang harus mereka
awasi. Itu baru satu hal. Sudah bukan rahasia lagi bila kekayaan laut
Nusantara lebih banyak dinikmati oleh pihak asing.


Di sektor perikanan, misalnya, sebagaimana telah disinggung di awal tulisan
ini, dari sekitar 6,7 juta ton ikan hasil tangkapan dari wilayah laut
Indonesia per tahun, sebagian besar dinikmati pengusaha-pengusaha asing. Di
luar hasil tangkapan yang dicuri nelayan-nelayan asing, 80 persen lebih dari
sekitar 7.000 kapal penangkap ikan berizin operasi di perairan Nusantara
milik pemodal dari luar yang diberi bendera Indonesia.


Kehadiran nelayan-nelayan asing bukan saja bentuk pelanggaran kedaulatan
bangsa, tapi juga kian memarjinalkan posisi nelayan-nelayan domestik. Para
nelayan kita terjepit.


Selain harus bersaing dengan nelayan asing yang ditopang permodalan kuat,
nelayan-nelayan lokal juga harus menyiasati berbagai kesulitan akibat
ketidakberpihakan pemerintah atas nasib mereka, termasuk di dalamnya dampak dari kenaikan harga bahan bakar minyak yang terus ”menggila” sejak
beberapa tahun terakhir. Kearifan lokal yang mereka warisi juga ikut
terdesak oleh penggunaan teknologi maju di bidang perikanan.


Bagaimana dengan transportasi laut untuk melayani aktivitas ekspor-impor?
Ini jauh lebih mengerikan. Berbagai sumber menyebutkan, 95 persen arus
bongkar-muat komoditas ekspor-impor dikuasai kapal-kapal asing. Bahkan,
lebih dari 50 persen barang dagangan yang diantarpulaukan pun menggunakan
jasa armada pelayaran asing berbendera ”Merah Putih”.


Apa boleh buat! Inilah sebagian dari ironi yang melingkupi sebuah negeri
yang telah mengklaim diri sebagai negara kepulauan alias negara bahari.
Keinginan untuk menjadi penguasa laut Nusantara yang sesungguhnya, sebuah
negara maritim yang berorientasi kelautan, hingga sejauh ini tampaknya masih
sebatas harapan.


Memang dibutuhkan keberanian untuk melakukan semacam reorientasi nilai.
Paradigma negara konsentris yang bertumpu pada daratan mesti
digeser—paling tidak dilakukan bertahap—ke pengembangan budaya maritim.

Jika tidak, semboyan Jalesveva Jayamahe-nya TNI AL bisa jadi hanya berhenti
sebatas slogan sebagaimana kekhawatiran Jaleswari Pramodhawardani. Cuma
tinggal mitos! (wad/ken)
Kompas cetak, Jumat, 5 September 2008

Laut yang Ditaburi Sekumpulan Pulau

Agak mengejutkan ketika pemerintah—melalui Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi—menyatakan bahwa sedikitnya 6.702 pulau di Indonesia yang belum bernama. Lebih mengejutkan lagi, jumlah pulau yang dimiliki Indonesia tampaknya tidak sebanyak seperti yang selama ini didengung-dengungkan, yakni 17.508 buah!


Hasil verifikasi oleh tim yang dibentuk lewat Peraturan Presiden Nomor 112
Tahun 2006 tersebut, hingga akhir Juni 2008 baru tercatat 8.172 pulau dari
25 provinsi yang telah disurvei. Meski masih delapan provinsi lagi yang
belum didata, dipastikan jumlah pulau yang dimiliki Indonesia sesungguhnya
tak sebanyak jumlah yang diyakini selama ini.


Pelajaran penting yang bisa ditarik dari kasus ini, tak pelak lagi, yakni
suatu kenyataan bahwa selama ini kita sebagai bangsa abai pada kekayaan
negerinya sendiri. Begitu banyak pulau tak bernama bukan saja
mengindikasikan ketidakpedulian, tapi juga gambaran ketidaksiapan kita
menjadi negara kepulauan yang sudah telanjur dideklarasikan pada 13 Desember 1957.


Sungguh memalukan! Untuk menentukan jumlah pulau yang merupakan hak milik bangsa ini saja kita seperti terkesan asal sebut. Sebelum dikoreksi menjadi 17.508 pulau pada tahun 1987, dalam waktu yang cukup lama (1968-1987) Indonesia mengklaim memiliki 13.667 pulau.


Hingga kini pun tak ada data pasti. Verifikasi terakhir, dengan penggunaan
metodologi yang lebih bisa dipertanggugjawabkan, baru merujuk angka 8.172
pulau. Sementara di sisi lain, cukup banyak pulau bernama ganda, baik yang ada di garis luar perairan Indonesia maupun di ”pedalaman”. Pulau Berhala, misalnya, setidaknya tercatat ada di tiga provinsi: Jambi. Riau, dan
Sumatera Utara.
Bahkan, nama yang sama juga dipakai untuk salah satu pulau di wilayah Malaysia.


Belum lagi pulau-pulau yang berada di wilayah ”pedalaman”. Penggunaan
”Batu” sebagai nama pulau ternyata digunakan di 12 provinsi. Di Nusa
Tenggara Timur saja tercatat ada 10 pulau bernama Pulau Batu. Begitupun nama Pulau Burung yang tersebar di 17 provinsi. Di Provinsi Kepulauan Riau saja terdata 10 pulau dinamakan Pulau Burung.


Terlalu banyakkah jumlah pulau yang kita miliki sehingga begitu sulit
mendatanya?
Atau, begitu susahkah memberinya nama satu per satu, sesuai
panduan penamaan pulau-pulau yang direkomendasikan United Nations Conference on the Standardization of Geographical Names (UNCSGN)-nya PBB?

Ataukah kenyataan ini lebih karena tak ada kesungguhan kita untuk memberi perhatian yang lebih serius pada pulau-pulau kecil dan terpencil itu? Padahal, kepastian letak dan jumlah pulau serta arti penting penamaannya terkait langsung dengan masalah kedaulatan bangsa.

Baru setelah Sipadan dan Ligitan harus hilang dari peta Indonesia pada tahun 2002, menyusul klaim Malaysia atas dua pulau itu dimenangkan oleh Mahkamah Internasional, banyak di antara anak bangsa ini seperti tersentak. Kasus Sipadan-Ligitan yang diikuti munculnya ”insiden” Ambalat, sebuah blok di dasar laut yang kaya akan sumber minyak dan gas, telah memberi pelajaran berharga pada Indonesia akan pentingnya memerhatikan ”hak milik”-nya.

”Kebetulan atau tidak, penentuan jumlah yang sesungguhnya dari pulau-pulau itu diharuskan untuk menegaskan kepemilikan bangsa Indonesia atas sebuah pulau. Kepemilikan itu sendiri harus ditegaskan dengan adanya penamaan dan penentuan koordinat di mana pulau itu berada,” kata Gusti Asnan dari Universitas Andalas dalam satu diskusi di Palembang, Juli 2008.

Bangsa maritim


Mata kuliah umum tentang wawasan Nusantara di perguruan tinggi pada
semester-semester awal selalu menekankan bahwa laut berfungsi sebagai
”penghubung” dan bukan ”pemisah” antarpulau. Laut adalah pemersatu,
mengintegrasikan ribuan pulau yang bertaburan di Nusantara.

Dalam perspektif ini, laut tidak saja dilihat sebagai jembatan yang
menghubungkan antarwilayah geografis Indonesia. Laut juga ditempatkan
sebagai unsur yang menyatukan aspek kebangsaan antarsuku dan etnis yang
tinggal di dalamnya.


Dengan kata lain, secara geopolitik dan geobudaya, laut dan pulau adalah
satu keniscayaan bagi Indonesia. Laut merupakan satu kesatuan yang tak
terpisahkan dari daratan. Ungkapan ”Tanah Air” pun menjadi bagian dari
proses pembentukan bangsa ini ”menjadi Indonesia”.


Kesadaran semacam itu sesungguhnya sudah muncul jauh sebelum Indonesia merdeka. Simaklah sajak-sajak Muhammad Yamin, terutama dalam Indonesia Tanah Airku. Ungkapan ”Tanah Air”, yang dalam sajak-sajak Yamin semula sekadar merujuk pada kampung halamannya di pinggang Bukit Barisan di Sumatera Barat, dalam perkembangannya menjadi semacam kesadaran sejarah akan patriotisme keindonesiaannya. Puncak dari konsistensi pemikiran dan kesadaran Yamin tentang ”Tanah Air” itu, sebagaimana dikemukakan sejarawan Taufik Abdullah (lihat catatan pengantar Taufik Abdullah dalam buku Restu Gunawan,
Muhammad Yamin dan Cita-cita Persatuan, 2005: xii-xiii), tertuang dalam salah satu butir Sumpah Pemuda 1928.


Lagi pula, bukankah Indonesia—lewat Deklarasi Djoeanda pada 13 Desember
1957—sudah menyatakan diri sebagai negara kepulauan dan bukan negara
agraris? Makna dari konsep negara kepulauan (archipilagic state) pada
hakikatnya juga menaungi wilayah laut yang ada di kawasan tersebut secara
keseluruhan.

”Segala perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau
atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia… dan dengan demikian merupakan bagian dari perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak daripada Negara Republik Indonesia,” demikian antara lain bunyi Deklarasi Djoeanda.


Melalui perjuangan diplomasi yang panjang, pada 10 Desember 1982 konsepsi negara kepulauan itu diterima dalam Konvensi Hukum Laut Internasional yang ditandatangani 117 negara. Diterimanya prinsip-prinsip negara kepulauan oleh PBB bukan saja menambah luas wilayah laut Indonesia, tetapi juga kekayaan sumber daya alam yang ada di dalamnya.


Semua itu tentunya menuntut perubahan paradigma pengelolaan negara. Sebagai negara kepulauan, selayaknya bila matra laut diletakkan sebagai ”poros utama” kehidupan berbangsa dan bernegara.


”Dengan cara pandang bahwa laut adalah yang penting bagi bangsa ini, maka
laut adalah suatu sistem. Sistem laut tersusun dan merupakan suatu jaringan bagi terintegrasinya pulau-pulau,” kata Susanto Zuhdi, guru besar sejarah maritim dari Universitas Indonesia.


Dengan luas laut 5,8 juta kilometer persegi, termasuk zona ekonomi eksklusif
(ZEE), potensi sumber daya perikanan saja mencapai 6,7 juta ton per tahun.
Belum lagi potensi-potensi lain, seperti minyak dan gas bumi yang sedikitnya
ada di 60 cekungan.


Akan tetapi, mengapa laut yang ditaburi pulau-pulau di-”dalam”-nya itu
seperti sengaja ditelantarkan? Mengapa wawasan bangsa ini masih berorientasi pada daratan? Bukankah sejatinya makna archipelago adalah ”laut utama”, laut yang ada di antara Yunani dan Turki: Laut Aegean! Dengan begitu, kata Susanto Zuhdi, archipelagic state lebih cocok diterjemahkan sebagai negara kelautan atau negara maritim ketimbang pengertian archipelago yang sudah terdistorsi sebagai ”kepulauan”.


”Dengan mengembalikan makna dasarnya, bahwa archipelago adalah ’laut
yang ditaburi sekumpulan pulau’ dan bukan ’sekumpulan pulau yang di
keliling laut’, maka ’Tanah Air merupakan konsep yang komprehensif dalam
memandang wilayah Indonesia,” tutur Susanto Zuhdi.


Ada rasa sedih tiap kali mendengar berbagai anekdot terkait keberadaan
polisi perairan dan angkatan laut kita yang ’tak berdaya’ menghalau
kegiatan pencurian ikan di perairan Indonesia. Kedaulatan kita sebagai
bangsa seperti tergadai. Lebih sedih lagi mengetahui pangkal ”kekalahan”
kita atas Malaysia dalam perebutan Sipadan dan Ligitan karena bangsa ini
sebelumnya tidak peduli hak miliknya dengan membiarkan orang Malaysia
mengembangkan kedua pulau tersebut.


Minimnya infrastruktur transportasi dan komunikasi kelautan serta kurangnya perhatian pada upaya pengembangan ekonomi masyarakat yang berbasis pada laut adalah sumber dari berbagai persoalan untuk menjadikan Indonesia sebagai bangsa bahari.


Masa lalu, yang diawali kejayaan Sriwijaya—dan diteruskan oleh
Majapahit—sebagai penguasa laut Nusantara kini hanya tinggal dalam catatan sejarah. Sampai kapan bangsa ini terus berpaling dari laut? (wad/ken) KOMPAS/ Jumat, 5 September 2008.



Sebagian Hutan Bakau Di Tanjungpinang Terancam Punah

Sebagian hutan bakau di Kota Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) terancam punah karena lahannya dijadikan permukiman.


Pernyataan itu disampaikan Baiq Desi, salah seorang wartawati media harian lokal yang bersama dengan 50-an wartawan berdialog dengan jajaran Pemkot Tanjungpinang, Sabtu.


"Banyak hutan bakau ditebangi karena lahannya jadi tempat tinggal warga, sementara belum nampak ada tindakan pencegahan dari pemerintah," katanya.


Hutan bakau yang hampir punah antara lain terdapat di Sungai Pulai KM 16 dan pulau Dompak.


Menanggapi pernyataan itu, Walikota Tanjungpinang, Suryatati A Manan mengatakan, pelestarian dan pengawasan hutan bakau bukan hanya menjadi tanggungjawab pemerintah, melainkan juga masyarakat.


Menurut dia, hutan bakau dilindungi karena keberadaannya dibutuhkan untuk keseimbangan ekosistem di perairan.


Namun bakau juga dapat dimanfaatkan masyarakat yang sudah memiliki izin dari pemerintah. Pemanfaatan bakau harus disertai dengan penanaman kembali.


"Hutan bakau perlu dilindungi, tapi sumber daya bakau juga dapat dimanfaatkan dengan syarat ditanam kembali," katanya.


Ia mengatakan laporan yang disampaikan wartawan akan dijadikan bahan masukan bagi pemerintah dalam melestarikan hutan bakau di Kota Tanjungpinang. "Seluruh aparat pemerintahan akan menjaga dan mengawasi hutan bakau," katanya.(*) Tanjungpinang (ANTARA News)