Rabu, 30 Juli 2008

Tujuh Dampak Negatif Penyewaan Perairan Pesisir

Oleh Suhana

Kebijakan penyewaan perairan pesisir dan pulau-pulau kecil melalui Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3) seperti yang tertuang dalam UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sampai saat ini masih menimbulkan pro-kontra yang substansial antara pemerintah dan para stakeholders kelautan lainnya.
Kebijakan tersebut akan berlaku efektif pada akhir Juli 2008 ini. Pemerintah mengharapkan dengan sistem HP-3 ini pendapatan negara dari sektor kelautan mengalami peningkatan melalui biaya perijinan sertifikat HP-3 dan biaya pajak lainnya yang saat ini sedang disusun peraturannya. Namun, kebijakan tersebut ternyata tidak didukung oleh naskah akademik yang komprehensif.

Selain itu juga, pemerintah saat ini belum menghitung secara jelas berapa besarnya biaya pengawasan dan penegakan hukum untuk meminimalisir dampak negatif penerapan sistem tersebut. Apakah pendapatan negara dari HP-3 tersebut lebih besar dari biaya pengawasan HP-3 yang akan dilaksanakan ataukah sebaliknya?
Hal ini belum bisa dijelaskan dalam tulisan ini mengingat pemerintah belum menentukan berapa tarif yang akan diberlakukan untuk setiap meter persegi wilayah perairan yang akan di HP-3 kan atau disewakan kepada para pengusaha.

Namun secara hitungan kasar dapat dijelaskan bahwa biaya pengawasan dan penegakan hukum atas penerapan HP-3 ini akan jauh lebih besar, apalagi dengan adanya kebijakan kenaikan harga BBM. Saat ini saja, setelah kenaikan harga BBM, setiap kapal pengawas perikanan yang seharusnya beroperasi seratus hari hanya dapat beroperasi sekitar 71 hari saja.

Hal ini disebabkan bahwa 90 persen dari biaya operasional kapal adalah untuk pembelian BBM. Masih terbatasnya fasilitas bunker Pertamina di beberapa daerah, mengakibatkan pembelian BBM untuk beberapa kapal pengawas tersebut sebagian masih terkena harga BBM industri. Artinya bahwa pascakenaikan BBM terjadi kekosongan hari pengawasan di wilayah perairan Indonesia sekitar 30 persen. Pengurangan waktu operasi kapal pengawas tersebut akan berdam-pak terhadap peningkatan berbagai aktivitas ilegal di wilayah perairan Indonesia.

Tujuh Dampak Negatif

Penyewaan perairan pesisir tersebut juga melanggar prinsip-prinsip negara kepulauan yang menekankan adanya keterpaduan antara matra darat, laut dan udara dalam melakukan pemba-ngunan nasional. Terlebih dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN), salah satu point misi pebangunan jangka panjang adalah mewujudkan Indonesia sebagai negara kepulauan/maritim.
Artinya bahwa keterpaduan antara matra darat, laut dan udara menjadi sangat urgen. Dengan adanya penyewaan perairan pesisir kepada pihak swasta akan "menghilangkan" keterpaduan matra laut atau perairan dalam pembangunan nasional. Padahal para pendahulu bangsa ini telah memperjuangkan secara gigih agar prinsip-prinsip negara kepulauan ini diakui oleh dunia internasional seperti yang sudah tertuang dalam UNCLOS 1982.

Hasil diskusi mendalam Universitas Satya Negara Indonesia (USNI) terhadap UU No 27 Tahun 2007 mengidentifikasi kemungkinan dampak negatif dari kebijakan HP-3 tersebut, yaitu

pertama, berpotensi mengulangi kesalahan pengelolaan SDA daratan (kehutanan) karena membuka peluang eksploitasi sumberdaya alam yang akan merusak lingkungan hidup.

Kedua, berpeluang memarjinalkan rakyat sebab masyarakat yang lemah dari segi modal, pengetahuan dan jaringan harus berkompetesi dengan pihak pemodal yang jauh lebih baik.

Ketiga, berpeluang marak dengan korupsi dan menganut pola dan semangat eksploitatif sektoral.

Keempat, HP-3 milik perorangan rawan dijadikan tempat penyelundupan barang, narkoba, senjata dan atau manusia. Beberapa waktu lalu, pihak kepolisian telah membongkar jalur distribusi narkoba melalui laut. Jalur narkoba via laut ini melalui jalur Guandong (Cina)-Hilir Cisadane di Tangerang. Dalam sebuah diskusi Government Maritime di Jakarta beberapa waktu yang lalu Menteri Pertahanan RI mengakui aparat berwajib keteteran memberantas jalur distribusi narkoba lewat laut karena jaringannya sangat kuat.

Kelima, HP-3 kurang mencerminkan UUD 1945 sebab berpotensi menciptakan konflik antar pengguna perairan, khususnya antara nelayan dengan pemegang HP-3, sebab ikan pada umumnya bersifat mobil (berpindah-pindah) dan terus berkembangbiak.

Keenam, HP-3 juga membuka peluang konflik antar institusi, misalnya DKP yang mengurus ikan dapat bentrok dengan DESDM yang mengeksploitasi minyak dan gas bumi.

Ketujuh, HP-3 dapat menghambat pemerintah dalam penanganan bagi masyarakat pesisir yang terkena bencana alam dari laut karena akses pemerintah menjadi terbatas dan pemerintah juga dapat mengelak dari tanggung jawab tersebut.

Revitalisasi Negara Kepulauan

Berdasarkan hal tersebut sangat penting untuk kita merenung kembali agar pembangunan kelautan dan perikanan dapat mendukung terwujudnya negara kepulauan yang tangguh. Artinya bahwa dalam melakukan pembangunan negara kepulauan perlu adanya keterpaduan antara matra darat, laut dan udara.

Oleh sebab itu berbagai paradigma pembangunan yang mengesampingkan akan tegaknya negara kepulauan yang kuat perlu dikaji ulang. Pemerintah hendaknya tetap konsisten untuk mewujudkan negara Indonesia sebagai negara kepulauan yang kuat.
Berdasarkan hal tersebut guna mengembalikan semangat pemerintah untuk melestarikan sumberdaya ikan, kesejahteraan nelayan dan menegakkan kembali prinsip-prinsip negara kepulauan dalam pembangunan nasional maka saat ini pemerintah perlu melakukan upaya merevitalisasi negara kepulauan.

Dalam konteks pembangunan sumberdaya perikanan dan kelautan pemerintah perlu memperkuat Dewan Kelautan Indonesia sebagai wadah untuk menyatukan semua kepentingan stakeholders kelautan nasional. Mengingat lembaga tersebut beranggotakan semua instansi yang bergerak di bidang kelautan dan dipimpin langsung oleh Presiden RI.

Selain itu juga pemerintah secepatnya untuk mengkaji ulang dan mengamandemen pasal-pasal yang mengatur HP-3 dalam UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dapat menghambat terwujudnya negara kepulauan yang handal. Pemerintah hendaknya dalam menjaring investasi pembangunan kelautan dan perikanan lebih mengedepankan perbaikan iklim investasi dan menjamin keberlangsungan investasi di bidang kelautan dan perikanan.

Dus, tanpa adanya upaya tersebut dikhawatirkan pembangunan kelautan dan perikanan akan menjadi penghambat untuk mewujudkan negara kepulauan yang kuat. Selain itu juga tanpa adanya upaya tersebut dikhawatirkan pembangunan kelautan nasional akan semakin berpihak kepada para pemodal besar dan memarginalkan nelayan kecil dan kelestarian sumber daya ikan.

Penulis adalah Kepala Riset dan Kebijakan Kelautan pada Pusat Studi Pembangunan dan Peradaban Maritim.

http://asia. groups.yahoo. com/group/ Illegal_Fishing_ Indonesia/ join

Pukat Harimau Parkir di Pulau Abang - Galang

Salah satu site Coremap II Batam tepatnya Pulau Abang kecamatan Galang menjadi tempat parkir dari Pukat Harimau. Ironisnya pukat tersebut bertambah satu lagi. Pemilik pukat harimau tersebut adalah Tauke Hasim dan Semui.

Menurut informasi abknya lokasi penggunaan pukat harimau tersebut di perairan Laut Cina Selatan dan Perairan Kalimantan. Namun, masyarakat menduga pukat tersebut dioperasikan juga di perairan sekitar Kelurahan Pulau Abang. Hal ini mungkin saja dilakukan pada saat cuaca buruk karena kapal tersebut dilengkapi dengan teknologi navigasi yang cukup maju. Selain itu, pengawasan juga masih lemah. Apatah lagi Pos Angkatan laut yang selayaknya di posisi netral malah berada di dalam komplek tauke hasim.

Ini juga diperkuat dengan pernyataan abk kapal tersebut yang mengeluhkan keberadaan rumpon-rumpon dari Coremap II yang menjadi penghalang bagi pengoperasian pukat harimau. Anggapan bahwa rumpon sebagai pengganggu pengoperasian pukat harimau memperkuat dugaan pengoperasian pukat harimau di lokasi perairan Kelurahan Pulau Abang. Rumor berhembus bahwa rumpon-rumpon tersebut diputus oleh pihak-pihak tertentu untuk melancarkan pengoperasian pukat harimau dan jaring pari. Tokh selama ini tidak pernah dilakukan evaluasi atas keberadaan rumpon tersebut.

Fakta pendukung lainnya, Informasi di lapangan menyebutkan masyarakat terutama ibu-ibu mengeluhkan bahwa tangkapan ikan pukat harimau berkurang drastis dan hanya menyisakan satu pukat harimau saja pada tauke Hasim. Maklum, karena ibu-ibu ini biasa membuat kerupuk yang mengandalkan ikan remes dari hasil pukat harimau karena harganya murah. Nah, mereka mengeluhkan ketiadaan ikan dari berkurangnya kapal pukat harimau.

Selain itu, beberapa waktu di musim timur cumi membanjir di perairan Pulau Abang. Masyarakat mendapat berkah dengan banjirnya cumi. di sisi yang lain banjirnya cumi ini diduga karena ikan-ikan besar yang menjadi predatornya berkurang. Nah, sekarang ini di musim selatan mcumi pun berkurang drastis karena dieksploitasi terus menerus.

Pada musim utara, tangkapan udang karang jauh berkurang dari biasanya. Bahkan masyarakat mengeluhkan hilangnya udang karang dari perairan kelurahan Pulau Abang. Beberapa tauke terpaksa menanggung rugi karena udang karang tidak diperoleh. Apakah ini dikarenakan rusaknya habitat bagi udang karang tersebut ?.

Pemilik kapal mengoperasikan pula jaring pari di perairan sekitar Kelurahan Pulau Abang seperti di perairan Pulau Petong.

Penyelaman di Pulau Petong pada bulan April 2008 menghasilkan temuan yang cukup mengejutkan. Terumbu karang pulau Petong semakin rusak. Lokasi-lokasi yang dahulunya menjadi simpanan bagi kekayaan biota laut seperti ikan hias dan terumbu karang tidak lagi menarik.

Selain itu, kerusakan juga diakibatkan oleh pengambilan ikan hias dan terumbu karang oleh oknum masyarakat dari Pulau Kasu. Hal ini ditemui sejak 2006 lalu bahkan Dinas KP2 Batam mengetahuinya.

Beberapa pemancing di Batam yang sering memancing di perairan Kelurahan Pulau Abang menyebutkan bahwa mereka sulit memperoleh ikan-ikan besar sekarang.

Ancaman lainnya adalah pengeboman ikan yang dilakukan oleh orang yang belum teridentifikasi seperti di Pulau Sepintu dan Sawang di perairan Kelurahan Pulau Abang. Mereka menggunakan mesin Dobel 200 PK. Masyarakat masygul karena tidak dapat berbuat apa-apa. Tokh, keberadaan aparat di sana tidak mampu mengawasi dan menindaklanjuti banyak temuan tersebut.

Semakin kompleks lagi permasalahan illegal fishing yang mencuat juga diperparah dengan adanya perubahan lahan di Kecamatan Galang yang berakibat tingginya erosi dan mengakibatkan sedimentasi. Kekeruhan air menjadi-jadi dan banyak terumbu karang tertutup sedimen. Tolonglah Kami....

(Pengirim : Forum Illegal Fishing Indonesia) dedu dadi, Pulau Abang - Juli 2008,

http://asia. groups.yahoo. com/group/ Illegal_Fishing_ Indonesia/ join

Sabtu, 26 Juli 2008

Petani Rumput Laut Rugi.

KABAENA DIAMBANG MALAPETAKA.

Aktivitas tambang PT. Billy Indonesia di Kabaena telah mengeruk tanah dibukit Bumbuntuwele sangat merisaukan warga di sekitar Desa Lambale Dongkala dan Tapuhaka. Aktivitas perusahaan ini membawa kerusakan hutan dibukit itu, yang menimbulkan kelangkaan air minum karena keringnya sumber mata air dibukit tersebut.

Menurut Alkautsar dari Aliansi Masyarakat Kabaena Bersatu (AMBK) menjelaskan banyaknya Lumpur warna merah dipinggir laut akibat sedimentasi dari bukit itu menyebabkan ratusan hektar arear budidaya rumput laut di Kelurahan Lambale dan Desa Tapuhaka rusak. Akibatnya banyak petani rumput laut gulung tikar karena menanggung rugi. Belum lagi dampak terhadap ekosistem perairan disekitarnya akan rusak.

Selain itu didaerah Kulisusu buton utara akibat perambahan hutan yang dilakukan oleh pengelolaan kayu rakyat. 300 kelompok petani rumput laut mengalami gagal panen, akibat air bah yang masuk dalam areal budidaya. Menurut La Ode Ramlan ketua HNSI perambahan hutan yang berimbas pada hilanya daerah resapan air, mengakibatkan potongan kayu dan berbagai sisa sampah dari pegunungan ikut hanyut menggenangi lahan pengembangbiakan rumput laut. (Sumber Kendari Pos 26 Juli 2008).

Menurut salah satu LSM/Ngo Yayasan Pelestarian Laut dan Pantai mengharpakan perhatian pemerintah propinsi maupun kabupaten yang sudah mengeluarkan kuasa pertambangan (KP) dan izin pengelolaan kayu rakyat (IPKR) untuk meninjau kembali izin yang sudah diberikan jangan melakukan pekerjaan dengan mengabaikan kerusakan lingkungan yang bakal timbul. Lebih jauh akan mengakibatkan kerusakan ekosistem lingkungan baik didarat maupun dilaut.

Pemerintah seharusnya melihat lebih jauh apabila mengeluarkan izin kuasa pertambangan (KP) dan izin pengelolaan kayu rakyat (IPKR) apakah menguntungkan masyarakat atau malahan menimbulkan keresahan dimasyarakat atau malahan bencana yang akan datang.

(Pengirim : Mukhtar, A.Pi Forum Illegal Fishing Indonesia)

Jumat, 25 Juli 2008

Revisi UU Perikanan Merujuk Australia

Kerugian akibat pencurian ikan Rp 30 triliun per tahun.

Jakarta -- Pemerintah berencana akan merevisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, khususnya yang terkait hukum acara. Beberapa pasal yang akan disempurnakan, antara lain, merujuk hukum kelautan Australia yang memberi kewenangan petugas patroli menenggelamkan dan membakar kapal asing yang melanggar.

"Kami ingin mengadopsi hal semacam itu," kata Direktur Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (P2SDKP) Aji Sularso kepada Tempo di Departemen Kelautan dan Perikanan akhir pekan lalu.

Selain itu, ia melanjutkan, penyidik dari TNI Angkatan Laut, polisi, dan aparat Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) perlu diberi kewenangan untuk secepatnya melelang barang bukti ikan agar tidak membusuk. "Hasilnya dimasukkan ke kas negara," ujar Aji. Sedangkan kapal yang tertangkap dapat digunakan negara untuk menambah aset.

Aji juga menyebut perlunya batas waktu penuntutan dipercepat, birokrasi dirampingkan agar tidak berbelit, dan proses peradilan diperkuat agar lebih tegas. Saat ini terdapat lima pengadilan perikanan, yaitu di Jakarta Utara, Medan, Pontianak, Bitung, dan Tual. "Jumlah ini harus ditambah, yaitu di Tanjung Pinang dan Natuna," ujarnya.

Ia juga menyoroti Pasal 8 dan 9 Undang-Undang Perikanan yang dinilai kurang tegas. Selama ini, Aji mencontohkan, pelanggaran alat tangkap dan fishing ground hanya dimasukkan dalam kategori pelanggaran dengan denda hanya Rp 250 juta. Hal semacam itu, kata dia, seharusnya masuk kategori pidana dengan sanksi lebih berat. "Bisa didenda Rp 2,5 miliar."

Penguatan aspek legal itu terkait dengan tingginya tingkat pencurian ikan di perairan Indonesia oleh kapal-kapal asing. Data di Departemen Kelautan dan Perikanan mencatat kerugian Rp 30 triliun per tahun.

Selain aspek legal, menurut Aji Sularso, untuk mengurangi pencurian, strategi sistem komando operasi tak akan lagi memakai telegram karena rawan bocor. "Kami akan menggunakan peta satelit pergerakan ikan dan kapal yang berlayar," ujarnya.

Ia menyebut Natuna, perairan Sulawesi Selatan, yang berbatasan dengan Filipina, serta Laut Arafuru sebagai wilayah rawan pencurian. Idealnya, di tiga wilayah itu minimal ada 30 kapal patroli. Saat ini kapal yang dimiliki DKP hanya 21 unit. "Ini adalah kelemahan kita," kata Aji.


Sekretaris Jenderal Koalisi untuk Keadilan Perikanan (KIARA) M. Riza Damanik mengatakan kenaikan harga bahan bakar minyak telah menurunkan kemampuan patroli. Saat ini, satu unit kapal hanya berpatroli sekitar 70 hingga 80 jam dari sebelumnya 100 jam. Padahal tren kejahatan perikanan justru meningkat.

Riza menyarankan, selain memperkuat aspek legal, perlu aksi diplomasi dengan negara regional soal pencurian ikan. "Biar mereka ikut menekan warganya yang mencuri," katanya.

Jika tidak, ia memperkirakan pada 2015 Indonesia akan krisis ikan karena habis dicuri. Selain itu, konsumsi ikan nasional meningkat menjadi 26 kilogram per kapita per tahun. Sehingga, kebutuhan domestik ikan mencapai lebih dari 4,8 juta ton per tahun dan kebutuhan ekspor ikan meningkat menjadi 1,2 juta ton. Ismi Wahid | Sudrajat. (Koran Tempo) Senin, 21 Juli 2008.

(Pengirim : Mukhtar, A.Pi Satker PSDKP Kendari http://mukhtar-api.blogspot.com )

Pengawasan Mutu Produk Perikanan Diperketat

Departemen Kelautan dan Perikanan akan memprioritaskan pengawasan penanganan keamanan produk (food safety) untuk menjamin mutu dan keamanan hasil perikanan yang akan diekspor. "Kami terus memperketat pengawasan produk," kata Direktur Pemasaran Luar Negeri Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan Saut P. Hutagalung kepada Tempo di Jakarta kemarin.

Untuk meningkatkan mutu dan keamanan produk perikanan itu, kata dia, Departemen Kelautan akan memperbaiki regulasi ketentuan pengawasan mutu dan peningkatan sumber daya manusia. "Kemampuan uji laboratorium di tingkat daerah akan diperbaiki dan prasarana akan ditambah," kata Saut.

Peningkatan mutu dan keamanan produk perikanan ini, kata dia, dilakukan agar penolakan produk ekspor oleh negara importir, terutama Uni Eropa, berkurang.

Data menunjukkan penolakan produk perikanan oleh Uni Eropa masih terjadi meskipun dengan kecenderungan menurun. Pada 2004, penolakan ekspor perikanan dari Uni Eropa sebanyak 70 kasus. Adapun pada 2005 mencapai 49 kasus, pada 2006 menurun menjadi 34 kasus, dan tahun lalu menurun menjadi 12 kasus. Hingga Juli 2008, penolakan produk perikanan asal Indonesia sebanyak 3 kasus.

Dia memaparkan faktor lain yang juga mengakibatkan rendahnya mutu dan keamanan produk perikanan untuk ekspor adalah sistem logistik serta angkutan yang buruk dan terlalu panjang. "Bongkar-muat ikan yang terlalu sering akan menimbulkan kontaminasi. Ini menjadi permasalahan yang serius," ujarnya.

Selama ini, kata dia, hasil perikanan yang akan diekspor ke Amerika Serikat ataupun Uni Eropa harus dibawa dulu ke Surabaya atau Jakarta. Kondisi itu diperparah oleh buruknya pasokan listrik untuk sistem pendingin. "Titik lemah ini harus diawasi," ujarnya. ISMI WAHID (Koran Tempo) Jum’at, 25 Juli 2008. (Pengirim : Mukhtar, A.Pi Satker PSDKP Kendari http://mukhtar-api.blogspot.com )

Penggunaan Potasium Sianida Merusak Terumbu Karang

BANYUWANGI -- Hasil penelitian lembaga swadaya masyarakat Pelangi menunjukkan pemakaian potasium sianida oleh nelayan ikan hias menjadi penyebab kerusakan terumbu karang di perairan Bansring, Muncar, Banyuwangi.


Koordinator Pelangi, Dwi Ariyoga Gautama, mengatakan, sekali melaut, nelayan menggunakan 4 kilogram potasium sianida. Bahkan jumlahnya bertambah banyak, mencapai 10 kilogram, jika jarak yang ditempuh semakin jauh.


Dari 51 nelayan ikan hias di Desa Bansring, Kecamatan Wongsorejo, hanya empat nelayan yang tidak menggunakan potasium sianida. Hal ini membuat kondisi terumbu karang di perairan tersebut semakin buruk. "Nelayan belum sadar, bahan kimia itu merusak terumbu karang," katanya kepada Tempo kemarin.

Menurut dia, penggunaan potasium membunuh seluruh organisme laut pembentuk terumbu karang. Kerusakan terumbu karang memperparah ancaman pemanasan global.


Yoga mengatakan, dari pelatihan yang digelar Pelangi, baru 13 nelayan yang bersedia meninggalkan potasium. Mereka beralih menggunakan jaring sebagai alat tangkap ikan hias yang aman.

Hasil penelitian Pelangi tak berbeda dengan data Dinas Perikanan Banyuwangi. Kepala Seksi Eksplorasi dan Konservasi Soebandijono mengatakan 80 persen terumbu karang di perairan daerah itu mengalami kerusakan. Kawasan terparah berada di sepanjang perairan Pulau Tabuhan hingga Pulau Senggrong, termasuk pula perairan Bansring, sepanjang 80 kilometer garis pantai. "Kerusakan sudah berlangsung bertahun-tahun," katanya kepada Tempo.


Soebandijono juga mengatakan kebiasaan buruk para nelayan menggunakan potasium sianida sebagai bahan bom ikan menjadi penyebab utama kerusakan terumbu karang. IKA NINGTYAS (Koran Tempo) Rabu, 16 Juli 2008
(Pengirim : Mukhtar, A.Pi Satker PSDKP Kendari http://mukhtar-api.blogspot.com )

Penyu Raksasa Tersangkut Jaring Nelayan

JEPARA -- Penyu raksasa seberat sekitar tiga kuintal ditemukan tiga nelayan di Jepara, Jumat lalu. Penyu sepanjang 1,8 meter itu untuk sementara diamankan di Balai Besar Air Payau, Dinas Perikanan dan Kelautan, setempat. "Untuk mengamankan hewan ini agar tetap terlindungi dan tidak mati," kata Ngadiyo, Komandan Polisi Air Polres Jepara.

Ngadiyo dan timnya memindahkan penyu tersebut dari tempat pelelangan ikan ke Balai Besar Air Payau atas rekomendasi Dinas Perikanan dan Kelautan. Rencananya, penyu itu akan dilepas kembali setelah dianggap cukup sehat.

Penyu raksasa itu ditemukan Sugiyanto, Parman, dan Hadi, nelayan-nelayan asal Desa Bondo, Kecamatan Bangsri, Jumat dini hari lalu. Penyu itu terjerat jaring ketika mereka sedang berada di perairan dekat Pembangkit Listrik Tenaga Uap Tanjungjati B. Berat sekali (ketika diangkat)," kata Sugiyanto, Minggu lalu.

Karena besar dan berat, Sugiyanto dan dua rekannya tak mampu melepas penyu dari jaring. Mereka memutuskan membawanya ke tempat pelelangan ikan di Desa Bondo, yang berjarak 25 kilometer dari lokasi penangkapan. Bagi para nelayan di Bondo, penangkapan penyu sebesar itu adalah yang pertama kali terjadi.

Setahun lalu, ikan hiu macan sepanjang delapan meter dengan berat satu ton ditemukan terdampar di perairan laut yang sama. Saat itu, hiu tersebut masuk ke dalam jaring jagrak milik Matsin, 70 tahun, dan anaknya Ahmad Husein (51) di dekat muara sungai, sekitar 500 meter dari garis pantai di Dukuh Ngemplak Desa Jambu, Kecamatan Mlonggo. Bandelan (Koran Tempo) Jum’at, 25 Juli 2008. (Pengirim : Mukhtar, A.Pi Satker PSDKP Kendari http://mukhtar-api.blogspot.com )

Hentikan Penangkaran Penyu

by : Rusman



Penangkaran satwa langka Penyu di Pantai Pangumbahan, di Desa Gunung Batu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, mulai dihentikan. Hal itu terkait adanya larangan eksploitasi telur penyu oleh Bupati Sukabumi.


Sejak surat edaran bupati setempat yang melarang eksploitasi telur penyu dikeluarkan beberapa bulan yang lalu, pihak CV Daya Bakti yang mengelola penangkaran penyu di Pantai Pangumbahan, mengajukan pengunduran diri.


Surat Edaran Bupati tertanggal 30 April 2008 meminta agar upaya penangkaran penyu di Pantai Pangumbahan dihentikan.
Surat Edaran tersebut mengacu pada Surat Menteri Kelautan dan Perikanan Nomer B-55/Men-KP- II-208/14 Februari 2008.


Langkah pelarangan dengan tujuan untuk melestarikan penyu, dalam surat edaran itu, karena satwa itu masuk dalam klasifikasi hewan langka dan dilindungi sesuai Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.


Direktur CV Daya Bakti, Adang Gunawan seperti dilansir Antara mengatakan, pihaknya kini sudah tidak melakukan penangkaran penyu, namun saat ini sedang mengajukan upaya kompensasi kepada Pemkab Sukabumi terhadap aset-aset yang ada di Pantai Pangumbahan.


"Langkah ini diambil, karena CV Daya Bakti telah mengembalikan kewenangan pengelolaan penangkaran penyu kepada Pemkab Sukabumi," kata Adang.


Ia mengatakan, seharusnya dalam perjanjian dengan Pemkab Sukabumi, izin pengelolaan dan pemanfaatan telur penyu dilakukan hingga tahun 2017 mendatang.


Penangkaran penyu hijau (Chelonia mydas) tepatnya dimulai sejak tahun 1973 yang dilakukan di sembilan titik Pantai Pangumbahan yaitu Pangumbahan, Ciujungan, Legok Matahiyang, Karang Dulang, Cibulakan, Citirem, Cikepuh, Cicebek, dan Batu Handap.


Wilayah itu, awalnya dikuasai oleh Pemkab Sukabumi yang dipercayakan kewenangannya kepada sektor swasta yakni PT Perbakti (kini CV Daya Bakti-Red).


Namun, pada tahun 1980 delapan titik ditetapkan sebagai daerah konservasi suaka alam yang kini dikelola oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) dan hanya satu titik Pangumbahan, yang bisa digunakan untuk pemanfaatan sekaligus kelestariannya.


Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Sukabumi mengatakan, dengan adanya upaya pengunduran diri dari pengelola penyu swasta di Pantai Pangumbahan, maka instansinya akan mencari donator yang akan mengelola kawasan konservasi itu. "Kami sedang mencari donatur untuk bisa mengelolanya, " kata Abdul Khodir, Kepala Bidang Perikanan Tangkap DKP.


Sementara itu, aktivis lingkungan Kusukabumiku, Budiyanto, menanggapi dingin upaya penghentian penangkaran penyu. Karena ia melihat masih ada upaya perdagangan telur penyu terutama di pusat Kota Sukabumi.


"Harus ada penanganan yang serius oleh sejumlah pihak untuk menjaga kelestarian Penyu. Yakni dengan melibatkan pemerintahan, tetapi tidak hanya Pemkab Sukabumi yang dilibatkan, melainkan juga Pemkot Sukabumi," ujar Budiyanto. (
Sukabumi | Jurnal Nasional)

BBM NAIK, KAPAL IKAN ASING MERAJALELA

Oleh : Muhamad Karim

Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim

Kenaikan bahan bakar minyak (BBM) hampir 30 % berdampak pada sektor perikanan karena kapal asing semakin merajalela. Terbukti, pada akhir Mei 2008 kapal pengawasan berhasil menangkap 15 unit kapal asing di perairan Kepulauan Natuna. Bahkan, nelayan dari pantai selatan Jawa di Kabupaten Cianjur melaporkan maraknya kapal – kapal modern berbendera asing menangkap ikan dengan pukat harimau di perairan itu. Kedua peristiwa ini berlangsung pasca kenaikan BBM. Bukankah semuanya akan semakin menghancurkan sumberdaya perikanan kita? Apa penyebabnya dan kebijakan yang semestinya dilakukan?

Penyebab

Merajalelanya pencurian ikan pasca kenaikan BBM karena, pertama, armada perikaan rakyat maupun nasional praktis menghentikan aktivitasnya. Sebab, selain pasokan BBM terbatas dan dibatasi pembeliannya. Juga, biaya operasional penangkapan meningkat 30 – 40 % (termasuk BBM, makan dan minuman).

Kedua, armada perikanan skala besar mengalihkan wilayah penangkapannya ke wilayah pesisir demi menghemat BBM. Padahal, perairan pesisir sudah mengalami tangkap lebih (over exploitation). Akibatnya, mengancam sumber kehidupan nelayan tradisional. Juga, berpotensi menimbulkan konflik karena penyerobotan wilayah perikanan tradisional. Kasus semacam ini sudah terjadi di perairan pantai selatan Jawa khususnya daerah sekitar Kabupaten Cianjur. Nelayan tradisonal di daerah itu menemukan kapal-kapal asing bertonase besar dan berbendera asing menangkap ikan di perairan itu.

Ketiga, tidak adanya insentif pemerintah yang dapat menyelamatkan perikanan nasional yang amat bergantung pada ketersediaan BBM yang memadai. Umpamanya, mengapa pemerintah tidak memberikan subsidi khusus bagi nelayan? Padahal nelayan di negara-negara Uni Eropa semacam Belgia, Perancis justru menuntut subsidi BBM.

Keempat, kapal pengawas milik Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) dan patroli TNI AL juga menggunakan BBM. Praktis kenaikan BBM juga mengurangi aktivitas pengawasannya..

Kelima, kapal asing yang mencuri ikan di perairan Indonesia menggunakan BBM yang disubsidi oleh negaranya seperti China, Vietnam, Thailand, Filipina, dan Malaysia.

Wajar saja kapal asing merajalela mencuri ikan di perairan Indonesia. Kondisi ini berdampak luas karena sumberdaya kita akan terkuras habis dan kontribusi sektor perikanan akan menurun drastis.

Kebijakan

Maraknya pencurian ikan pasca kenaikan BBM tidak bisa dibiarkan begitu saja. Pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan yang jelas agar stok sumberdaya perikanan nasional tidak terkuras habis dan aktivitas armada perikanan nasional tetap beroperasi. Kebijakannya; pertama, pemerintah memberikan insentif berupa subsidi khusus BBM bagi nelayan sehingga armada perikanan nasional tetap beroperasi. Mengapa? Sebab, komponen biaya terbesar dalam operasional penangkapan adalah BBM. Amat mustahil dengan harga BBM sekarang, armada perikanan nasional beroperasi normal. Hal serupa juga dapat diberikan pada kapal pengawasan, agar tetap beroperasi. Semestinya, nilai subsidi sektor perikanan 5,74 triliun (35 %). Angka ini berdasarkan (i) asumsi kenaikan harga BBM dunia sebesar (US$ 120/barrel) atau US$ 0,75 (75 sen) per liter dan kenaikan rata-rata biaya operasional. Jika dikonversi dalam rupiah (kurs tengah Rp 9.323), maka harga BBM sebesar 12,3 juta kilo liter untuk kebutuhan perikanan mencapai Rp 16,40 triliun. Bila subsidinya 35 %, harga BBM untuk perikanan semestinya Rp 4.575 per liter. Mengapa pemerintah tidak berani memberikan insentif ini? Padahal China, Vietnam, Thailand, Filipina, dan Malaysia melakukannya yang kapalnya mencuri ikan di perairan kita.

Kedua, pemerintah mengembangkan teknologi penangkapan ikan yang mampu menghemat penggunaan BBM. Umpamanya, mengembangkan (i) rumpon sehingga tidak perlu beroperasi berhari-hari mencari fishing ground ikan untuk menangkap ikan; dan (ii) budidaya perikanan laut (marine culture) berbasis ekosistem terumbu karang yang dinamakan sea farming yang memanfaatkan terumbu karang cincin (atol). Keduanya akan mengefisienkan penggunaan BBM, karena tidak perlu mengarungi lautan terlalu lama dan jauh. Cukup menangkap ikan di rumpon dan memanen ikan di karang atol.

Ketiga, mengembangkan pengawasan rakyat semesta berbasis penduduk yang bermukim di pulau - pulau kecil perbatasan (PPKB) dan wilayah pesisir serta pulau kecil yang berdekatan dengan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI). Pemerintah dapat memberikan pelatihan bagi mereka mengenai pemantauan kapal asing. Pemerintah juga memberi dukungan infrastruktur pengawasan misalnya Geographic Positioning System (GPS), kompas dan radar. Tak hanya itu. Dalam pengawasan ini perlu memberdayakan kearifan lokal masyarakat yang mampu membaca tanda-tanda alam, sehingga mendukung proses pengawasan. Hal ini penting karena perubahan cuaca, arus dan gelombang di lautan kerapkali sulit diprediksi. Apalagi perairan tersebut mengalami dinamika oseanografinya yang dinamis seperti perairan Aru, Arafura, Sulawesi bagian utara, Laut Cina Selatan dan Laut Banda.

Keempat, memberikan insentif dalam bentuk kompensasi kesehatan dan pendidikan bagi anak - anak nelayan tradisional yang orangtuanya berhasil melindungi fishing ground ikan dan ekosistem khas (misal; terumbu karang dan mangrove) secara mandiri. Pola ini selain meningkatkan produktivitas perikanan di suatu daerah. Juga, meningkatkan kualitas kesehatan dan pendidikan anak nelayan yang bermukim di desa-desa pesisir.

Kelima, nelayan tradisional yang sukses mengelola dan melindungi fishing ground dan ekosistem khas secara mandiri, asetnya dinilai dalam bentuk saham. Pola ini merupakan cara mengkonsolidasikan nelayan tradisional (fish folk consolidation) agar memiliki hak akses dan aset atas sumberdaya kelautan secara berdaulat. Kongkritnya, model ini dapat diaplikasikan pada sistem rumpon dan Sea farming. Mengapa harus demikian? Sebab, selama ini pola-pola daerah perlindungan maupun konservasi laut belum memberikan hak akses dan kepemilikan aset kepada nelayan tradisional. Justru yang terjadi dalam UU No. 27 Tahun 2007 perairan pesisir diprivatisasi yang ujung-ujungnya menguntungkan pemilik modal saja. Model ini juga praktis menghemat BBM, karena mereka cukup datang dan menangkap ikan di wilayah yang dia kelola secara mandiri. Bisa saja ia menggunakan perahu motor tempel maupun perahu layar. Model ini pada gilirannya akan menciptakan kedaulatan nelayan atas sumberdaya pesisir, tanpa direcoki pemilik modal.

Pelbagai kebijakan yang diuraikan dalam artikel ini akan tidak sekadar mampu melindungi serbuan kapal asing yang mencuri ikan di perairan Indonesia. Melainkan akan meningkatkan produktivitas dan pendapatan nelayan tradisional sehingga keluar dari jeratan kemiskinan.

Kamis, 24 Juli 2008

Ikan Dari Mana ? Untuk Pabrik di General Santos Philipina

Menurut Informasi Rekan kita yang tergabung pada forum Illegal_Fishing_Indonesia@yahoogroups.com yang tinggal dan bekerja di Davao City, Philipine mengatakan bahwa Philipina mempunyai pabrik pengolahan ikan terbesar dan modern yaitu berada di Gensan atau General Santos. kegiatan bongkar ikan tuna setiap hari mencapai 250 M3 yang menjadi pertanyaan beliau adalah darimana ikan ikan itu diperoleh sedangkan sepengatahuan beliau seluruh wilayah perairan laut Philipina tidak ada ikan apalagi jenis ikan tuna?

Kita patut mencuriagai bahwa ikan-ikan tuna tersebut masuk ke Philipina dengan cara Illegal Fishing maupun dengan legal berasal dari Indonesia.

Menurut Informasi yang kami himpun dari beberapa kepala pelabuhan perikanan yang berkunjung pelabuhan General Santos dan dari beberapa Kepala Satker yang berada di Sekitar Sulawesi Utara, mereka mengatakan bahwa sebagian besar kapal-kapal yang membongkar ikan disana adalah kapal-kapal yang sebagian besar menangkap ikan di Indonesia. Selain itu Pump Boat yang berada di Sulawesi Utara dan Maluku sebagian besar membongkar ikannya di pelabuhan General Santos setelah menangkap diperairan Indonesia tanpa masuk ke pelabuhan perikanan indonesia.

Disini ada beberapa kecolongan yang kita dapatkan :

1. Data Hasil tangkapan tuna tidak terdaftar.

2. Pajak ekspor ikan hilang.

3. Kerugian dari BBM bersubsidi mereka beli seharusnya tidak.

4. Bahan baku ikan dalam negeri berkurang.

Selain itu menurut penyidikan Kasus Pumb Boat dari Pangkalan PSDKP Bitung, Satker PSDKP Ternate, Kendari bahwa kapal-kapal tersebut adalah masih milik pengusaha Philipina. (Pengirim : Mukhtar, A.Pi Kepala Satker PSDKP Kendari)

TUNTUTAN IKATAN NELAYAN SAIJAAN (INSAN) KALSEL PENYELESAIAN KONFLIK ANTAR NELAYAN

Hari ini kami terpaksa lagi untuk turun ke jalan menuntut Pemerintah Daerah terutama Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kotabaru untuk menyelesaikan masalah-masalah yang sering kami hadapi dalam bekerja di lautterutama masalah perbatasan antara daerah di seluruh wilayah Kabupaten Kotabaru. Sudah banyak kerugian yang kami alami, baik kerugia fisik maupun materi akibat adanya batas-batas tersebut. Kejadian tersebut sering membuat kami merasa tidak aman dalam bekerja dan semakin menambah beban hidup kami yang semakin terhimpit karena baru-baru ini pemerintah daerah juga telah menaikkan harga BBM.


Sudah banyak terjadi konflik, perselisihan, pengambilan alat tangkap, perkelahian yang terjadi sejak tahun 2000 hingga tahun 2008 ini, diantaranya kejadian antara nelayan kami dengan nelayan Sungai Dungun yang berakibat cacat fisik seumur hidup karena tangan nelayan kami di bacok nelayan Sungai Dungun pada bulan November 2003, pengambilan secara paksa alat tangkap nelayan kami oleh nelayan Sungai Dungun, pada bulan November 2004, penyanderaan 4 buah kapal nelayan kami yang di lakukan oleh nelayan Sungai Dungun pada bulan November 2005, perusakan kapal dan dan alat tangkap serta perkelahian dan penyanderaan 5 buah kapal yang mengakibatkan kerugian fisik dan materi pada bulan Januari 2006, adanya penabrakan secara sengaja dan pengusiran nelayan kami yang igin memancing oleh nelayan Sekapung pada bulan Desember 2006dan kejadian yang sama di bulan Februari 2007, pengambilan alat tangkap nelayan kami oleh nelayan Teluk Gosong pada bulan Mei 2006, pengambilan secara paksa 5 buah alat tangkap kami oelh nelayan Teluk Gosong, serta banyak konflik lainnya yang terjadi dengan nelayan daerah Tarjun, Pantai, Senakin, Tanjung Batu, Sebuli, Pulau Kapak, Tanjung Harapan dll.

Semua kejadian tersebut hingga sekarang tidak pernah di selesaikan secara menyeluruh oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kotabaru, yang ada Dinas KP malah menyetujui adanya batas-batas tiap daerah yang mengakibatkan seringnya terjadi konflik berkepanjangan antara nelayan. Sudah banyak surat yang kami layangkan untuk menyelesaikan maslah batas tersebut hingga tuntas namun yang ada hanya dialog-dialog yang berakhir buntu dan sampai sekarang masalah tersebut belum juga teratasi, lebih celakanya lagi Dinas KP membentuk “Pokwasmas” di setiap daerah untuk perpanjangan tangannya dalam mengawasi wilayah laut yang tindakannya sering tidak jelas, yang ada malah mengadu domba sesama nelayan.


Secara sadar maupun tidak banyaknya terjadi konflik nelayan di karenakan wilayah tangkap di laut akibat marakanya aktifitas pertambangan di laut dan banyaknya pembangunan “Pelsus” batubara, dan yang kami rasakan hal tersebut sangat merusak lingkungan laut, sementara alat tangkap kami berupa lampara dasar mini dianggap oleh dinas KP sebagai perusak lingkungan, padahal hal itu tidak pernah terbukti dan sekali lagi kami nelayan kecil di jadikan kambing hitam terhadapa kerusakan lingkungan laut.


Berdasarkan hal tersebut kami Ikatan Nelayan Saijaan (INSAN) menuntut Pemerintah khususnya Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kotabaru, tuntutan kami sebagi berikut :


1.. Menuntut kepada Dinas Kelautan dan Perikanan Kab.Kotabaru untuk mencabut semua kesepaktan yang menyetujui adanya batas-batas antara daerah dalam bekerja di laut, dan hal ini di tuangkan dalam surat edaran yang berisi larangan adanya batas antar sesama nelayan kecil/tradisional dalam bekerja di laut yang di tandatangani oleh Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan, dan yang di harapkan adalah saling membina keharmonisan dan saling menghargai sesama nelayan.


2.. Menuntut Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan untuk membubarkan “Pokwasmas” yang ada di setiap daerah karena tujuan dan fungsinya tidak jelas, yang ada malah mengadu domba sesama nelayan.


3.. Menuntut Dinas Kelautan dan Perikanan untuk mengembalikan alat tangkap nelayan kami yang di ambil oleh nelayan Teluk Gosong tanpa syarat apapun, dan apabila ada kerusakan yang terjadi pada alat tangkap kami maka kami meminta pertanggungjwaban terhadap kerusakan tersebut kepada Dinas Kelautan dan Perikanan, karena hal tersebut merupakan kelalaian Dinas Kelautan dan Perikanan dalam menyelesaikan masalah batas yang sampai sekarang tidak kunjung selesai


Demikian sikap dan tuntutan politik kami, semoga seluruh nelayan Kotabaru dapat bersatu melawan segala bentuk penindasan.


HIDUP NELAYAN, NELAYAN BERSATU TAK BISA DIKALAHKAN !!!


Kotabaru, Senin, 21 Juli 2008 (Sumber :
Eksekutif Daerah WALHI)

Patroli Hiu Rutin Disambut Baik Nelayan Lokal Natuna

Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Natuna, Provinsi Kepri membeberkan modus operandi pencurian ikan yang dilakukan kapal-kapal asing di daerah tersebut.


Kepala DKP Natuna, Izwar Aspawi, Rabu, mengungkapkan, aksi pencurian ikan yang dilakukan kapal-kapal asing yang berasal dari Malaysia, Thailand dan Vietnam di Natuna biasanya dengan menggunakan dua kapal gandeng (peartrowl) dan satu kapal pengangkut. "Modusnya sangat rapi," kata Izwar di Tanjungpinang, ibukota Provinsi Kepri.


Izhar mengungkapkan, patroli rutin yang dilakukan kapal-kapal Hiu milik DKP sangat membantu nelayan lokal yang selama ini merasa takut dengan kehadiran kapal asing yang melakukan pencurian ikan.


Kapal-kapal asing yang menggunakan pukat harimau itu tidak memperdulikan keselamatan perahu nelayan lokal yang sedang mencari ikan.

"Sering ditabrak perahu-perahu nelayan lokal," ujarnya.

Ia mengungkapkan, setelah kapal-kapal Hiu melakukan patroli rutin di Natuna, nelayan kembali bisa mencari nafkah.


"Kalau dulu (sebelum ada kapal Hiu DKP) nelayan mencari ikan jauh dari perairan Natuna. Tapi sekarang sudah bisa lebih dekat. Pendapatan mereka pun meningkat," ucapnya.


DKP telah menyiagakan 6 kapal Hiu di Kepri. Setiap kapal berawakan 13 orang.

Aksi pencurian yang dilakukan kapal asing selama ini di Natuna mirip dengan kapal pengangkut MV Sapcharoensamut 15 yang ditangkap kapal patroli Hiu 004 pada 22 April 2008 di perairan Natuna.


Kapal asal Thailad tersebut ditangkap secara bersamaan dengan kapal gandeng asal Malaysia, TS 0555 BTS dan ST 0332 TS.


Kepala Bagian Hukum, Organisasi dan Humas Ditjen Pengawasan dan Pengendalian DKP, Clara Tiwow mengungkapkan, kapal gandeng digunakan untuk menangkap ikan. Setelah itu ikannya dimasukan ke dalam kapal pengangkut.


"Jarak antara kapal gandeng asal Malaysia dengan kapal asal Thailand tersebut berdekatan. Ketiganya berhasil ditangkap DKP," ujarnya.

Ketiga kapal tersebut berada di Posal Sabang Mawang Lanal Ranai, Natuna.

Namun MV Sapcharoensamut 15 mulai hari ini terpaksa dibebaskan menyusul gugatan praperadilan yang diajukan melalui kuasa hukumnya Saharuddin Satar diterima hakim tunggal Pengadilan Negeri Tanjungpinang.

"Kami kecewa dengan putusan itu, karena hakim terkesan hanya mempertimbangkan fakta hukum yang diajukan pemohon (MV Sapcharoensamut 15). Padahal kapal itu tidak mengibarkan bendera RI saat memasuki wilayah RI dan tidak memiliki dokumen kapal," ujar Clara.(*) Tanjungpinang (ANTARA News)

DKP Tangkap Lagi 9 Kapal Asing Tanpa Dokumen Di Zona Ekonomi Eksklusif

Kapal Pengawas Departemen Kelautan dan Perikanan menangkap lagi dua kapal Vietnam dan tujuh kapal Thailand tanpa dokumen di perairan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE), perairaan Laut China Selatan. Dengan tertangkapnya ketujuh kapal asing yang melakukan pencurian ikan (illegal fishing) ini, negara diperkirakan mengalami kerugian sebesar Rp.21,5 milyar. Kini kesembilan kapal asing ini di ad-hock di Sabang Mawang, Ranai, Riau Kepulauan untuk segera disidik, sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Selama ini Ditjen Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan (Ditjen P2SDKP) menengarai beberapa modus operandi yang dilakukan oleh para pelaku illegal fishing. Pertama, tanpa dokumen izin. Kedua, mereka memiliki izin, tetapi melanggar ketentuan seperti : alat tangkap, fishing ground, dan port of call. Ketiga, melakukan pemalsuan dokumen. Keempat, dengan cara memanipulasi persyaratan (DC,Bill of sale). Kelima, melakukan transhipment di tengah laut dan tidak pernah melapor ke pelabuhan perikanan setempat. Keenam, melakukan double flagging.

Ditjen P2SDKP juga menandai beberapa perairan yang selama ini dijadikan tempat melakukan illegal fishing. Antara lain di Zona Ekonomi Ekslusif, Laut Teritorial, Laut Natuna, Laut Arafura dan Utara Sulawesi Utara. Di Laut Natuna, umumnya dilakukan oleh kapal-kapal Taiwan, Vietnam, Thailand dan Malaysia. Di Utara Sulawesi Utara oleh kapal-kapal Philipina dan di Laut Arafura oleh kapal Thailand, RRC dan Taiwan. Berdasar analisis, mereka melakukan illegal fishing karena ternyata industri pengolahan negara yang bersangkutan harus dapat bertahan. Fishing ground atau wilayah tangkapan mereka juga sudah makin habis. Pada sisi lain ada juga faktor terbukanya laut Indonesia, pengawasan yang lemah serta terjadinya disparitas harga ikan.

Berdasar estimasi perhitungan FAO, negara dirugikan sekitar Rp.30 trilyun per tahun. Kerugian lainnya antara lain terjadinya over fishing dan overcapacity, rusaknya kelestarian sumberdaya ikan, berakibat menurunnya stok ikan serta melemahnya daya saing perusahaan Indonesia. Pada sisi lain, nelayan Indonesia juga semakin termarjinalkan. Tangkapan per unit usaha nelayan dan perusahaan nasional juga menurun. Bahkan usaha perikanan Indonesia menjadi sangat tidak kondusif.

Besarnya dampak negatif kegiatan illegal fishing bagi perekonomian Indonesia, khususnya terhadap sektor perikanan, Ditjen P2SDKP telah menetapkan empat strategi. Pertama, preemptive. Ini merupakan kegiatan pencegahan offensif, sebelum terjadinya pelanggaran di wilayah kelautan perikanan. Kedua, responsif. Sebuah reaksi cepat dalam penanganan pelanggaran dan tindak pidana. Ketiga, persuasif. Merupakan pembinaan terhadap pelaku untuk meningkatkan kesadaran tidak melanggar hukum. Keempat, koordinasi. Ini merupakan kegiatan yang bersifat koordinatif dengan instansi terkait, seperti : Bakorkamla, TNI-AL, Polri serta aparat penegak hukum terkait lainnya.

Hingga pertengahan Juli 2008, sejak dilakukannya operasi sapu bersih yang dilaksanakan sejak awal Desember 2007, kini DKP berhasil menangkap 167 kapal yang melakukan illegal fishing. Ini berarti sudah hampir mendekati jumlah tangkapan kapal pada tahun 2007 yang mencapai 184 kapal. Dengan hasil tangkapan kapal illegal fishing melalui operasi sapu bersih hingga Juli 2008 yang mencapai 167 kapal, maka potensi kerugian negara yang terselamatkan mencapai angka Rp. 398,829 milyar. (mh) (Dirjen P2SDKP Dr. Ir. Aji Sularso, MMA). www.dkp.go.id

Rabu, 16 Juli 2008

TIM KOMISI IV DPR-RI TINJAU KAPAL PENCURI IKAN YANG TERTANGKAP DI MALUKU

Tim Komisi IV DPR-RI mengadakan kunjungan lapangan ke Provinsi Maluku pada tanggal 3-5 Juli 2008 bersama Dirjen P2SDKP, DR. Ir. Aji Sularso yang didampingi oleh Direktur Kapal Pengawas Ditjen P2SDKP, Willem Gasperz.SE,MM dan Kepala Bagian Program Ditjen P2SDKP, Ir. Noor Sidharta MBA.

Kunjungan lapangan Tim Komisi IV DPR-RI terdiri dari 3 orang anggota dewan diantaranya Darmayanto (F-PAN), Drs. H. Ismail Tajuddin (F-PG) dan Ir. Syamsu Hilal (F-PKS). Dalam kunjungan tersebut anggota dewan bersama rombongan DKP meninjau kapal asing di pangkalan Angkatan Laut di Tual yang berhasil ditangkap oleh petugas karena kasus Illegal Fishing.

Sampai dengan pertengahan Tahun 2008 Pemda Provinsi Maluku telah berkoordinasi dengan TNI-AL, Polri dan Petugas Pengawas DKP berhasil menangkap sekitar 20 kapal pencuri ikan yang terdiri dari 15 kapal berbendera asing dan 5 kapal berbendera Indonesia.

Menurut Dirjen P2SDKP, Aji Sularso, Maraknya pencurian ikan di perairan Maluku dikarenakan produk perikanan di wilayah Timur Indonesia sangat diminati oleh Negara lain seperti ikan tuna untuk sashimi yang diminati oleh Jepang, namun demikian penanggulangan Illegal Fishing di Maluku sudah cukup baik berkat adanya koordinasi dengan pihak petugas keamanan dilapangan, tetapi penanganan kasus illegal fishing tersebut seringkali terhambat pada tahap penuntutan dengan berbagai alasan seperti kapal-kapal yang di Ad Hoc dengan biaya mahal terlalu lama bersandar di pelabuhan bahkan ada yang sampai 5 tahun sehingga kapalnya rusak dan tenggelam, dan terkadang hanya di dikenai sangsi administrative saja.

Sementara itu menurut anggota komisi IV DPR-RI bahwa UU No.31 Tentang Perikanan masih ada celah bagi pelaku pencuri ikan untuk bebas tanpa hukuman berat padahal Indonesia sangat dirugikan hingga lebih dari 30 trilliun rupiah per tahunnya akibat adanya Illegal Fishing, oleh sebab itu UU tersebut perlu di revisi. (www.dkp.go.id).

Mendesak Amandemen Undang-Undang 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan

Bomer Pasaraibu Anggota Komisi IV DPR RI dalam acara dialog interaktif di TVRI dengan Tema ”Illegal Fishing VS Kedaulatan Ekonomi Dan Wilayah” mengatakan bahwa Undang-Undang 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan Tidak ada pasal yang kuat yang memberikan hak yang kuat proses pemeriksaan dilaut kepada aparat penegak hukum. Oleh karena itu kita berusaha mengadakan amandemen terhadap UU No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan yaitu sekitar 7 pasal-pasal yang dirubah yaitu :

1. Memberikan menegelaman kapal illegal fishing bisa langsung dilaksanakan dengan syarat-syarat tertentu tanpa proses pengadilan seperti yang dilakukan oleh Australian dengan terlebih dahulu semua awak kapalnya dievakuasi.

2. Memperbanyak Pengadilan Perikanan di berbagai daerah.

3. Memperluar wilayah yuridiksi pengawasan dengan membangun UPT pengawasan.

4. Penambahan Anggaran Pengawasan.

5. Memeberikan Insentif yang layak untuk aparat yang sudah bekerja memberantas illegal fishing.

Dilain pihak Direktur Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Dr. Ir. Aji Sularso mengatakan bahwa penengelaman kapal Illegal Fishing perlu dilakukan apabila kapal-kapal tersebut melawan. Selain itu "Kapal-kapal yang di Ad Hoc dengan biaya mahal ke pelabuhan, namun setelah sampai ke pengadilan didenda sangat kecil. karena itu Revisi UU Perikanan sangat penting dilakukan. (Mukhtar, A.Pi Kepala Satker PSDKP Kendari).

http://mukhtar-api.blogspot.com

www.p2sdkpkendari.com

87 Spesies Ikan Langka di Indonesia Terancam Punah.

Padang, (ANTARA News) - Sebanyak 87 spesies ikan langka di Indonesia terancam punah, akibat tekanan perubahan teknologi secara pesat dan perilaku negatif terhadap keanekaragaman sumber daya perikanan.

"Kini sudah terlihat nyata banyaknya jumlah spesies ikan langka di Indonesia terancam punah. Dari penelitian diketahui spesies terancam punah ini mencapai 87 spesies," kata Pakar Perikanan dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Bung Hatta (UBH), Prof Dr Ir Hafrijal Syandri, MS di Padang, Sabtu.


Hal itu disampaikannya saat dikukuhkan sebagai guru besar tetap bidang ilmu pengelolaan perikanan perairan umum dan teknologi reproduksi ikan pada Fakultas Perikanan dan kelautan Universitas UBH.

Dalam pengukuhan yang dilakukan Rektor UBH, Prof Dr Yunazar Manjang itu, Prof Hafrijal Syandri menyampaikan pidato ilmiah berjudul "Ancaman terhadap plasma nutfah ikan bilih (Mystacoleusus padangensis Blkr) dan upaya pelestariannya di habitat Danau Singkarak".

Menurut dia, dari 88 spesies ikan langka Indonesia yang terancam punah itu, 66 spesies di antaranya (75,9 persen) adalah ikan air tawar.

"Sebanyak 68,2 persen dari 66 spesies ikan langka air tawar yang terancam punah itu merupakan ikan endemik, salah satunya ikan bilih (Mystacoleusus padangensis Blkr) yang hidup di Danau Singkarak, Sumatera Barat (sumbar)," katanya.


Ia menyatakan, 87 spesies ikan langka itu akan punah apabila tidak ada upaya konservasi, baik secara in-situ maupun ek-situ.


Hafrijal menambahkan, meski berbagai perangkat kebijakan tingkat nasional dan daerah telah banyak dilakukan, namun besarnya permintaan komoditi ikan langka dengan harga tinggi, telah memberikan tekanan terhadap sumber daya perikanan tersebut, termasuk ikan bilih.

Ia menjelaskan, habitat ikan bilih hanya satu di dunia, yakni di Danau Singkarak di Kabupaten Solok dan Tanah Datar, Sumbar. Ikan bilih berukuran kecil (6 hingga 12 centimeter/ekor) , namun merajai hidup di danau terbesar di Sumbar itu.


Karena rasanya yang gurih dan lezat menjadikan ikan bilih komoditas penting masyarakat Kab. Tanah Datar dan Solok, sehingga terjadi perburuan dan penangkapan besar-besaran terhadap ikan tersebut, katanya.

Ia menyatakan, meski diungkapkan sumber daya ikan bisa dipulihkan, namun dalam kenyataannya sampai saat ini tidak satupun fakta yang mampu menunjukan kebenaran tesis tersebut.
(*)

Pengirim : (Mukhtar, A.Pi Kepala Satker PSDKP Kendari).

http://mukhtar-api.blogspot.com www.p2sdkpkendari.com

Telur Penyu Samarinda Disuplai dari Berau

TANJUNG REDEB - Masih beredarnya telur penyu asal Berau di sejumlah kota di Kaltim, mejadi sorotan tajam Menteri Kelautan dan Perikanan RI Freddy Numberi saat berkunjung ke Barau. Pemandangan itu terlihat di sepanjang Tepian Mahakam Samarinda. Freddy Numberi bingung, seharusnya telur itu beredar di Berau.

Pernyataan Menteri itu diperkuat Bupati Berau Makmur HAPK. Dia kecewa terhadap lemahnya pengawasan yang dilakukan sejumlah intansi dan lembaga yang mengawasi pulau telur di daerah ini.

Kepala Badan Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Berau Saiful menyebutkan, kekurangan personel serta sarana untuk mengawasi pulau-pulau tempat bertelurnya penyu menjadi kendala luputnya pengawasan.

Berbagai upaya dalam pengawasan pulau telur itu diakui maksimal dilakukan, namun masih saja telur itu beredar di Samarinda.

Saiful mengakui, telur yang dijual warga Samarinda itu berasal dari Berau. Pihaknya juga telah menyurati BKSDA Samarinda untuk menindaklanjuti pelaku yang diduga penjual telur penyu di wilayah itu.

Saiful menduga, telur yang beredar itu berasal dari Pulau Blambangan. Pulau tidak berpenghuni itu tidak difasilitasi pos keamanan, sehingga membuat nelayan sering mampir di kawasan itu dengan leluasa menjarah telur penyu. ”Berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, pada Pasal 21 ayat (2) huruf e dijelaskan, setiap orang dilarang mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan atau sarang satwa yang dilindungi,” tambahnya.

Mengenai komentar Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi yang menginginkan agar konservasi penyu dikembalikan ke pola lama, yaitu pemeliharaan dua atau tiga bulan lalu dilepas ke laut. Saiful mengingatkan, perilaku penyu yang dipelihara hingga besar baru dilepas akan mempengaruhi perilaku penyu itu. Akan sangat berbeda perilakunya jika dilepas masih kecil dan dilepas ketika sudah besar, karena penyu itu hewan liar. Mengenai pemanfaatan telur penyu, Menteri Kehutanan pernah menerbitkan peraturan, pemanfaatan telur penyu 50:50, untuk konservasi 50 persen dan sisanya 50 persen untuk konsumsi. “Tapi peraturan itu sudah dicabut, jadi tidak bisa lagi,” kata Syaiful. (bm3) Kaltim Pos

Pengirim : (Mukhtar, A.Pi Kepala Satker PSDKP Kendari).

http://mukhtar-api.blogspot.com www.p2sdkpkendari.com

Pencurian Ikan, Masalah Utama Pembangunan Perikanan di Sumut

Pencurian Ikan, Masalah Utama Pembangunan Perikanan di Sumut

Meski potensi perikanan di Sumut sangat besar, namun karena lemahnya pengawasan dan pengendalian terhadap sumber daya kelautan dan perikanan yang ada, pencurian ikan masih menjadi kendala program pembangunan perikanan di daerah ini.


“Pencurian ikan masih menjadi kendala utama upaya pembangunan perikanan di Sumut,” ujar Kasubdin Pengawasan dan Perlindungan Dinas Perikanan Sumut, Lambok Silalahi, dalam acara Sosialisasi Penegakan Hukum Terhadap Perusakan Terumbu Karang di Sumut, Rabu (3/7), di Hotel Antares Medan.


Acara yang dibuka oleh Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Sumut, Yoseph Siswanto, itu dihadiri Direktur SDKP, Ir Turman Hadiyanto Maha MSc, utusan dinas perikanan seluruh kabupaten di Sumut yang mempunyai wilayah laut, Bapedalda Sumut, PPNS Sumut, RCU Coremap II Sumut, Lantamal I, dan Satpol Air Sumut.


Menurut Lambok, potensi perikanan Sumut sangat besar terutama potensi perikanan tangkap, yakni di perairan Samudera Hindia 1.076.960 ton dan baru dimanfaatkan 86.597 ton. Sedangan di Selat Malaka potensinya 276.030 ton dan pemanfaatan mencapai 250.489 ton.


Dijelaskannya, belum optimalnya pemanfaatan dan pengelolahan sumber daya kelautan dan perikanan antara lain disebabkan terjadinya praktik-praktik pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan secara tidak bertanggung jawab, serta melanggar peraturan sehingga terjadi kehilangan sumber daya yang cukup besar setiap tahunnya.
Lebih jauh Lambok mengemukakan, dalam pelaksanaan pengawasan ditemui beberapa permasalahan baik dalam pengawasan di perairan umum maupun perairan laut. Namun, permasalahan terbesar dan memerlukan penanganan yang lebih serius adalah masalah penangkapan ikan di laut, di antaranya yang dilakukan pencuri dengan menggunakan kapal asing.
“Masih terdapat pelaku dengan kapal asing yang melakukan penangkapan ikan di wilayah perairan Propinsi Sumatera Utara baik di pantai timur maupun pantai barat. Mereka umumnya menggunakan kapal ikan Thailand,” ujarnya.


Masalah lainnya, lanjutnya, kapal ikan lokal menangkap ikan tanpa dokumen IUP/SPI, kapal ikan lokal menangkap ikan tanpa dokumen yang sah seperti, SPI (surat penangkapan ikan) telah habis masa berlakunya, sura izin tidak sesuai dengan kondisi kapal yang sebenarnya, surat izin sudah diurus ke Ditjen Tangkap tetapi sampai saat diperiksa di laut, izin belum terbit serta kapal menangkap ikan dengan mempergunakan alat terlarang seperti bom, racun, trawl (Kepres No. 39 Tahun 1980).


“Untuk itu perlu disiapkan sistem sarana prasarana dan tenaga pengawas mencukupi dan berkwalitas, serta meningkatkan penataan dan penegakan hukum dalam pemanfaatan sumber sdaya kelautan dan perikanan,” tegasnya. MedanBisnis.
Pengirim : (Mukhtar, A.Pi Kepala Satker PSDKP Kendari). http://mukhtar-api.blogspot.com www.p2sdkpkendari.com .

Sita 24 Kapal Pencuri Ikan

Anggota Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat sedang berada di atas Kapal Huan Wen, Kamis (2/7) siang. Kapal yang merupakan salah satu dari 24 kapal hasil tangkapan Departemen Kelautan dan Perikanan ini ditahan di dekat Pelabuhan Paumako, Mimika, Papua.

[TIMIKA] Ketua Tim Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Robert Jopi Kardinal, meminta aparat penegak hukum serius mengusut kasus ke-24 kapal nelayan asing asal Taiwan dengan 400 awak yang ditangkap Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) Maret 2008 di sekitar perairan Laut Arafuru, Papua, yang dikenal sangat kaya dengan sumber daya perikanan.

"Kami berharap aparat penegak hukum menindak tegas kapal-kapal asing yang mencuri ikan di perairan Indonesia. Bila perlu kapal-kapal ini disita untuk kepentingan negara karena mereka melanggar Undang-Undang (UU) Nomor 31/2004 tentang Perikanan, UU Nomor 5/1990 tentang Keragaman Hayati, dan UU Nomor 9/1992 tentang Orang Asing," kata Robert Kardinal kepada SP, di Timika, Kamis (3/7).

Bila disita, kapal itu dapat dimanfaatkan pemerintah dan akan digunakan untuk kapal penumpang yang memang transportasi antarpulau sangat dibutuhkan di Papua, katanya.

Seperti diketahui, 24 kapal yang ditangkap bulan Maret 2008 dan kini sedang diproses Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) karena melanggar ketentuan UU No 31/2004, ditinjau anggota Komisi IV DPR, Kamis (3/6), di Pelabuhan Paumako, Kabupaten Mimika, di mana 24 kapal itu ditahan.

Para anggota Komisi IV DPR, yaitu Robert Jopi Kardinal, HM Djoemat Tjiptowardjo, HM Hifni Syarkawie, Apri H Sukandar dan Wasidi. Mereka ditemani Direktur Jenderal Penanganan Pelanggaran DKP Cornelis N Patty.

Setiba di Dermaga Pela- buhan Paumako, tempat di mana 24 kapal tersebut ditahan, mereka langsung menumpang speet boat milik KP3 Laut Polres Mimika menuju KM Huang Wen, kapal berbendera Taiwan yang menampung ribuan ton ikan dari kapal-kapal penangkap.

Para wakil rakyat ini sempat melihat 400 ton ikan berbagai jenis yang masih diamankan di kapal tersebut yang kini menjadi barang bukti untuk proses hukum.

Seusai berkunjung di Pelabuhan Paumako, anggota DPR tersebut menuju Polres Mimika untuk melihat puluhan alat penangkap ikan berupa jaring pukat ikan dan pelampung sepanjang puluhan meter yang disita dari 24 kapal.

Dari 24 kapal yang kini ditahan di Pelabuhan Paumako Timika, baru 13 kapal yang diproses oleh tim penyidik gabungan dari DKP dan Badan Reserse Kriminal Mabes Polri.

"Ke-13 kapal tersebut dijerat dengan UU 31/2004 karena menggunakan jaring tidak sesuai standar. Rata-rata kapal tersebut memiliki jaring dengan panjang 27.000 meter, sedangkan yang diizinkan hanya 2.500 meter," kata Cornelis Patty, di Polres Mimika

Menurut Cornelis Patty, kasus tersebut kini sudah dalam tahap berkas lengkap (P-21) dan dalam waktu dekat tersangka dan barang bukti akan dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Timika. Nakhoda ke-13 kapal yang diproses tersebut terancam hukuman pidana penjara maksimal lima tahun ditambah denda Rp 2 miliar dan barang bukti disita untuk kepentingan negara.

"Proses kasus 24 kapal ini dilakukan secara bertahap dimulai dari nakhoda 13 kapal, selanjutnya pemilik kapal dan juga 11 kapal yang lain, termasuk dua kapal penadah berbendera Taiwan, yakni KM Huang Wen dan KM Guo Xhun 66," kata Cornelis.

Dikatakan, para penyidik telah mengikat bendera merah putih untuk menyelesaikan masalah ini. Bila sampai ke pengadilan, mudah-mudahan mendapat putusan setimpal agar para pelaku jera.

Sementara itu, Apri Hananto Sukandar menegaskan, pengawasan harus dilakukan secara ketat di perairan laut Indonesia, khususnya di Arafuru. Harus ada kesamaan pandangan bahwa kejahatan-kejahatan di laut mendapatkan hukuman yang setimpal.

"Kasus ini akan menjadi contoh bagi kita untuk menyelesaikan kasus-kasus ilegal fishing (pencurian ikan) lain di Indonesia," katanya. [154] SP/Robert Isidorus.

Pengirim : (Mukhtar, A.Pi Kepala Satker PSDKP Kendari).

http://mukhtar-api.blogspot.com