Minggu, 07 September 2008

Laut yang Ditaburi Sekumpulan Pulau

Agak mengejutkan ketika pemerintah—melalui Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi—menyatakan bahwa sedikitnya 6.702 pulau di Indonesia yang belum bernama. Lebih mengejutkan lagi, jumlah pulau yang dimiliki Indonesia tampaknya tidak sebanyak seperti yang selama ini didengung-dengungkan, yakni 17.508 buah!


Hasil verifikasi oleh tim yang dibentuk lewat Peraturan Presiden Nomor 112
Tahun 2006 tersebut, hingga akhir Juni 2008 baru tercatat 8.172 pulau dari
25 provinsi yang telah disurvei. Meski masih delapan provinsi lagi yang
belum didata, dipastikan jumlah pulau yang dimiliki Indonesia sesungguhnya
tak sebanyak jumlah yang diyakini selama ini.


Pelajaran penting yang bisa ditarik dari kasus ini, tak pelak lagi, yakni
suatu kenyataan bahwa selama ini kita sebagai bangsa abai pada kekayaan
negerinya sendiri. Begitu banyak pulau tak bernama bukan saja
mengindikasikan ketidakpedulian, tapi juga gambaran ketidaksiapan kita
menjadi negara kepulauan yang sudah telanjur dideklarasikan pada 13 Desember 1957.


Sungguh memalukan! Untuk menentukan jumlah pulau yang merupakan hak milik bangsa ini saja kita seperti terkesan asal sebut. Sebelum dikoreksi menjadi 17.508 pulau pada tahun 1987, dalam waktu yang cukup lama (1968-1987) Indonesia mengklaim memiliki 13.667 pulau.


Hingga kini pun tak ada data pasti. Verifikasi terakhir, dengan penggunaan
metodologi yang lebih bisa dipertanggugjawabkan, baru merujuk angka 8.172
pulau. Sementara di sisi lain, cukup banyak pulau bernama ganda, baik yang ada di garis luar perairan Indonesia maupun di ”pedalaman”. Pulau Berhala, misalnya, setidaknya tercatat ada di tiga provinsi: Jambi. Riau, dan
Sumatera Utara.
Bahkan, nama yang sama juga dipakai untuk salah satu pulau di wilayah Malaysia.


Belum lagi pulau-pulau yang berada di wilayah ”pedalaman”. Penggunaan
”Batu” sebagai nama pulau ternyata digunakan di 12 provinsi. Di Nusa
Tenggara Timur saja tercatat ada 10 pulau bernama Pulau Batu. Begitupun nama Pulau Burung yang tersebar di 17 provinsi. Di Provinsi Kepulauan Riau saja terdata 10 pulau dinamakan Pulau Burung.


Terlalu banyakkah jumlah pulau yang kita miliki sehingga begitu sulit
mendatanya?
Atau, begitu susahkah memberinya nama satu per satu, sesuai
panduan penamaan pulau-pulau yang direkomendasikan United Nations Conference on the Standardization of Geographical Names (UNCSGN)-nya PBB?

Ataukah kenyataan ini lebih karena tak ada kesungguhan kita untuk memberi perhatian yang lebih serius pada pulau-pulau kecil dan terpencil itu? Padahal, kepastian letak dan jumlah pulau serta arti penting penamaannya terkait langsung dengan masalah kedaulatan bangsa.

Baru setelah Sipadan dan Ligitan harus hilang dari peta Indonesia pada tahun 2002, menyusul klaim Malaysia atas dua pulau itu dimenangkan oleh Mahkamah Internasional, banyak di antara anak bangsa ini seperti tersentak. Kasus Sipadan-Ligitan yang diikuti munculnya ”insiden” Ambalat, sebuah blok di dasar laut yang kaya akan sumber minyak dan gas, telah memberi pelajaran berharga pada Indonesia akan pentingnya memerhatikan ”hak milik”-nya.

”Kebetulan atau tidak, penentuan jumlah yang sesungguhnya dari pulau-pulau itu diharuskan untuk menegaskan kepemilikan bangsa Indonesia atas sebuah pulau. Kepemilikan itu sendiri harus ditegaskan dengan adanya penamaan dan penentuan koordinat di mana pulau itu berada,” kata Gusti Asnan dari Universitas Andalas dalam satu diskusi di Palembang, Juli 2008.

Bangsa maritim


Mata kuliah umum tentang wawasan Nusantara di perguruan tinggi pada
semester-semester awal selalu menekankan bahwa laut berfungsi sebagai
”penghubung” dan bukan ”pemisah” antarpulau. Laut adalah pemersatu,
mengintegrasikan ribuan pulau yang bertaburan di Nusantara.

Dalam perspektif ini, laut tidak saja dilihat sebagai jembatan yang
menghubungkan antarwilayah geografis Indonesia. Laut juga ditempatkan
sebagai unsur yang menyatukan aspek kebangsaan antarsuku dan etnis yang
tinggal di dalamnya.


Dengan kata lain, secara geopolitik dan geobudaya, laut dan pulau adalah
satu keniscayaan bagi Indonesia. Laut merupakan satu kesatuan yang tak
terpisahkan dari daratan. Ungkapan ”Tanah Air” pun menjadi bagian dari
proses pembentukan bangsa ini ”menjadi Indonesia”.


Kesadaran semacam itu sesungguhnya sudah muncul jauh sebelum Indonesia merdeka. Simaklah sajak-sajak Muhammad Yamin, terutama dalam Indonesia Tanah Airku. Ungkapan ”Tanah Air”, yang dalam sajak-sajak Yamin semula sekadar merujuk pada kampung halamannya di pinggang Bukit Barisan di Sumatera Barat, dalam perkembangannya menjadi semacam kesadaran sejarah akan patriotisme keindonesiaannya. Puncak dari konsistensi pemikiran dan kesadaran Yamin tentang ”Tanah Air” itu, sebagaimana dikemukakan sejarawan Taufik Abdullah (lihat catatan pengantar Taufik Abdullah dalam buku Restu Gunawan,
Muhammad Yamin dan Cita-cita Persatuan, 2005: xii-xiii), tertuang dalam salah satu butir Sumpah Pemuda 1928.


Lagi pula, bukankah Indonesia—lewat Deklarasi Djoeanda pada 13 Desember
1957—sudah menyatakan diri sebagai negara kepulauan dan bukan negara
agraris? Makna dari konsep negara kepulauan (archipilagic state) pada
hakikatnya juga menaungi wilayah laut yang ada di kawasan tersebut secara
keseluruhan.

”Segala perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau
atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia… dan dengan demikian merupakan bagian dari perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak daripada Negara Republik Indonesia,” demikian antara lain bunyi Deklarasi Djoeanda.


Melalui perjuangan diplomasi yang panjang, pada 10 Desember 1982 konsepsi negara kepulauan itu diterima dalam Konvensi Hukum Laut Internasional yang ditandatangani 117 negara. Diterimanya prinsip-prinsip negara kepulauan oleh PBB bukan saja menambah luas wilayah laut Indonesia, tetapi juga kekayaan sumber daya alam yang ada di dalamnya.


Semua itu tentunya menuntut perubahan paradigma pengelolaan negara. Sebagai negara kepulauan, selayaknya bila matra laut diletakkan sebagai ”poros utama” kehidupan berbangsa dan bernegara.


”Dengan cara pandang bahwa laut adalah yang penting bagi bangsa ini, maka
laut adalah suatu sistem. Sistem laut tersusun dan merupakan suatu jaringan bagi terintegrasinya pulau-pulau,” kata Susanto Zuhdi, guru besar sejarah maritim dari Universitas Indonesia.


Dengan luas laut 5,8 juta kilometer persegi, termasuk zona ekonomi eksklusif
(ZEE), potensi sumber daya perikanan saja mencapai 6,7 juta ton per tahun.
Belum lagi potensi-potensi lain, seperti minyak dan gas bumi yang sedikitnya
ada di 60 cekungan.


Akan tetapi, mengapa laut yang ditaburi pulau-pulau di-”dalam”-nya itu
seperti sengaja ditelantarkan? Mengapa wawasan bangsa ini masih berorientasi pada daratan? Bukankah sejatinya makna archipelago adalah ”laut utama”, laut yang ada di antara Yunani dan Turki: Laut Aegean! Dengan begitu, kata Susanto Zuhdi, archipelagic state lebih cocok diterjemahkan sebagai negara kelautan atau negara maritim ketimbang pengertian archipelago yang sudah terdistorsi sebagai ”kepulauan”.


”Dengan mengembalikan makna dasarnya, bahwa archipelago adalah ’laut
yang ditaburi sekumpulan pulau’ dan bukan ’sekumpulan pulau yang di
keliling laut’, maka ’Tanah Air merupakan konsep yang komprehensif dalam
memandang wilayah Indonesia,” tutur Susanto Zuhdi.


Ada rasa sedih tiap kali mendengar berbagai anekdot terkait keberadaan
polisi perairan dan angkatan laut kita yang ’tak berdaya’ menghalau
kegiatan pencurian ikan di perairan Indonesia. Kedaulatan kita sebagai
bangsa seperti tergadai. Lebih sedih lagi mengetahui pangkal ”kekalahan”
kita atas Malaysia dalam perebutan Sipadan dan Ligitan karena bangsa ini
sebelumnya tidak peduli hak miliknya dengan membiarkan orang Malaysia
mengembangkan kedua pulau tersebut.


Minimnya infrastruktur transportasi dan komunikasi kelautan serta kurangnya perhatian pada upaya pengembangan ekonomi masyarakat yang berbasis pada laut adalah sumber dari berbagai persoalan untuk menjadikan Indonesia sebagai bangsa bahari.


Masa lalu, yang diawali kejayaan Sriwijaya—dan diteruskan oleh
Majapahit—sebagai penguasa laut Nusantara kini hanya tinggal dalam catatan sejarah. Sampai kapan bangsa ini terus berpaling dari laut? (wad/ken) KOMPAS/ Jumat, 5 September 2008.



Tidak ada komentar: