Kamis, 26 Maret 2009

Terkait Wisata Bahari, Pemerintah Baru Sekadar Sadar Potensi

Oleh YURNALDI

Pulau Bali—dengan segala potensi wisata baharinya—memang sudah begitu mendunia. Begitu juga Kepulauan Mentawai di Sumatera Barat. Sampai-sampai orang luar negeri lebih kenal Bali dan Mentawai ketimbang Indonesia. Ini mungkin aneh, tetapi begitulah kenyataannya.

ronisnya, di dalam negeri sendiri, masyarakat Indonesia (yang gemar berwisata) hanya kenal Bali dan Bunaken di Sulawesi Utara. Sedikit sekali yang kenal Mentawai. Di luar itu, mereka buta sama sekali akan potensi wisata bahari di tanah airnya sendiri. Kenapa ini bisa terjadi?

Bali dikenal luas, boleh jadi karena berkali-kali acara kenegaraan untuk tingkat internasional digelar di sana. Untuk pertama kalinya, Asian Beach Games digelar di Bali, Agustus 2008. Sukses sebagai penyelenggara dan sukses prestasi, meraih medali emas terbanyak. Berbagai event kepariwisataan tingkat nasional juga kerap dipusatkan di Bali.

Bunaken? Tanggal 11-15 Mei tahun ini akan digelar World Ocean Conference (WOC) di Manado, Sulawesi Utara, yang akan diikuti 121 negara dan dihadiri enam kepala negara. Pascapenyelenggaraa n WOC, yang diliput pers nasional dan internasional tersebut, diharapkan wisata bahari di Manado, khususnya Bunaken, akan lebih mendunia. Dan, memang, event tersebut akan dimanfaatkan untuk semakin mendorong promosi potensi wisata bahari Indonesia.

Tak salah slogan yang diusung adalah ”Mewujudkan Manado Kota Bahari Dunia 2010”.. Agenda khusus dari WOC adalah membicarakan perubahan iklim laut dan bagaimana Indonesia mendapatkan hibah yang, kata Sekretaris Panitia WOC Indroyono Soesilo, telah terhimpun 250 juta dolar AS. Dana hibah dapat, promosi wisata bahari pun terangkat.

Pertanyaan yang bisa diajukan selanjutnya, apakah wisata bahari di Indonesia hanya Bali, Kepulauan Mentawai, dan Bunaken?

Ada ilustrasi yang menarik. Belum lama ini di Sumatera Barat, Ridwan Tulus dari Green Tourism Institute of Sumatra & Beyond dan Nofrins Napilus dari www.West-Sumatra. com mengundang sejumlah artis, antara lain Christine Hakim dan Katon Bagaskara, Ira Wibowo, Henidar Amroe, Tasman Taher, Tina Astari, dan Jian Batari. Sutradara Budhinova Restu dan produser Bambang Driasmoro juga turut serta. Kegiatan yang dilakukan para artis itu adalah melepas anak penyu hijau (tukik) dan menanam terumbu karang di Pulau Sikuai, kawasan wisata bahari di Kota Padang, sekitar 30 menit naik kapal dari Pelabuhan Bungus.

Apa yang terjadi? Menurut Ridawan Tulus, para artis kaget dan terkagum-kagum. Luar biasa eloknya alam Ranah Minangkabau, termasuk wisata baharinya. Tak kalah indahnya daripada Bali. Mereka menyesal, kenapa baru tahu sekarang potensi wisata bahari di Pulau Sikuai itu.

Christine Hakim akhirnya menggarap film yang sekaligus dimaksudkan untuk mempromosikan potensi pariwisata Sumatera Barat. Adapun Katon Bagaskara berjanji akan datang lagi untuk menggarap videoklip berlatar belakang rancaknya alam di kawasan Pulau Sikuai yang berpasir putih dan terumbu karang yang memesona.

Apa yang dialami Christine Hakim dan Katon Bagaskara, terlambat tahu dengan potensi wisata bahari di Kota Padang, khususnya di Pulau Sikuai, barangkali juga dialami banyak masyarakat lain. Lucu juga, dari sekitar 900.000 penduduk Kota Padang, ibu kota Provinsi Sumatera Barat itu, tak sampai 10 persen yang tahu keberadaan Pulau Sikuai dan mungkin tak sampai 1 persen yang pernah berkunjung ke sana.

Itu artinya, pemerintah memang belum begitu serius dan kreatif menggarap potensi wisata bahari. Tidak hanya di Padang, tetapi juga di kota-kota pantai lainnya di Indonesia.

”Potensi wisata bahari Indonesia sangat luar biasa. Indonesia kaya dengan sea, sand, dan sun. Ada 950 spesies terumbu karang, 8.500 spesies ikan tropis, 555 spesies rumput laut, 18 spesies padang lamun (sea grass), dan 81.000 kilometer coastlines, multycultural coastal communities,” kata Indroyono.

Begitu banyak kegiatan wisata bahari yang bisa dilakukan. Sebutlah seperti selam, selancar, layar, dayung, memancing, renang, renang selat, triathlon, upacara adat laut, dan ski air.

”Wisata bahari selama ini belum maju di Indonesia karena, pertama, aksesibilitas. Kedua, aksesibilitas, dan ketiga, aksesibilitas,” ungkap Indroyono.

Terlepas dari persoalan itu, Alex Retraubun, Direktur Pulau-pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan, membenarkan bahwa kekayaan wisata bahari Indonesia, khususnya wisata bahari pulau-pulau kecil, selama ini kurang mendapat perhatian. Pemerintah selalu memfokuskan ke Bali. Padahal, banyak contoh yang menunjukkan bahwa potensi wisata di pulau-pulau kecil luar biasa masifnya.

”Persoalannya sekarang adalah political will dari pemerintah untuk mewujudkan ini. Tidak cukup sebatas ngomong doang,” kata Alex Retraubun.

Masalah di balik potensi

Karena minimnya perhatian pemerintah terhadap pulau-pulau kecil yang kaya potensi wisata baharinya itu, orang asing diam-diam mengeruk keuntungan besar. Mentawai maju dan menjadi tujuan utama wisata selancar karena yang menjualnya orang asing. Bahkan, ada di sebuah pulau di Kepulauan Mentawai, investor asing membangun hotel yang biaya menginapnya ratusan dollar AS per malam.

Wakatobi, seperti dikemukakan Son Diamar, Staf Ahli Bappenas, dikelola orang Amerika, yang membeli tanah di pulau itu sekitar Rp 50 juta. Ia bangun 20 cottage sederhana dari kayu beratap rumbia. Setahun revenue-nya mencapai Rp 50 miliar.

Menurut Son Diamar, ketika hal ini ditanyakan ke bupati, ternyata daerah hanya dapat Rp 50 juta. Hanya kurang dari 0,1 persen setahun, padahal orang asing dapat Rp 50 miliar. Bagaimana kesejahteraan rakyat? Rakyat dibeli tanahnya dengan murah, lalu jadi budak angkat-angkat barang, memanggul alas snorkeling diving dengan upah standar minimum provinsi. Menurut bupati setempat, kata Son Diamar, ada 20 lokasi lainnya seperti kasus Wakatobi ini.

”Sudah saatnya pemerintah mengambil langkah-langkah sistematik untuk pengelolaan kekayaan negara di pulau-pulau kecil. Segera lakukan inventarisasi. Jangan sampai orang asing menguasai aset luar biasa bangsa ini,” ujarnya.

Sudah saatnya dilakukan pemantauan dan evaluasi setiap obyek yang dilakukan oleh pihak ketiga menggunakan aset bangsa ini. Pemerintah tak cukup bicara potensi, tetapi perlu juga dengan segara menyiapkan sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia yang profesional. Setelah itu lakukan promosi dengan gencar dan buat sejumlah event. Tidak mungkin menjual sensasi wisata bahari tanpa promosi.

Namun, M Riza Damanik dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), mengungkapkan sejumlah konflik alokasi eksternal: perikanan versus pariwisata bahari, yang perlu mendapat perhatian serius.

Di Tomia, Wakatobi, misalnya. Ada konflik masyarakat nelayan dengan PT Wakatobi Dive Resort (Swiss). Masyarakat yang semula bebas melaut, oleh perusahaan asing yang mengelola wisata di sana dibatasi ruang geraknya. Ada pengaplingan area laut sebagai zona larang tangkap untuk kebutuhan dive point, dengan kompensasi Rp 5 juta per bulan untuk pembangunan infrastruktur desa. Terjadi penguasaan kawasan pantai Onemo Baa, yang sebelumnya menjadi area rekreasi komunitas Tomia. Bahkan, juga ada temuan, terjadi pencaplokan dan perampasan tanah, tanaman, dan bangunan komunitas untuk membangun Bandar udara Maranggo Tomia (Maranggo Air Strip).

Di Kepulauan Togian, Sulawesi Tengah, yang dikuasai PT Walea (Italia), juga ada konflik dengan masyarakat. Ada larangan untuk kegiatan perikanan tradisional sejauh 7 kilometer, dengan alasan konservasi. Di Pulau Komodo, Manggarai, Nusa Tenggara Timur, kata Damanik, juga terjadi konflik masyarakat dengan perusahaan pengelola ekowisata di sana.

Karena itu, menurut Riza Damanik, pariwisata bahari tidak boleh dipandang sebagai komoditas industri. Komunitas nelayan dan masyarakat lain yang bergantung pada sumber daya laut, harus menjadi titik berangkat kegiatan pariwisata bahari.

”Inisiatif konservasi masyarakat perikanan tradisional harus dipahami sebagai inisiatif sadar masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam melindungi sekaligus mendapatkan keuntungan dari sumber daya pesisir,” katanya.

Mencermati konflik di pulau-pulau yang menjadi tujuan wisata ini, sudah seharusnya Departemen Budpar duduk semeja dengan Departemen Kelautan dan Perikanan, serta dengan pemangku kepentingan lain. Paradigma dan egoisme sektoral harus dihilangkan. Yang perlu dipikirkan adalah bagaimana konflik dicarikan solusinya, wisata bahari maju, masyarakat nelayan sejahtera, dan negara mendapatkan devisa.

Sumber: http://cetak. kompas.com/ read/xml/ 2009/03/20/ 09250997/ baru.sekadar. sadar.potensi

Dilema Privatisasi Pariwisata Bahari

Oleh: Brigitta Isworo Laksmi

Laut sebagai sebuah entitas ekosistem yang sedemikian kaya sekarang semakin menarik selera para penanam modal, terutama di bidang pariwisata, karena pemerintah mulai mencoba menggali sumber-sumber daya pariwisata sebagai antisipasi habisnya sumber daya alam.

Pariwisata diyakini merupakan salah satu jalan keluar dari keterpurukan ekonomi seiring dengan menipisnya sumber daya alam.

Pariwisata bahari kemudian datang sebagai ”pendatang baru” di dunia pariwisata yang selama ini banyak terkonsentrasi di hinterland. Orientasi sekonyong-konyong pindah ke daerah pantai dan laut karena pariwisata daratan kemudian berkonotasi dengan kehancuran sehingga semakin menurunkan daya saing pariwisata.

Wisata bahari selama ini masih sedemikian sempit pengembangannya. Tujuan wisata untuk wisata bahari pun masih amat terbatas, di antaranya Bali dan Lombok, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Sementara wisata bahari yang berbasiskan pulau-pulau kecil belum digarap. Kekayaan yang sudah terinventarisasi saat ini adalah 59 pulau potensial dan 13 pulau unggulan. Kondisi seperti itu sudah menjanjikan bahwa pariwisata bahari Indonesia memiliki nilai jual tinggi karena ekosistem dan alam lautnya amat menarik.

Dengan modalitas pariwisata bahari berupa ketertarikan pada keunikan ekosistem dan sumber daya bahari serta pada interaksi sosial dan praktik-praktik lokal yang ”unik” kebaharian, yang patut dikembangkan adalah pariwisata bahari (marine ecotourism).

Istilah ecotourism bukanlah ”obat paling manjur” yang dapat mengobati ”kerusakan akibat kegiatan pariwisata”. Pariwisata yang dihayati dan dipraktikkan selama ini dengan taman-taman, daerah perbelanjaan, kuliner, dan produk ecotourism artifisial lainnya ternyata (nyaris selalu) tidak baik bagi lingkungan yang menjadi obyek jualan ecotourism itu sendiri.

Yang perlu digarisbawahi adalah lingkungan itu rentan dan sensitif dengan perubahan besar yang berlangsung secara tiba-tiba, termasuk di dalamnya hewan, tanaman, dan masyarakat yang ada di dalamnya (masyarakat lokal).

Ada kecurigaan bahwa perubahan amat cepat dari paradigma terestrial ke paradigma kelautan ini bukan didorong oleh itikad untuk berbuat lebih baik dari yang sebelumnya (di daratan), melainkan didorong semata-mata oleh keinginan mencari pengganti (daratan) saja atau replacement.

Aksesibilitas

Pembangunan atau apa pun istilahnya, sentuhan investor pada sebuah sumber daya alam yang selama ini terjadi telah meninggalkan ”trauma” tersendiri kepada masyarakat lokal. Kisah-kisah pembangunan/ penanaman modal di bidang pertambangan dan perkebunan selama ini hanya berupa kisah-kisah kelabu dan kisah pilu masyarakat lokal.

Pengembangan pariwisata sebenarnya tak jauh berbeda dengan eksploitasi sumber daya alam. Sebagian pulau dengan ekosistem laut dan daratan yang indah, unik, dan menarik sudah digarap, bahkan dijual kepada pihak asing. Sementara itu, masyarakat ”gigit jari” karena aksesnya untuk menangkap ikan semakin terbatas.

Seorang panelis menyatakan kekhawatirannya akan pendekatan pengembangan pariwisata bahari atau marine ecotourism. Dia menunjuk pada Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Di dalam undang-undang itulah bersembunyi sejumlah ancaman yang berpotensi memiskinkan masyarakat lokal, membuat mereka ”gigit jari” menonton hiburan berupa marine ecotourism di wilayah mereka tinggal bertahun-tahun sebelumnya.

Pada undang-undang tersebut disebutkan bahwa kegiatan pariwisata bahari dapat diberikan melalui sertifikat HP-3, yaitu sertifikat hak pengusahaan, perairan, dan pesisir, yang meliputi permukaan air, kolom air, hingga ke dasar perairan. Jangan coba-coba datang dengan cara menyelam ke wilayah yang telah diterbitkan HP-3-nya.

Perencanaan strategis sebagai prasyarat terbitnya sertifikat HP-3 ditentukan hanya oleh dua pihak, yaitu pemilik modal (pihak swasta) dan pemerintah daerah. Masyarakat setempat tidak mendapatkan hak untuk turut merencanakan, padahal merekalah yang akan menerima akibatnya secara langsung.

Hak tersebut dapat dimiliki oleh sektor swasta (termasuk asing) dengan periode pengusahaan 20 tahun dan dapat diperpanjang untuk periode berikutnya. Disebutkan, masyarakat yang kehilangan aksesnya terhadap sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil akan mendapatkan kompensasi karena dia telah kehilangan akses ke lokasi lapangan kerja mereka untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari.

Peraturan boleh berbicara demikian, tetapi temuan panelis tersebut di lapangan merupakan sebuah realitas yang berbeda. Temuan di Tomia, Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara, misalnya, menunjukkan bahwa di lapangan terjadi pengaplingan area laut sebagai zona larang tangkap karena diperuntukkan sebagai dive point dengan kompensasi Rp 5 juta per bulan untuk pembangunan infrastruktur desa. Daerah ini dikelola sebuah perusahaan dari Swiss.

Realitas lain, yaitu di Kepulauan Togean, Provinsi Sulawesi Tengah, perusahaan dari Italia telah mengenakan larangan untuk kegiatan perikanan tradisional sejauh 7 kilometer. Alasannya: konservasi.

Sementara di Pulau Komodo, Kabupaten Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur, investor membatasi akses masyarakat nelayan karena dianggap sebagai ancaman. Tahun 2002 dan 2003 konflik antara pengusaha dan masyarakat telah menelan korban jiwa.

Panelis tersebut menyitir isi UUD 1945 Pasal 33 yang intinya menegaskan bahwa kekayaan alam dan sumber daya air, udara, dan sebagainya harus dipergunakan sebesar-besarnya demi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

Akan tetapi, yang terjadi sekarang bukan kemakmuran yang didapat, sebaliknya sebuah daerah yang kaya akan sumber daya alam justru identik dengan kemiskinan karena masyarakat lokal terpinggirkan dari hiruk pikuk investasi.

Dengan berbagai catatan tersebut di atas, rencana pengembangan pariwisata bahari atau pariwisata lingkungan kelautan (marine ecotourism) perlu mempertimbangkan beberapa catatan tambahan.

Catatan tambahan itu, jika mau bisa disebut rekomendasi, antara lain, pariwisata bahari tidak boleh dipandang sebagai komoditas industri, perlu dilakukan pendekatan humanis, demokratis, transparan, dan bottom up.

Lalu, konsultatif dengan masyarakat, komunitas nelayan dan masyarakat lain yang bergantung pada sumber daya laut harus menjadi titik berangkat kegiatan pariwisata bahari (pendekatan kultural), inisiatif konservasi masyarakat perikanan tradisional harus dipahami sebagai inisiatif sadar masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam melindungi sekaligus mendapatkan keuntungan dari sumber daya pesisir.

Dengan melakukan sesuai catatan-catatan di atas, diharapkan ada kesetaraan di antara para pemangku kepentingan, yaitu pemerintah (daerah atau pusat), pengusaha swasta, dan masyarakat. Lalu, mungkin suatu kali nanti tercapai situasi di mana pariwisata bahari bukan lagi sekadar privatisasi yang menyisakan tangis dan kemiskinan.. ..

Sumber: http://cetak. kompas.com/ read/xml/ 2009/03/20/ 09240367/ dilema.privatisa si.pariwisata. bahari

PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM

Jakarta, Kompas - Sebanyak 12 undang-undang terkait dengan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan tidak konsisten dalam substansinya. Kondisi itu memprihatinkan tidak hanya masa sekarang, tetapi justru bagi masa depan pengelolaan lingkungan.

Kesimpulan itu muncul dalam kajian kritis yang disampaikan pada Pertemuan Nasional Pengarusutamaan Lingkungan Hidup dalam Perencanaan Pembangunan Daerah yang diadakan Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup di Jakarta, Senin (23/3). ”Hampir semua UU mengacu pada Pasal 33 UUD, tetapi orientasinya saling berbeda,” kata salah satu pengkaji, guru
besar Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Maria SW Sumardjono.

Ada tujuh aspek tolok ukur yang digunakan tim pengkaji, yakni orientasi, akses memanfaatkan, hubungan negara dengan obyek, pelaksana kewenangan negara, hubungan orang dengan obyek, hak asasi manusia, dan tata pemerintahan yang baik (good governance).

Pada aspek orientasi, ada yang prorakyat, prokapital, dan ada juga yang mengombinasikan keduanya. ”Ada yang semangatnya konservasi, ada yang eksploitasi, atau keduanya. Kalau tujuannya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, semestinya ada akses yang memungkinkan bagi rakyat,” kata Maria.

Faktanya, ada beberapa contoh UU yang berpotensi menyimpang dari memakmurkan rakyat, berpotensi meminggirkan hak masyarakat adat, membatasi akses publik, propemodal, dan tidak sepenuhnya menjunjung HAM.

Undang-undang itu di antaranya UU Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan, UU No 41/1999 tentang Kehutanan, UU No 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, serta UU No 31/2004 tentang Perikanan.

Menurut pengajar Institut Pertanian Bogor (IPB), Ernan Rustiadi, dengan model pengelolaan SDA seperti sekarang yang cenderung bermuara pada swasta, maka kerusakan dan habisnya sumber daya hanya soal waktu.

Ciri khas pengelolaan sumber daya alam (SDA), negara mengambil kekuasaan dari masyarakat adat sebelum diberikan kepada swasta. ”Masing-masing sektor masih memiliki pandangan berbeda tentang istilah dan pemanfaatan SDA,” katanya.

*Peran legislatif *

Guru besar Hukum UGM Nurhasan Ismail mengatakan, masih ada kesempatan membangun konsistensi pada UU terkait SDA dan lingkungan. Salah satunya peran DPR untuk menyaring atau menyinkronkan visi dan misi UU yang diajukan banyak sektor.

”Bila tak dilakukan, sampai sumber daya alam habis juga tak akan pernah konsisten. DPR bisa lakukan itu, tidak lagi hanya urusan politiknya saja,” ujarnya.

Ia menilai egosektoral yang tercermin pada UU sudah parah. Masing-masing departemen/kementer ian melihat bahwa UU yang diajukan departemen lain merupakan kompetitor dengan pemahaman menang-kalah. ”Selama begitu ya tidak akan pernah konsisten,” kata Nurhasan.

Maria mengatakan, syarat lain pengarusutamaan pengelolaan SDA dan lingkungan yang ideal, selain keberadaan satu lembaga pengoordinasi, adalah adanya satu UU yang menjadi pijakan bersama. Ia menyebut RUU Pengelolaan SDA yang sejak tahun 2001 belum juga disahkan DPR.

”Nantinya seluruh UU yang ada (harus) menyesuaikan dengan pijakan bersama yang berisi prinsip-prinsip itu,” kata Maria. Tanpa itu, ia menilai pengarusutamaan akan sangat berat diwujudkan. (GSA).......

Minggu, 22 Maret 2009

DATA YAYASAN

1. Nama Lembaga / Yayasan : Yayasan Pelestarian Laut dan Pantai. Marine and Coastal Conservation Foundation

2. Badan Hukum : Akte Notaris Asbar Imran, SH Nomor 1 Tanggal 1 Maret 2005
3. NPWP. 02.334.921.0-811.000

4. Surat Pemberitahuan Keberadaan Organisasi Dari Badan Kesatuan Bangsa Linmas Propinsi Sulawesi Tenggara No. 220/104-Kesbang Tgl. 14 Maret 2005.

5. Bankers : Bank Rakyat Indonesia Cabang Kendari No. Rek. 0192-01-034163-50-2

6. Alamat : BTN Multi Graha Blok K No. 2 Kel. Rahandouna Kec. Poasia Kota Kendari Sulawesi Tenggara Telp. 0401-3195459

KONTAK PERSON

1. Mukhtar, A.Pi, M.Si Telp. 0401–3005201 HP. 081342791003
E-mail : mukhtar_api@yahoo.co.id

2. Abunaim Masdar,S.Pi HP. 085239737698
E-mail : mccf_abunaim@yahoo.co.id

3. Ishaq Warsandi,S.Pi HP. 081245564376
E-mail : mccf_ishaqwarsandi@yahoo.co.id

4.  La Moriansyah, S.Kom HP. 081310600131
E-mail : lamoriansyah@yahoo.com

MANAJEMEN

A. Pembina1. Ketua : Mukhtar, A.Pi, M.Si
2. Sekretaris : Kerismiaty

B. Pengawas
1. Ketua : Drs. Basirun
2. Sekretaris : Ir. Lapanga, M.Si
3. Anggota : Hj. Sitti Patima

C. Pengurus.1. Direktur : Abunaim Masdar, S.Pi
2. Sekretaris : Andi Mannojengi, S.ST.Pi
3. Bendahara : Kerisswasty

KONSULTAN AHLI

1. Lingkungan dan Agribisnis : Ir. Lapanga, M.Si (UNSULTRA}
2. Pengembangan Jaringan : Ir. Arsyad Abdullah
3. Manajemen Sumberdaya Perairan : Ir. Muhammad Ramli, M.Si (UNHALU)
4. Konservasi dan Penegakan Hukum :

DEVISI - DEVISI

A. Program dan Jaringan
1. Ishaq Warsandi, S.Pi
2. Masmidin,S.Pi
3. Ahmad Sadaruddin, S.Pd
4. Mursalim, S.Pd M.Si
5. La Moriansyah, S.Kom

B. Penelitian

1. Hasria, S.Pd, M.Si
2. Abuhuraera, S.Pi
3. La Ode Mansyur, S.Pi

C. Advokasi
1. La Anda Bakeostin, B.Sc, SH
2. Iskandar Maharaja,SH
3. La Hole, SH
4. Hasri Budi B, SH.

D. Pendidikan dan Pelatihan 1. La Pelita, SH
2. Hartono,S.Pi
3. Haeruddin, S.Pd
4. Abd. Quddus, S.ST.Pi

E. Perwakilan
1. Kab. Muna : Muhamad Ariston, S.ST.Pi
2. Kab. Konawe : M. Djamin
3. Kab. Buton : Suhardi, A.Pi
4. Kab Konawe Selatan : Haeruddin, S.Pd
5. Kab Buton Utara : Ld. Jefri Putrawansyah, S.ST.Pi
6. Kab. Wakatobi : Irmanto Lantele, S.Pi
7. Kota Bau-Bau : Ade Hermwansyah, S.ST.Pi
8. Jakarta : La Moriansyah, S.Kom  

Profil Pengurus

  1. Abunaim Masdar, S.Pi, Sarjana Perikanan Universitas Haluoleo Kendari Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, berpengalaman dalam bidang penelitian Oseanografi, mangrove, lamun dan Bivalvia serta pernah aktif dibeberapa LSM.
  2. Andi Mannojengi, S.ST.Pi Sarjana Sains Terapan Perikanan STP Jakarta Jurusan Penangkapan Ikan, berpengalaman sebagai Pengawas Perikanan.
  3. Kerisswasty, A.Md Amik Kendari jurusan komputer akutansi.
  4. Mukhtar, A.Pi, M.Si Ahli Perikanan STP Jakarta Jurusan Penangkapan Ikan, berpengalaman sebagai Pengawas Perikanan, PPNS Perikanan, Wakil Direktur SUPM Kendari, Direktur SMK Kelautan dan Perikanan, Dosen Institut Teknologi Kelautan Kendari serta dalam bidang pengawasan dan pelestarian sumberdaya kelautan dan perikanan dan pemberdayaan kelompok pengawas masyarakat.
  5. Kerismiaty Berpengalaman dalam bidang kesekretariatan.
  6. Drs. Basirun, Pemerhati Pengembangan Masyarakat, berpengalaman dalam bidang penelitian pemberdayaan masyarakat pesisir dan proyek-proyek Bank Dunia serta pernah aktif dibeberapa LSM.
  7. Ir. Lapanga, M.Si, Kandidat doktor, Ahli Lingkungan dan Ahli Agribisnis, berpengalan sebagai Dekan Fakultas Pertanian Universitas Sulawesi Tenggara Kendari, serta dalam bidang penelitian mangrove dan pertanian.
  8. Ir. Arsyad Abdullah, berpengalaman sebagai Dewan Nasional Walhi Jakarta, konsultan YASPPUK Jakarta, Konsultan CD WASSPLIC Sultra Bank Dunia, Fasilitator Daerah Sultra PKM-UNDP, Team Leader Pengembangan TNRAW CEPI-Canada, dan Konsultan Manajemen PPK Bank Dunia di Sultra.
  9. Ir. Muhammad Ramli, M.Si Ahli dibidang Manajemen Sumberdaya Perairan, Peneliti Bidang Perikanan dan Kelautan, Dosen Fakultas Perikanan di UNHALU
  10.                       Ahli dibidang Penangkapan dan Konservasi Sumberdaya Kelautan dan Perikanan serta Penegakan Hukum bidang Perikanan.
  11. Dr. Ma’ruf Kasim, S.Pi, M.Si Ahli dibidang Manajemen Sumberdaya Perairan, Peneliti Bidang Perikanan dan Kelautan, Dosen Fakultas Perikanan di UNHALU.
  12. Ishaq Warsandi, S.Pi, Sarjana Perikanan Universitas Haluoleo Kendari Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, berpengalaman dalam bidang penelitian Oseanografi, Mangrove, Lamun dan Terumbu karang serta Bivalvia serta pernah aktif dibeberapa LSM.
  13. Masmidin, S.Pi Sarjana Perikanan Universitas Haluoleo Kendari Jurusan Budidaya Perairan, berpengalaman dalam bidang penelitian Budidaya Perikanan, Oseanografi, mangrove, lamun dan Terumbu Karang.
  14. Hartono, S.Pi Sarjana Perikanan Universitas Haluoleo Kendari Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, berpengalaman dalam bidang penelitian Oseanografi, Mangrove, Lamun dan Terumbu karang.
  15. Abd. Djalil, SP Sarjana pertanian dibidang hama penyakit tumbuhan, berpengalaman sebagai fasilitator pemberdayaan masyarakat dan pernah aktif dibeberapa LSM.
  16. Ahmad Sadaruddin, S.Pd Sarjana pendidikan Universitas Haluoleo jurusan Pendidikan IPS,berpengalaman sebagai tim tehnis pada proyek SP3, Tenaga fasilitator pada Proyek Colaborative Enviromental Project in Indonesia (CEPI), program pemulihan keberdayaan masyarakat (YPI-PKM Jakarta), Commonity Development Fasilitator proyek SAADP LOAN 4007 (LEPSEK-BAPPEDA TK.I SULTRA-BANK DUNIA). Dan pernah aktif pada beberapa LSM.
  17. Mursalim, S.Pd, M.S. Berpengalaman dalam bidang pendidikan khususnya Bahasa Inggris dan ahli bidang komputer.
  18. Lamoriansyah, S.Com Berpengalaman dalam bidang pendidikan khususnya Bahasa Inggris dan ahli bidang komputer.
  19. Hasria, S.Pd, M.Si Sarjana pendidikan Universitas Haluoleo dan Master science (Universitas Gajah Mada) bidang keahlian Geofisika (Fisika bumi) dan Kelautan. Dosen tetap pada FMIPA UNHALU, berpengalaman dalam bidang Pengembangan Teknologi Informasi dan metode Geofisika untuk Analisis Laut dan Perpantaian.
  20. Abuhuraera, S.Pi Sarjana Perikanan Universitas Unidayan Iksanuddin Bau-bau jurusan Budidaya Perairan berpengalaman dalam bidang budidaya rumput laut, dan pernah aktif dibeberapa LSM.
  21. La Ode Mansur, S.Pi. Berpengalaman dalam bidang Manajemen Sumberdaya Perairan dan bidang penelitian perikanan dan kelautan.
  22. La Anda Bakeostin, B.Sc, Sarjana Hukum, Lulusan Universitas Sulawesi Tenggara Kendari, berpengalaman sebagai Direktur SUPM Kendari, Wakil Direktur SMK Kelautan dan Perikanan, Kendari, Dosen Institut Teknologi Kelautan Kendari
  23. Iskandar Maharaja, SH Sarjana Hukum Universitas Haluoleo Kendari berpengalaman sebagai asisten notaris Hidayat,SH.
  24. La Hole, SH D3 Perikanan, Sarjana Hukum Universitas Sulawesi Tenggara Kendari, berpengalaman sebagai Pengajar SUPM dan SMK Kelautan dan Perikanan, Kendari. Pengawas Perikanan, PPNS Perikanan.
  25. La Pelita, SH Sarjana Hukum Universitas Sulawesi Tenggara Kendari, berpengalaman sebagai Pengajar SUPM dan SMK Kelautan dan Perikanan dan pernah aktif dibeberapa LSM.
  26. Haeruddin, S.Pd. Berpengalam dalam bidang pendidikan dan kemasyarakatan, dan pernah aktif dibeberapa LSM.
  27. Muhamad Ariston, S.ST.Pi Sarjana Sain Terapan Perikanan STP Jakarta Jurusan Pengelolaan Sumberdaya Perairan. Berpengalaman sebagai tenaga pengajar di SMK Kelautan dan Perikanan Muna.
  28. M. Djamin, Pemerhati masalah pengawasan dan pelestarian sumberdaya kelautan dan perikanan dan pemberdayan masyarakat pesisir.
  29. Suhardi, A.Pi Ahli Perikanan STP Jakarta jurusan Penangkapan Ikan, Berpengalaman sebagai Pengawas Perikanan, PPNS Perikanan serta dalam bidang pengawasan dan pelestarian sumberdaya kelautan dan perikanan dan pemberdayaan kelompok pengawas masyarakat.
  30. Abd. Quddus, S.ST.Pi Sarjana Sains Terapan Perikanan STP Jakarta Jurusan Penangkapan Ikan, berpengalaman sebagai Pengawas Perikanan. Pengolah data base dan komputerisasi.
  31. Ld. Jefri Putrawansyah, S.ST.Pi Sarjana Sain Terapan Perikanan STP Jakarta Jurusan Penangkapan Ikan.
  32. Irmanto Lantele, S.Pi. Berpengalaman dalam bidang Manajemen Sumberdaya Perairan dan bidang penelitian perikanan dan kelautan.
  33. Ade Herwansyah, S.ST.Pi Sarjana Sain Terapan Perikanan STP Jakarta Jurusan Pengelolaan Sumberdaya Perairan. Berpengalaman dalam bidang pengelolaan sumberdaya perairan.

STRATEGI

Strategi yang dikembangkan MCCF untuk mewujudkan Visi dan Misinya adalah melalui analisis dan advokasi kebijakan Pemerintah, Baik Ekonomi, Hukum maupun Lingkungan Sumberdaya Alam Laut dan Pantai.

PENDEKATAN PROGRAM

  1. Participatory : Keikutsertaan Masyarakat Nelayan secara aktif dalam semua tahapan kegiatan; mulai Identifikasi masalah, Perencanaan terfokus, Pelaksanaan, Pemantauan dan Evaluasi Kegiatan.
  2. Local Resources : Membangun Sumber Daya dan Demokrasi dan Pranata adat Lokal melalui Pendekatan yang berbasis pada kelompok.
  3. Accountability : Seluruh Kegiatan harus dapat dipertanggung jawabkan kepada Publik, baik secara teknis maupun secara administratif.
  4. Transformatif : Setiap Program yang dilakukan dapat menciptakan perubahan yang bersifat mendasar dan membangun.
  5. Sustainability : Hasil kegiatan dapat dilestarikan dan dikembangkan oleh masyarakat sendiri dan diaplikasi pada daerah-daerah lain.

WILAYAH SASARAN

Wilayah sasaran Program Yayasan Pelestarian Laut dan Pantai – Marine Coastal Conservation Foundation (MCCF), mencakup seluruh Perairan Laut, pulau-pulau kecil dan Pantai di Kabupaten/Kota se Propinsi Sulawesi Tenggara.

JENIS PROGRAM

A. Pengkajian dan Penguatan Pranata Adat.

1. Pengkajian pranata adat masyarakat Lokal dalam perlindungan dan pengawasan pelestarian laut dan pantai.

2. Melakukan pembinaan dan pem- berdayaan pranata adat masyarakat Lokal dalam perlindungan dan pengawasan pelestarian laut dan pantai.

3. Pembentukan pranata adat masyarakat Lokal dalam perlindungan dan pengawasan pelestarian laut dan pantai.

B. Penghapusan Marginalisasi Ekonomi Nelayan Tradisional.

1. Melakukan modernisasi Alat Tangkap Nelayan Tradisional yang ramah lingkungan.

2. Memberikan bantuan dana stimulan melalui kredit bergulir.

3. Melakukan pendampingan dan Pelayan Masyarakat (Community Development and Community Services)

C. Pelestarian Ekosistem Laut dan Lingkungan Pantai.

1. Kampanye Penyelamatan Ekosistem pesisir, mangrove, terumbu karang, dan laut.

2. Pelestarian Ekosistem pesisir, mangrove, terumbu karang, dan laut.

3. Pelestarian biota laut yang dilindungi.

4. Pembentukan Kelompok Konservasi dan Pengawas Masyarakat (POKWASMAS).

5. Pemberantasan Illegal Fishing.

6. Wisata Bahari berbasis Lokal .

D. Pendidikan dan Pelatihan

1. Pelatihan Perlindungan, Pemeliharaan, Rehabilitasi, Restorasi Ekosistem Laut dan pantai.

2. Pelatihan Manajemen Konservasi dan pelestarian ekosistem laut dan pantai.

3. Pelatihan Usaha Perikanan tangkap dan budidaya.

4. Pendidikan dan Pelatihan Perencanaan Berbasis Masyarakat (Community Based Planning).

5. Pembentukan Lembaga Pendidikan Berbasis Kebutuhan Pengelolaan SDA Laut dan Pantai.

E. Publikasi dan Informasi

1. Menyediakan pelayanan informasi dibidang perikanan, usaha perikanan, konservasi dan pelestarian ekosistem laut dan pantai.

2. Menyebarluaskan berbagai informasi hasil studi, kegiatan pelestarian ekositem laut dan pantai.

LATAR BELAKANG

Yayasan Pelestarian Laut dan Pantai - Marine And Coastal Conservation Foundation (MCCF) merupakan salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Sulawesi Tenggara yang dibentuk dan dikelola secara Independent oleh para aktifis profesi Pengembang Masyarakat Nelayan dan para profesi di bidang Lingkungan hidup Sumber Daya Alam Laut dan Pantai. Inisiatif pelestarian laut dan pantai ini dimulai sejak tanggal 15 Juni 1987 di Jakarta.

Para pengelola inisiatif pelestarian laut dan pantai ini melakukan serangkaian diskusi dengan adanya berbagai masalah dibidang ekosistem laut dan pantai khususnya di Sulawesi Tenggara maka tanggal 4 Pebruari 2005 disepakat untuk melembagakan dalam bentuk badan hukum di Kendari. Dasar pemikiran Kota Kendari (ibukota Propinsi Sulawesi Tenggara) sebagai pusat pengelolaan yayasan ini oleh karena tingginya kasus-kasus illegal fishing (penangkapan ikan secara illegal) terutama dynamite fishing (bom) dan cyanide fishing (bius) dan perusakan terumbuk karang yang menjadi keprihatinan utama yayasan ini untuk ditanggulangi dalam jangka panjang.

Meskipun demikian, MCCF telah berkomitmen kuat untuk tidak hanya melaksanakan program-programnya di Sulawesi Tenggara. Ada beberapa faktor kajian sebagai dasar terbentuknya MCCF, antara lain :

1. Kehidupan Masyarakat Nelayan Laut (tradisional) dan Masyarakat pesisir pantai sangat berkaitan dengan upaya pelestarian sumberdaya kelautan dan perikanan (Kawasan pesisir, mangrove, terumbu karang, dan laut).

2. Kerusakan ekosistem laut dan pantai “ bukan” semata ulah masyarakat nelayan “ tetapi “ lebih terdorong oleh terjadinya ketimpangan sosial dan ketidakadilan dalam pemanfaatan hasil laut.

3. Kelompok nelayan yang hidup di laut (Bajo), masyarakat pesisir Pantai dan pulau-pulau kecil selama ini diabaikan oleh sistem politik, ekonomi dan budaya. Mereka masyarakat Nelayan seakan bukan bagian dari anak bangsa yang berhak mendapatkan perhatian dan kehidupan yang layak.

4. Masyarakat nelayan selama ini tidak dipisahkan, antara nelayan pengusaha, Nelayan Pemilik Kapal, dan Nelayan buruh serta Nelayan Tradisional. Padahal etos kerja 4 kategori nelayan ini sangat berbeda. Nelayan Buruh dan Nelayan Tradisional selalu berada pada posisi kritis untuk mengembangkan usahanya karena dihadang oleh berbagai aturan yang dibuat oleh Birokrasi secara sepihak.

5. Akibatnya, mereka nelayan tradisional tidak jarang melakukan jalan pintas dalam mendapatkan ikan dengan cara yang tidak mengindahkan Tatalaksana perikanan yang bertanggungjawab (Code Of Conduct For Responsible Fisheries).

Untuk melaksanaan program-program MCCF Sulawesi Tenggara selain dengan dana swadaya juga akan bermitra dengan Pemerintah Daerah/Dinas Teknis terkait, membuka jaringan kemitraan pada beberapa LPSM Nasional serta Lembaga Donor Internasional yang secara khusus konsentrasi pada upaya Penyelamatan dan Pelestarian (Perlindungan, Pemeliharaan, Rehabilitasi, Restorasi dan Peningkatan Populasi dan Ekosistem) Laut dan konservasi lingkungan pantai melalui strategi Pendekatan Pelayanan Berbasis Ekonomi kerakyatan pada masyarakat Nelayan.

V I S I

Mewujudkan pelestarian ekosistem laut dan pantai untuk meningkatkan kesehjateraan masyarakat pesisir pantai, nelayan dan termasuk masyarakat adat di Indonesia khususnya Sulawesi Tenggara.

M I S I

  1. Melestarikan ekosistem laut, mangrove, padang lamun, dan terumbu karang.
  2. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir pantai, nelayan, termasuk masyarakat adat.
  3. Mengembangkan kerjasama dengan pemerintah, dunia usaha dan lembaga swadaya masyarakat dan Lembaga Donor Internasional yang berbasis pelestarian laut dan pantai.

NELAYAN ASING SERING CURI IKAN DI WAKATOBI

Wakatobi (Media Sultra kendari 20 maret 2009 )
Nelayan pesisir wangi-wangi kabupaten Wakatobi,sering melihat kapal asing mencuri ikan d perairan setempat. Beberapa yang sempat terpantau misalnya dari Taiwan dan philifina.Mereka biasa beroprasi saat malam bulan gelap (malam tanpa bulan)

La tudi nelayan asal desa patuno ditemui kamis (19/3) menuturkan,kapal asing itu tidak hanya mencuri ikan,udang,cumi- cumi pada lautan lepas,tetapi juga mencuri ikan dibagian nelayan setempat.caranya dengan dibekali pukat harimau dan lampu sorot untuk menarik ikan dari bagian nelayan.kapal- kapal tersebut dalam operasinya memakai bendera Indonesia mereka juga memakai ABK yang bisa berbahasa Indonesia,misalnya dari Bitung dan Manado.

Biasanya kapal itu beriringan mirip kapal barang,kalau diteliti barulah diketahui kalau itu kapal asing pencuri ikan.saat malam berpencar mencari ikan,”katanya.

Kapal-kapal itu kalau bulan terang memasang jaring dengan dibantu radar untuk mencari ikan Magiwa bahasa wanci ikan Konipu,kalau bahasa Melayu ikan luyu.

Mereka memiliki cara menghindari patroli terlihat,mereka langsung mematikan lampu kapalnya. Selanjutnya berjalan ke pesisir pantai,kalau dekat pelabuhan kapal asing itu langsung bersandar.

Kapal-kapal itu kerap sekali dipergoki nelayan ketika sedang melakukan aksinya di selat (perairan diantara dua pulau) misalkan selat pulau Wanci Kaledupa.setelah air turun sekitaran 04.05 dini hari aksi penangkapan ikan barulah dilakukanya.

La Adida nelayan asal patuno juga mengatakan dirinya sudah bisa menyaksikan kapal asig menangkap ikan di perairan Wakatobi. Dia dan teman-teman pernah dikejat karena memutus jaring milik orang asing itu.

”Waktu itu dipasang radar,setelah kami putuskan mereka tahu dan mengejar. Untung kita tidak didapat,”katanya. Mereka berharap pemerintah memperhatikan. karena pencurian itu merugikan masyarakat apalagi masyarakat di daerah ini mayoritas berpenghasilan dari hasil laut.

La Adida belum lama ini sering melihat kapal asing di tangkap kapal perang.Mereka sempat melarikan kapalnya tapi akhirnya tertangkap juga.

”kita juga khawatir jangan sampai setelah di tangkap di lepas lagi,karena ada alasan tertentu.karena kita melihat mereka mengambil ikan disini bisa dikatakan seperti bebas saja,”katanya.

Sabtu, 21 Maret 2009

Kapal Illegal Fishing Asal Viatnam di Tangkap KP. Hiu 003

  1. Pada hari Sabtu tanggal 14 Maret 2009, jam 12.30 WIB, KP. Hiu 003 milik Ditjen P2SDKP Departemen Kelautan & Perikanan, telah menangkap kapal ikan asing berkebangsaan Vietnam di Perairan Laut Cina Selatan/ ZEEI pada koordinat 06˚ 02´ 000˝ LU-107˚ 08´ 200˝ BT. Pada saat diperiksa kapal ikan asing dengan Nama Lambung GT 91701 TS dengan Nakhoda Selaku tersangka bernama Mr. Doan Hai Van beserta ABK sejumlah 22 orang tidak dapat menunjukkan dokumen Kapal Ikan (SIUP & SIPI). 
      
    Oleh KP. Hiu 003 yang di Nakhodai oleh Ahmad Kahar, kapal asing tersebut di adhock ke UPT P2SDKP Stasiun PSDKP Pontianak karena diduga keras melakukan tindak pidana perikanan Pasal 5 ayat 1 Huruf b, Pasal 26 jo Pasal 29, Pasal 27 Ayat (2) Jo 93 Ayat 2, Pasal 104 dan 105 UU No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan. 
      
    Selanjutnya tersangka dan barang bukti berupa satu unit kapal TG 91701 TS dan alat tangkap purse seine serta alat navigasi dan komunikasi diserahterimakan kepada Dan Lanal Pontianak untuk dilakukan proses hukum. Untuk sementara tersangka dan ABK diamankan pada Rumah Tahanan milik Stasiun P2SDKP Pontianak, begitu pula dengan Barang Bukti dititipkan pada Dermaga Stasiun P2SDKP Pontianak yang memang Dermaga ini dibangun untuk menyimpan barang bukti kapal ikan yang sedang dalam proses hukum.(Mubarak, S..St.Pi). 
      


Wisata Bahari, untuk Siapa?

Tidak salah jika ada yang memberi julukan Indonesia sebagai ”surga dunia”. Keindahan alamnya yang tersebar di sekitar 17.500 pulau sangat memesona.

elain gunung dan hutan dengan tumbuhan yang sangat beragam, juga terdapat pantai yang terbentang sepanjang 81.000 kilometer atau setara 81 kali Jakarta-Surabaya. Di bawah lautnya yang terbentang seluas 22,4 juta kilometer persegi (km), terdapat hamparan terumbu karang seluas 75.000 km. Tidak kurang dari 950 spesies terumbu karang hidup di sana.

Di bawah laut juga terdapat sekitar 8.500 spesies ikan tropis. Potensi ikan untuk konsumsi seakan tak ada habisnya.

Mestinya dengan potensi alam yang luar biasa ini, Indonesia bisa maju meninggalkan negara-negara di sekitarnya. Masyarakatnya bisa makmur dan wisata bahari bisa berkembang. Namun, kenyataannya, jauh panggang dari api.

Jumlah penduduk miskin masih tetap tinggi, bahkan tak berkurang selama 20 tahun terakhir. Alih-alih berkurang, justru jumlah penduduk miskin makin bertambah di tengah kekayaan alam yang melimpah.

Jika tahun 1987 terdapat sekitar 30 juta penduduk miskin, saat ini setidaknya terdapat 33 juta penduduk miskin. Ironisnya, angka kemiskinan paling tinggi justru terdapat di sentra-sentra pertanian dan permukiman nelayan.

Kontribusi sektor perikanan juga sangat kecil, hanya sekitar tiga persen terhadap produk nasional bruto (GNP). Sangat tidak sebanding dengan potensi kelautan dan perikanan yang sangat berlimpah..

Modal minim

Kekayaan laut dan pesona laut yang luar biasa sebenarnya menjadi modal utama pengembangan wisata bahari. Pengembangan wisata bahari juga memiliki keunikan tersendiri.

Jika kegiatan wisata lain membutuhkan modal besar untuk pembangunan obyek wisata, maka dalam wisata bahari daya tarik utama justru pesona alam yang asli. ”Investor tidak perlu susah payah mengeluarkan modal besar untuk membangun obyek wisata. Daya tarik wisatanya sudah tersedia berupa pesona alam,” kata Direktur Pulau-pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Alex Retraubun.

Kalaupun membangun fasilitas, berupa cottages atau tempat peristirahatan, tidak perlu modal besar karena biasanya wisatawan menyukai tempat peristirahatan yang alami, bukan berupa hotel mewah. Namun, tarifnya setara dengan tarif hotel bintang lima dan tak pernah sepi peminat.

Di Wakatobi, misalnya, tersedia resort yang atapnya dari rumbia dan dindingnya sederhana. Namun, 11 kamar yang ada di resort itu tak pernah sepi wisatawan mancanegara dan bisa menghasilkan Rp 22 miliar setahun. ”Kesunyian, keterisolasian, serta keindahan terumbu karang dan ikan hias itulah yang menjadi daya tarik wisatawan,” kata Alex Retraubun.

Potensi alam seperti ini tidaklah sedikit. Di Indonesia setidaknya ada 59 lokasi selam yang sangat menawan. Karena keterbatasan infrastruktur, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata baru menawarkan 13 lokasi, di antaranya Nias, Mentawai, Ujung Kulon dan Anak Krakatau, Batam Rempang dan Galang, Riau Kepulauan, dan Kepulauan Seribu di DKI Jakarta.

”Ke-13 lokasi ini harus betul-betul dijaga, termasuk dari kerusakan akibat pengeboman ikan,” kata Sekretaris Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Indroyono Soesilo.

Selain menjaga, hal yang sangat penting untuk mengembangkan pariwisata di 13 lokasi itu adalah menyediakan infrastruktur yang memadai. ”Meskipun alamnya indah, jika tidak ada pelabuhan yang memadai atau infrastrukturnya terbatas, tidak ada wisatawan yang ke sana,” kata Indroyono.

Hal lain yang tak boleh dilupakan adalah menjaga lingkungan obyek wisata tersebut agar tidak rusak. ”Konservasi adalah faktor mutlak dalam pengembangan wisata bahari,” kata Didien Junaedy, Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Wisata Bahari (Gahawisri).

Sayang, jumlah kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) untuk wisata bahari hingga saat ini masih minim.. Berdasarkan catatan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, jumlah wisman bahari baru sekitar 38,8 persen dari sekitar 6,7 juta wisatawan yang diklaim datang ke Indonesia.

Kurang serius

Pengelolaan wisata bahari memang terkesan kurang serius dilakukan pemerintah. ”Bahkan pemerintah terkesan tidak mempunyai cetak biru pengelolaan wisata bahari. Pembangunan infrastruktur tidak optimal serta koordinasi antarinstansi pemerintah masih sangat lemah,” kata Didien.

Pemerintah daerah dan masyarakat lokal pun seperti tidak dilibatkan dan tidak mendapat manfaat dari keberadaan obyek wisata bahari.

”Padahal, mestinya, wisata bahari bisa memberikan pendapatan yang layak buat pemerintah daerah dan masyarakat lokal. Tradisi masyarakat sekitar juga harus tetap terpelihara. Itu yang kami inginkan,” kata Henky Hermantoro, Kepala Puslitbang Pariwisata Depbudpar.

Di sisi lain, menurut Son Diamar, koordinasi antarinstansi pemerintah juga kurang terpadu sehingga merugikan pengembangan wisata bahari. Sebagai contoh, dalam rangka mempromosikan pariwisata, hampir setiap tahun diadakan ”Sail Indonesia” yang diikuti sekitar 100 yachts dari 20 negara. Start dari Darwin Australia, masuk Indonesia di Kupang, lalu menjelajahi Nusa Tenggara Timur, Bali, serta pulau besar-kecil lainnya, dan finish di Batam.

Yachters yang kebanyakan orang kaya disuguhi pesona alam Indonesia, kekayaan budaya masyarakat, dan makanan khas di sepanjang perjalanan. Tapi, tahun 2008 kapal-kapal layar yachts sempat ”ditahan” karena dianggap ”barang selundupan” oleh Bea dan Cukai.

Kapal-kapal itu boleh masuk Indonesia dan keluar lagi jika mau diperlakukan sebagai ”barang impor sementara”, dan membayar sampai 50 persen dari harga kapal. Ada pemilik kapal yang harus membayar Rp 3 miliar dan dijanjikan di pelabuhan keluar nanti uangnya dikembalikan.

”Tentu saja memalukan karena di negara lain tidak ada aturan seperti itu karena kapal bukan barang. Inilah contoh bagaimana antarinstansi pemerintah masih kurang terpadu dan terkoordinasi dalam pengembangan wisata bahari,” kata Son Diamar, staf ahli di Bappenas.

Riza Damanik dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menyoroti dirugikannya masyarakat sekitar obyek wisata saat dilakukannya pengembangan wisata bahari. Bukannya diberdayakan, nelayan dan masyarakat sekitar obyek wisata malah tidak bebas lagi melakukan kegiatan, setelah adanya obyek wisata bahari. Pembatasan oleh aparat birokrasi ini karena khawatir kegiatan nelayan bisa mengganggu kenyamanan wisatawan.

”Padahal mestinya masyarakat nelayan diberdayakan,” kata Riza Damanik. Jika demikian, memang menjadi pertanyaan. Buat siapa wisata bahari dikembangkan? (Try Harijono)

Sumber: http://cetak. kompas.com/ read/xml/ 2009/03/20/ 09212423/ wisata.bahari. untuk.siapa
 




Alarm Bagi Industri Perikanan

Laporan terbaru yang dikeluarkan PBB, kemarin (2/3), memperingatkan supaya industri perikanan mulai mengambil ancang-ancang dengan persoalan tangkapan berlebih.

The State of World Fisheries and Aquaculture (Sofia), badan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) yang mengurus perikanan, dalam pengamatannya mulai menemukan sejumlah perubahan distribusi spesies ikan di laut dan air tawar.

Spesies yang biasa hidup di perairan hangat mulai terdorong ke kutub dan dihadapkan pada kondisi habitat dan produktivitas berbeda.

"Dan, perubahan iklim berdampak pada proses biologis musiman yang selama ini merupakan pemisah rantai makanan di laut dan air tawar. Konsekuensinya bagi produksi ikan sampai sekarang belum bisa diprediksi," demikian hasil studi dari Sofia.
Kevern Cochrane, penulis utama laporan itu menyebutkan bahwa komunitas perikanan perlu segera ditolong supaya mereka bisa tahan dengan dampak buruk yang ditimbulkan perubahan iklim.

Studi dari Sofia dikompilasi dengan studi yang dilakukan oleh Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) sehingga ditarik kesimpulan bahwa stok ikan secara bertahap terus berkurang.
Overfishing atau penangkapan ikan secara berlebihan telah mempengaruhi 19% stok ikan dari industri komersial yang selama ini dimonitor oleh FAO.
"Daerah yang stoknya terpantau telah menipis drastis antara lain di Timur Laut Samudera Atlantik, sisi Barat Samudera India, dan Barat Daya Samudera Pasifik," ungkap FAO.
Badan pangan PBB itu juga mengkritik minimnya upaya negara-negara dalam mengatur penangkapan ikan menggunakan pukat, penangkapan hiu, dan mengatasi illegal fishing.(Ccr/ AFP/X-9)
Sumber : Harian Media Indonesia; Selasa, 3 Maret 2009