Jumat, 16 Agustus 2013

Rekomendasi Pengelolaan Daerah Tangkapan dan Konservasi Terumbu Karang

Written by Ibnu Faizal   

(Image Source: http://t0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcR8qdag76Qxegz_r9Q1y_OT7TkYFXAidhJ2-_KXx8Ivz5mtEPI8)

Sebuah daerah tangkapan dapat digambarkan sebagai suatu wilayah daratan yang dikelilingi oleh dataran yang lebih tinggi seperti perbukitan dan pegunungan, di mana air mengalir ke titik terendah (misalnya sungai, sungai, danau atau laut). Sebuah daerah tangkapan besar sering terdiri dari sejumlah tangkapan lebih kecil yang disebut sub-DAS. Akibatnya, ada kebutuhan untuk mengadopsi pendekatan seluruh tangkapan untuk memastikan bahwa kegiatan yang merusak seperti polusi tidak berdampak pada orang lain di kawasan tangkapan air atau di perairan pantai.


Baru-baru ini pengelolaan lahan dan air telah semakin didasarkan pada daerah tangkapan dan 'pendekatan tangkapan atau DAS', serta yang terutama adalah interaksi dari keduanya. Pendekatan ini telah digunakan untuk membawa perbaikan lingkungan, khususnya pada skala yang luas di mana perubahan yang diperlukan di daerah yang melibatkan banyak pemilik lahan, dan penggunaan beberapa lahan air. Penelitian dapat diatur dan terintegrasi untuk mendukung pelaksanaan proyek-proyek berbasis DAS yang bertujuan untuk perbaikan lingkungan. Sungai yang mengalir DAS (daerah aliran sungai) adalah integrator alami yang merespon kegiatan di kawasan tangkapan air dimana debit sungai bermuara (laut, danau, lahan basah). Pendekatan ini secara eksplisit mensyaratkan pengembangan kemitraan antara orang-orang pengambil keputusan pengelolaan lahan dan air, sehingga tujuan mengintegrasikan segala keputusan adalah untuk memastikan bahwa tujuan-tujuan ekonomi, sosial dan budaya untuk mereka yang terkena dampak (tinggal disekitar DAS) terpenuhi sebanyak mungkin. Kemitraan juga mempertemukan si penyebab masalah dengan mereka terkena dampak oleh mereka. Diharapkan dengan  identifikasi masalah dan pengambilan keputusan  secara bersama akan membawa perbaikan jangka panjang atas tanah dan pengelolaan air.


Pengelolaan daerah tangkapan air yang lebih baik di bawah manajemen perencanaan tangkapan secara resmi (baik sukarela atau peraturan), Peraturan ditingkatkan dan aksi masyarakat dapat berefek pengurangan yang besar dalam pengiriman polutan ke perairan pesisir.

Beberapa Prioritas Pengelolaan yang dapat diatasi diatasi Melalui Proses ICZM :


Mengidentifikasi Polutan Prioritas di daerah Tangkapan, terutama polutan yang mencemari ekosistem pesisir dan terumbu karang;

Mengidentifikasi Praktek Pengelolaan Lahan yang Efektif yang efektif untuk mengurangi polusi;

Mengelola Hutan, pertanian dan pembangunan perkotaan untuk pengurangan sedimen, nutrisi dan pestisida. Kontrol erosi, manajemen pupuk, pengelolaan limbah hewan dan manajemen penggunaan pestisida juga akan menjadi bagian penting;

Mengembangkan Kode Etik untuk penebangan untuk mengurangi erosi, dan meminimalkan erosi dari area penyimpanan dan penanganan kayu. Namun Peraturan tentang Loggin harus jelas dan ditegakkan.

Mempertahankan Tanaman untuk Melindungi Tanah, seperti tebu, kelapa sawit  dan pisang. Mempertahankan residu ini dapat mengurangi erosi secara nyata, terutama pada tahap penanaman setelah persiapan lahan. meminimalisir atau mengurangi sistem pembalakan dalam sistem cara tanam juga mengurangi erosi secara signifikan. Pencegahan pembukaan lahan dan tanam di lereng sangat curam sangat penting dalam pengendalian erosi, walaupun seringkali sulit untuk dilakukan karena peraturan kepemilikan tanah;

Mengelola Penggunaan Pupuk. Kebanyakan sistem tanam menggunakan pupuk 'berlebih' dari persyaratan serapan hara merupakan proses yang tidak efisien (hanya 40% pupuk nitrogen atau fosfor yang diterapkan terserap oleh tanaman). Beberapa petani percaya bahwa jika pemberian pupuk lebih banyak akan lebih baik. Kelebihan aplikasi pupuk menyebabkan kerugian besar N dan P ke saluran air. Peningkatan pengelolaan melalui memberikan nasihat kepada petani dan kontrol ketat terhadap 'kelebihan' penggunaan pupuk dapat mengakibatkan penurunan signifikan nutrisi di perairan;

Perangkap Sedimen dan Nutrisi dari peternakan di daerah pinggiran sungai, saluran air dan vegetasi lahan basah (alami dan buatan) akan mengurangi debit sedimen dan nutrisi ke perairan pesisir. Satu peringatan, sistem perangkap ini kurang efektif pada daerah dengan curah hujan tinggi dimana volume air besar dan waktu tinggal air di daerah 'buffer' pendek. Biasanya terlalu pendek untuk memungkinkan terjadinya denitrifikasi, N dan serapan P oleh tanaman, sedimentasi, kerusakan herbisida atau adsorpsi ke dalam tanah / sedimen dalam jangka panjang;

Menjaga Hamparan Tanaman Penutup seperti padang rumput sangat penting dalam mencegah erosi. Penghapusan tanaman penutup oleh penebangan pohon menyebabkan peningkatan erosi secara besar-besaran pada lereng bukit dan erosi tebing sungai. Mengelola penggembalaan diinduksi erosi dengan mempertahankan penutup rumput adalah mungkin, tetapi rumit oleh curah hujan yang tidak teratur sering dialami di daerah tropis kering dimana kekeringan dapat diikuti oleh curah hujan besar selama siklon (badai) dan musim hujan;

Mengontrol Perkembangan Perumahan dan Pariwisata sangat penting. Namun biasanya dilakukan dengan pengelolaan lahan yang sangat rendah/buruk. Biasanya lahan benar-benar dibersihkan dari semua vegetasi (baik rumput, pohon atau bahkan gulma), sering kali pembersihan terjadi pada musim hujan di lereng bukit curam sangat curam yang 'dipotong dan diisi' untuk rumah dan hotel situs dan jalan. Upaya untuk mengelola perkembangan tersebut secara mengejutkan sulit untuk diterapkan karena kekuatan 'pengembang' terutama di dekat daerah pantai yang menarik. Pedoman yang kuat sering ada untuk pembangunan perkotaan ' gangguan tanah yang minimal', tetapi hanya beberapa kasus di mana pedoman ini berhasil dilaksanakan. Untungnya potensi penurunan erosi setelah perkembangan perkotaan menjadi mapan dan vegetasi direhabilitasi;
Pengelolaan Limbah Pertambangan dan Industri;
Mengelola Air Limbah Rumah Tangga dan Industri. Manajemen limbah perkotaan akan menjadi prioritas di banyak tempat,
Mengontrol Pembuangan Air ke dalam Sungai dan Pantai. Aturan operasional untuk bendungan dan jaringan irigasi akan menjadi komponen penting;

Menetapkan Target Pengurangan Debit Polutan ke Perairan Pesisir. Dalam semua proyek mitigasi polusi gagasan tentang target adalah penting misalnya berapa tingkat pengurangan yang diperlukan dan dalam jangka waktu berapa lama untuk melindungi ekosistem (misalnya terumbu karang). Target sebaiknya dipertimbangkan dalam konteks target SMART (Specific, Measurable , Achievable, Relevan, Timed) yaitu Spesifik, dapat diukur, dapat dicapai, relevan dan memiliki jangka waktu batas).

Pemantauan dan Penilaian pada Skala 'Tangkapan ke Karang'. Menilai efektivitas pengelolaan tanah dengan pemantauan di lingkungan laut (yaitu di karang) merupakan sesuatu yang kompleks, mahal dan butuh waktu yang lama. Akan lebih baik untuk memantau pada skala intervensi yaitu manajemen pada akhir paddock, pada ujung pipa saluran pembuangan, di sebuah sungai kecil atau pada hilir sungai di mana limbah itu dibuang ke laut;


REKOMENDASI PENGELOLAAN DAERAH TANGKAPAN DAN TERUMBU KARANG 

Rekomendasi 1: Pemetaan dan Yurisdiksi

Sebelum pengelolaan daerah tangkapan hulu dapat mulai, adalah penting untuk menentukan:
• Ukuran, dan apa saja yang ada di daerah tangkapan air;
• Apa Instansi yang bertanggung jawab, peraturan yang ada dan program pengelolaan yang sedang berjalan;
• Siapa saja orang-orang dan  kelompok masyarakat yang terlibat dalam pengelolaan DAS, terutama mereka yang bertanggung jawab atas kegiatan yang merusak, dan
• Apakah ada hak kepemilikan tradisional di daerah tersebut.

Rekomendasi 2: Mengidentifikasi dan Memprioritaskan Isu-isu untuk Memilih Respon Manajemen.

Analisis Masalah Utama adalah Anda harus tahu apa masalah utama dari tangkapan yang merusak terumbu karang sebelum memulai tindakan apapun. Oleh karena itu, adalah penting untuk menentukan apa masalahnya, menilai biaya kerugian akibat kerusakan dan juga biaya yang dibutuhkan dalam mencari solusi, dan menentukan berbagai solusi. Hal ini penting untuk dapat menempatkan apa yang Anda coba capai dalam beberapa kalimat (VISI). Misalnya, ada kebutuhan untuk menganalisis masalah kualitas air di daerah tangkapan air yang mempengaruhi ekosistem laut. Visi yang baik akan membantu memprioritaskan masalah yang harus diatasi pertama kali, menganalisis pengelolaan yang memungkinkan, Prioritas pengelolaan dan peraturan, serta menentukan biaya yang dibutuhkan. Analisis ini juga harus mencakup penentuan sumber pendanaan dan keahlian, seperti dari pemerintah pusat,daerah, lokal, PBB dan negara-negara donor, LSM lokal dan internasional, atau narasumber lokal. Output dari anlisis ini akan menginformasikan program pengelolaan daerah tangkapan air didasarkan pada analisis dan harus dimiliki/dipahami secara lokal.


Rekomendasi 3. Meningkatkan Kesadaran dan Solusi dari Masalah.

Seringkali orang tidak menyadari bahwa tindakan mereka menyebabkan kerusakan pada daerah hilir. Dengan informasi yang baik dan bahan yang jelas, sangat mungkin untuk membentuk kemitraan dengan orang-orang yang tinggal dan bekerja di hulu daerah tangkapan air untuk memecahkan masalah yang terjadi di hilir.

Rekomendasi 4: Kontrol Input Sedimen

Untuk mengontrol dan mencegah kelebihan aliran sedimen ke daerah pesisir Anda, penting untuk mengidentifikasi sumber-sumber, menilai dan memantau arus sedimen, dan melaksanakan tindakan untuk mengurangi aliran sedimen tangkapan. Langkah-langkah spesifik adalah sebagai berikut:


Rekomendasi 5: Kontrol Input Nutrien (Nitrogen dan Fosfor)

Jika peningkatan beban nutrisi menyebabkan masalah (mirip dengan Rekomendasi # 4 di atas), tugas-tugas penting adalah: analisis masalah utama untuk menentukan sumber utama, tindakan yang mungkin untuk mengukur konsentrasi nutrisi utama (nitrogen dan fosfor), meningkatkan kesadaran di masyarakat tangkapan dari masalah dan solusi yang mungkin, dan melaksanakan tindakan korektif yang mudah untuk mengurangi sumber utama. Kemungkinan kenaikan sumber utama karena:
i) Limbah buangan dari pabrik pengolahan limbah yang tidak memadai, tidak efektif atau sistem septik yang buruk dipertahankan yang berasal dari kota-kota dan rumah;
ii) Kerugian pupuk dari pertanian intensif, terutama dari tebu, kelapa sawit, hortikultura (buah dan sayuran), umbi-umbian, tanaman biji-bijian.
iii) Sistem produksi ternak intensif, seperti peternakan babi, ternak yang butuh banyak pakan, produksi ayam, budidaya (udang / udang, ikan);
iv) Air hujan dari perkotaan mengandung seperti pupuk, deterjen dan limbah lainnya seperti kotoran hewan, dan
v) Industri sekunder, seperti pabrik pengolahan makanan dan pengalengan, tempat pemotongan hewan, pabrik gula, pabrik kelapa sawit, pabrik pengolahan ikan.



Rekomendasi 6: Kontrol Input Pestisida dan Kimia Beracun lainnya

Polutan yang paling sulit untuk mendeteksi dan mengukur adalah pestisida dan polutan organik persisten lainnya (POPs), tetapi ini bisa dilakukan karena polutan ini menyebabkan kerusakan besar pada hewan dan tumbuhan dalam ekosistem pesisir. Jika Anda menduga bahwa peningkatan beban pestisida adalah masalah bagi daerah Anda, penting untuk mengidentifikasi mengukur senyawa dan konsentrasi mereka dengan analisis ilmiah secaa rinci dan seringkali mahal. Dengan data ilmiah dan analisis masalah secara umum penting untuk: menentukan apa yang menjadi sumber dan senyawa utama, meningkatkan kesadaran di bidang sumber tanpa menyalahkan, dan mengembangkan program-program untuk mengurangi jumlah yang digunakan serta beralih ke senyawa kurang beracun. Meningkatnya beban polutan mungkin karena:
i) Pertanian, khususnya tanam tebu, kelapa sawit, sayuran, buah, dan tanaman biji-bijian termasuk beras dan jagung;
ii) Perkotaan, termasuk menggunakan pengendalian malaria dan gulma;
iii) Bahan Kimia Sintetis misalnya pengawet kayu, obat-obatan dari limbah pembuangan limbah, termasuk sintetis hormon;
iv) Pelepasan tidak sengaja atau ilegal dari industri



Rekomendasi 7: Limbah Padat dan Plastik

Limbah padat dan plastik mudah untuk dilihat dan menjadi masalah bagi daerah pesisir, tugas penting kita adalah menentukan besar sumber, kurangnya fasilitas pengumpulan limbah padat, kurangnya kesadaran masyarakat, atau rendahnya pengawasan pemerintah terhadap industri. Polutan utama adalah plastik dan kaca (terutama botol), logam, kain, kertas dan kardus.



Rekomendasi 8: Limbah Logam Berat dan Pertambangan serta  Industri Lainnya

Masalah utama dengan logam berat adalah bahwa mereka tetap dalam ekosistem untuk waktu yang sangat lama dan akan terakumulasi dalam hewan dan tumbuhan. Dengan demikian, beberapa logam berat dapat memasuki rantai makanan manusia, seperti merkuri, kadmium dan timbal dalam seafoods. Jika ada bukti dari logam beracun di sungai dan laut di daerah Anda,
Penekanan harus pada sumber-sumber besar, seperti: i) Pertambangan dan Pengolahan Mineral; ii) Industri Manufaktur (produksi terutama baterai dan elektro-plating); iii) Operasi Pelabuhan dengan Penggunaan cat antifouling, Tumpahan dari Pengiriman Bijih dan Logam limpasan air dari pelabuhan, dan iv) Pertanian yang akan menjadi sumber pencemaran difus (residu kadmium dalam pupuk, merkuri dalam fungisida, senyawa tembaga sebagai fungisida, senyawa selenium dalam racun tikus).


Rekomendasi 9: Mengurangi Kerusakan dari Banjir Akibat Modifikasi Daerah Tangkapan.

Hindari memodifikasi daerah resapan untuk mengurangi aliran volume besar air yang membawa sedimen, nutrisi dan bahan padat setelah hujan lebat. Daerah resapan alami yang sehat bertindak seperti spons dengan memperlambat pelepasan air tawar dan memungkinkan banyak untuk menyerap ke dalam tanah. Daerah resapan sehat dapat mengurangi erosi dan banjir serta polusi karena pengiriman air dari hujan deras telah diperlambat. Jika memungkinkan perbaiki DAS yang rusak dengan mencegah pembukaan hutan, pengelolaan hutan yang buruk, merehab daerah yang rusak, mempertahankan dan memperbaiki zona riparian di samping sungai, mengurangi luas permukaan beton/berlapis dengan menggantinya dengan sabuk intermiten vegetasi seperti rumput, pasir atau kerikil; mempertahankan kolam alami dan lahan basah di daerah drainase, dan menghapus sampah dan bahan padat lainnya yang dapat dibawa pergi dengan air banjir.


Rekomendasi 10: Adaptasi Tangkapan dan Pesisir Terhadap Perubahan Iklim.

Sebagian besar dari efek merusak dari tangkapan terumbu karang yang dibahas akan meningkat seiring dengan iklim global yang terus berubah. Oleh karena itu, Rekomendasi 1 sampai 9 di atas juga harus ditekankan sebagai langkah adaptasi perubahan iklim. Anda harus menemukan cara yang efektif untuk adaptasi perubahan iklim dan memperkuat semua langkah-langkah lain untuk mencegah kerusakan dari tangkapan dengan menekankan bahwa perubahan iklim akan memperburuk keadaan. Namun, tidak harus diambil perawatan untuk fokus pada dampak perubahan iklim di masa depan dengan mengorbankan langkah-langkah untuk meningkatkan pengelolaan daerah tangkapan air masa sekarang, walaupun pengelolaan tangkapan untuk persiapan perubahan iklim dapat membuka peluang untuk pendanaan. Rekomendasi #1 sampai #9 akan membantu dalam beradaptasi daerah tangkapan dan pesisir terhadap dampak perubahan iklim. Manajemen yang baik dari daerah tangkapan akan mengurangi kerusakan di masa depan dari perubahan iklim, terutama dari cuaca lebih sulit diprediksi, badai besar, kenaikan permukaan air laut dan peningkatan suhu di atmosfer dan laut.



Rekomendasi 11: Carilah Bantuan dari Donor dan Konvensi

Sebagai Pengelola sebuah daerah pesisir, kita harus mencari tahu proyek-proyek di Negara kita yang berhubungan dengan pengembangan tangkapan dan belajar dari mereka bagaimana pengelolaan itu diatur dan didanai. Ada sejumlah lembaga donor dan dari pemerintah yang memiliki program pengelolaan daerah tangkapan yang mungkin dapat membantu, namun lembaga-lembaga internasional dan PBB mengharuskan permintaan datang dari pemerintah negara. Periksa konvensi regional dan internasional yang berlaku untuk pengelolaan pesisir dan DAS untuk menentukan apakah dapat diterapkan pada masalah yang timbul dari daerah tangkapan dan juga apakah dapat memberikan rekomendasi dana untuk perbaikan. Banyak juga LSM internasional maupun regional yang dapat membantu dengan proyek-proyek yang bertujuan untuk mengurangi kerusakan wilayah pesisir dari daerah resapan.

SUMBER:

http://www.terangi.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=218%3A11-rekomendasi-pengelolaan-daerah-tangkapan-dan-konservasi-terumbu-karang&catid=54%3Apengelolaan&Itemid=52&lang=en

http://www.unep-wcmc.org/medialibrary/2011/09/06/4781a42f/Catchment_management_and_Coral_Reefs_Final_3_April.pdf

Konservasi Terumbu Karang, Asa Alternatif Ekonomi Masyarakat Lokal

Pengelolaan kawasan konservasi perairan tidak terlepas dari pengelolaan sumberdaya ikan secara keseluruhan. Konservasi sumberdaya ikan adalah upaya melindungi melestarikan dan memanfaatkan sumberdaya ikan untuk menjamin keberadaan, ketersediaan dan kesinambungan jenis ikan bagi generasi sekarang maupun yang akan datang. Sebagai upaya konservasi wilayah perairan, pesisir dan pulau-pulau kecil, pemerintah telah menetapkan kebijakan penetapan target nasional konservasi laut yang disampaikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada pertemuan Convention on Biological Diversity (CBD) di Brazil tahun 2006, yaitu pencanangan target 10 juta hektar kawasan konservasi Laut pada tahun 2010, dan selanjutnya target 20 juta hektar pada tahun 2020, sebagaimana pernyataan Presiden mengenai Coral Triangle Initiative (CTI) dalam forum APEC Leaders Meeting di Sydney, 2007
Mandat CBD mengamanatkan setiap negara melaksanakan pengelolaan efektif kawasan konservasi perairan sebesar 10 (sepuluh) persen dari wilayah teritorial lautnya. Indonesia memiliki wilayah teritorial laut seluas lebih kurang 310 juta hektar,  komitmen Indonesia untuk mengelola 20 Juta Hektar Kawasan Konservasi pada tahun 2020 masih baru menjangkau sekitar 6 (enam) persen, belum memenuhi total 10 (sepuluh) persen wilayah teritorial yang terhitung mencapai tidak kurang dari 31 juta hektar. Komitmen konservasi tentu merupakan bentuk keberpihakan kepada masyarakat dan nelayan lokal, mengingat wilayah terumbu karang berada di kawasan perairan pesisir dan pulau-pulau kecil yang dapat dimanfaatkan untuk perikanan berkelanjutan bagi masyarakat, bukan untuk nelayan besar atau eksploitasi sumberdaya yang berlebihan. Dukungan kebijakan kebijakan nasional dalam pengembangan kawasan konservasi perairan dibuat secara menyeluruh dan terpadu serta mempertimbangkan desentralisasi dalam pelaksanaannya. Berbagai kebijakan, peraturan, pedoman terkait pengelolaan kawasan konservasi perairan telah dikembangkan. 
Paradigma baru pengelolaan kawasan konservasi perairan, pesisir dan pulau-pulau kecil, semakin memperkuat keberpihakan konservasi terumbu karang untuk kesejahteraan masyarakat lokal, paradigma ini paling tidak memuat dua hal penting, pertama: Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan diatur dengan sistem ZONASI. Paling tidak, ada 4 (empat) pembagian zona yang dapat dikembangkan di dalam Kawasan Konservasi Perairan, yakni: zona inti, zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan dan zona lainnya.  Zona perikanan berkelanjutan tidak pernah dikenal dan diatur dalam regulasi pengelolaan kawasan konservasi kawasan konservasi terdahulu baik menurut UU No. 5 tahun 1990 dan PP No. 68 tahun 1998. Kedua: Desentralisasi Kewenangan Pengelolaan, yakni pengelolaan kawasan konservasi yang selama ini menjadi kewenangan pemerintah pusat saja, kini berdasarkan UU No. 27 Tahun 2007 (Lebih lanjut, pengaturan mengenai kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil juga telah diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: Per.17/Men/2008) dan PP No. 60 Tahun 2007 serta Permen Men KP no Per.02/Men/2009, Pemerintah daerah diberi kewenangan dalam mengelola kawasan konservasi di wilayahnya. Hal ini sejalan dengan mandat UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 12 tahun 2008, khususnya terkait pengaturan pengelolaan wilayah laut dan konservasi.
Pengaturan sistem zonasi dalam pengelolaan kawasan konservasi serta perkembangan desentralisasi dalam pengelolaan kawasan konservasi, jelas hal ini merupakan pemenuhan hak-hak bagi masyarakat lokal, khususnya nelayan. Kekhawatiran akan mengurangi akses nelayan yang disinyalir banyak pihak dirasakan sangat tidak mungkin. Justru hak-hak tradisional masyarakat sangat diakui dalam pengelolaan kawasan konservasi. Masyarakat diberikan ruang pemanfaatan untuk perikanan di dalam kawasan konservasi (zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan, maupun zona lainnya), misalnya untuk budidaya dan penangkapan ramah lingkungan maupun pariwisata bahari dan lain sebagainya. Pola-pola seperti ini dalam konteks pemahaman konservasi terdahulu (sentralistis) hal ini belum banyak dilakukan. Peran Pemerintah pusat dalam konteks ini, hanya memfasilitasi dan menetapkan kawasan konservasi, sedangkan proses inisiasi, identifikasi, pencadangan maupun pengelolaannya secara keseluruhan dilakukan dilakukan sepenuhnya oleh pemerintah daerah. Hak-hak tradisional masyarakat adat sangat dijaga dalam pengelolaan konservasi kawasan yang dilakukan, pun demikian manfaat kawasan konservasi yang diperoleh sepenuhnya untuk kepentingan masyarakat lokal, seperti Contoh pengelolaan kawasan konservasi di Bintan, melalui program coremap telah dikembangkan mata pencaharian alternatif pengelolaan kepiting bakau di KKP-D. Hasilnya cukup lumayan, bahkan dapat dijadikan wisata saat pemanenannya (wisata kuliner/seafood kepiting). di Raja Ampat, dikelola dengan sistem Pungutan Konservasi berupa PIN bagi pengunjung KKP-D untuk kegiatan menyelam dll. Sistem buka tutup (sasi) yang dikembangkan di Kawasan Kawe - Raja Ampat telah memberikan hasil ekonomi yang signifikan bagi masyarakat. KKP tersebut ditutup 1 tahun dan dibuka di akhir periode, dengan hasil lebih Rp.1,5 juta hanya dalam waktu 1 minggu saja.
Terdapat sejumlah kegiatan ekonomi yang dilaksanakan oleh kelompok-kelompok masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi perairan di lokasi binaan COREMAP II, sebagaimana ditulis dalam “Konservasi sumberdaya Ikan berbasis Kearifan Lokal”. Diantaranya di wilayah barat, salah satu kegiatan ekonomi yang diminati dan memiliki prospek yang baik adalah budidaya perikanan. Jenis-jenis kegiatan budidaya perikanan tersebut antara lain; (i) pembesaran ikan kerapu, (ii) pembesaran kepiting bakau, dan (iii) pembesaran ikan lele. Kegiatan ini meskipun mempunyai siklus panen yang relatif panjang (rata-rata 3 s/d 8 bulan), tetapi dengan pengelolaan waktu yang efektif kegiatan budidaya ini tetap memberikan manfaat bagi kelompok-kelompok masyarakat yang melaksanakannya. Hingga tahun 2010 kegiatan pembesaran ikan kerapu, kepiting bakau dan ikan lele yang masih berjalan dan sedang dalam pengembangan adalah di Batam (pembesaran ikan kerapu), Lingga (pembesaran ikan kerapu), Bintan (kepiting bakau) dan ikan lele (Tapteng). Meskipun kegiatan pembesaran ikan kerapu di Batam belum memberikan peningkatan pendapatan secara langsung bagi kelompok-kelompok masyarakat, akan tetapi sejumlah kelompok masyarakat telah melakukan panen beberapa kali, yaitu di Pulau Mubud, Pulau Abang dan Pulau Karas. Secara umum, 1 kelompok masyarakat (1 KK) mendapat dukungan pembiayaan sebanyak Rp. 15 juta, dalam masa 8 bulan akan panen dengan hasil Rp. 15 juta. Hasil ini dibagi menjadi 3 bagian, yaitu Rp. 4 juta digunakan untuk membeli bibit baru, Rp. 3 juta digunakan untuk mencicil pinjaman, dan Rp. 8 juta digunakan untuk kebutuhan hidup keluarga selama 8 bulan, jadi rata-rata Rp. 1 juta perbulan. Saat proses pembesaran, anggota kelompok masyarakat ini telah menjalankan aktifitas penangkapan ikan dengan jadual yang tetap (seperti biasanya) karena pembesaran ikan kerapu tidak membutuhkan waktu yang banyak dalam pemeliharaannya. Hasil tangkapan yang kualitasnya bagus akan dijual dan selebihnya digunakan sebagai pakan. Pendapatan kelompok masyarakat menangkap ikan sekitar Rp 500 – Rp. 750 ribu perbulan. Untuk kegiatan pembesaran ikan lele di Tapteng mengalami perkembangan yang cukup pesat. Umumnya kelompok masyarakat mulai mengembangkan kegiatannya dengan menambah kolam yang tadinya hanya 1 unit sekarang menjadi 3 sampai 4 unit kolam dengan biaya sendiri. Investasi awal yang digunakan oleh setiap kelompok (1 KK) sekitar Rp. 3 juta. Dalam waktu 3 bulan, ikan peliharaan dipanen, dan dari panen diperoleh hasil rata-rata sebesar Rp. 400 – Rp. 600 ribu setiap unit kolam, sehingga dengan 3 unit kolam mereka memperoleh hasil rata-rata Rp. 1.200.000 – Rp. 1.600.000. Sebelum melakukan kegiatan pembesaran ikan lele anggota kelompok masyarakat memiliki aktifitas memancing dan berdagang dengan penghasilan rata-rata sebesar Rp. 600 ribu. Dengan adanya kegiatan pembesaran ikan lele ini, pendapatan kelompok masyarakat menjadi meningkat. Sementara kegiatan pembesaran kepiting bakau meskipun telah beberapa kali panen, tetapi hasilnya masih digunakan untuk pengadaan bibit dan pakan. Hal ini disebabkan karena kelompok masyarakat belum mampu meningkatkan kapasitas produksi. Beberapa faktor yang menyebabkan hasil panen tidak sesuai dengan perencanaan karena pencurian kepiting oleh monyet dan banyaknya kepiting yang lepas. Akan tetapi, kegiatan pembesaran kepiting bakau ini memiliki nilai lebih karena lokasi dan penataan tempatnya cukup baik, sehingga areal pembesaran dijadikan sebagai lokasi wisata dan edukasi bagi siswa sekolah. 
Berkembangnya kegiatan budidaya ikan kerapu di Batam dan budidaya ikan lele di Tapteng telah mampu mengispirasi masyarakat yang lainnya (di luar kelompok binaan COREMAP II) untuk mencoba bahkan menggeluti dengan lebih serius kegiatan budidaya ini secara swadaya (kemampuan sendiri). Kegagalan usaha yang selama ini menghantui masyarakat seakan sirna dan berganti dengan semangat serta keyakinan yang tinggi bahwa kegiatan budidaya ini akan memberikan keuntungan/manfaat yang besar bukan hanya secara ekonomi (pendapatan meningkat), tetapi juga akan memberikan jaminan kelestarian sumberdaya terumbu karang dan asosiasinya. Kelompok masyarakat di Pulau Mubud, Pulau Karas dan Pulau Abang secara kontinyu mengawasi serta menjaga lingkungan perairan agar terhindar dari pencemaran akibat tumpahan limbah kapal, rusak akibat praktek perikanan destruktif, sampah rumah tangga dan lain-lain, karena semuanya itu akan mengganggu kegiatan budidaya yang mereka lakukan. 
Tak berbeda dengan di wilayah barat, di wilayah timur terlaksana kegiatan budidaya yang cukup potensial seperti budidaya rumput laut di Kabupaten Biak Numfor, Buton, Sikka dan Wakatobi. Contohnya yang  telah dikembangkan oleh masyarakat di kawasan pulau Pai dan Nusi ,Kabupaten Biak sebagai mata pencaharian alternatif yang sangat digemari oleh masyarakat setempat. Hal ini  selain pemeliharaannya mudah, cepat panen juga ada yang menampung hasilnya. Selama ini masyarakat melakukan budidaya rumput laut hanya masih sebatas “pilot project” yang awalnya dibantu oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Biak.   Walaupun demikian masyarakat mulai bisa merasakan bahwa budidaya rumput laut ini cukup menjanjikan karena pasarnya sudah jelas.  Pada saat ini pengembangan rumput laut masih terbatas dari segi luasan maupun minat dan pengetahuan masyarakat akan budidaya rumput laut.  Oleh karena itu kedepan perlu penelitian yang lebih seksama pada daerah lain untuk pengembangannya yang secara lingkungan cukup potensial.  Kendala utama yang dihadapi masyarakat sekarang ini adalah masalah pengetahuan, sumber bibit dan modal awal.  Melalui program pengembangan mata pencaharian alternatif dalam pemngelolaan kawasan konservasi terumbu karang di wilayah COREMAP II, maka usaha ini bisa menjadi solusi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Salah satu kegiatan mata pencaharian alternatif yang dapat diandalkan di Kabupaten Raja Ampat adalah usaha ikan hidup di Kampung Manyaifun. Kegiatan ini dilakukan oleh Bapak Elias Maturuti. Kegiatan ini dilihat oleh pihak program cukup strategis untuk mengintervensi peminimalan cara tangkap yang tidak ramah lingkungan.  Melalui Pak Elias diminta untuk tidak membeli ikan dari nelayan yang melakukan penangkapan dengan cara yang tidak ramah dan ikut membantu menyampaikan pesan konservasi kepada para nelayan yang memasok ikan hidup. Adapun dana perolehan awal yaitu sebesar  Rp. 10.000.000,- di peruntukan penambahan modal pembelian ikan hidup terhadap masyarakat serta renovasi keramba penampung. Hal ini dirasakan sangat bermanfaat karena selama ini hanya mengandalkan modal sendiri yang jumlahnya pas-pasan sekarang telah terbantu dengan fasilitas yang mudah diakses serta mengerti kondisi obyektif di lapangan. Disamping itu adanya pembekalan secara informal yang dilakukan staf lapangan terhadap manajemen usaha yang baik sangat mempengaruhi jalanya usaha yang ditekuninya.
Kegiatan budidaya ikan hias dan ikan hidup  di Indonesia wilayah bagian Timur meskipun belum dimanfaatkan secara optimal, namun budidaya ini merupakan salah satu mata pencaharian alternatif di bagian zona perikanan berkelanjutan pada kawasan konservasi perairan yang potensial serta dapat membuat masyarakat pesisir untuk bersama-sama menjaga lingkungan ke arah yang lebih baik secara berkelanjutan. Selain di Kawasan Konservasi, kegiatan budidaya perikanan juga dilakukan di area pemanfaatan umum wilayah pesisir dan laut desa mereka. Oleh karena itu program COREMAP II II memfasilitasi masyarakat mengembangkan potensi ikan hias ini, salah satunya adalah di kabupaten Pangkep yang telah mampu menjalin jalur pemasaran dengan pihak eksportir di Jakarta. Sampai dengan tahun 2009, telah ada 3 kelompok nelayan di Pangkep dan 1 kelompok di Buton yang mengikuti program dan telah memiliki jaringan perdagangan dengan eksportir yang berstatus memiliki sertifikasi Marine Aquatic Council (MAC). Proses Sertifikasi untuk kedua lokasi dilaksanakan pada tahun 2010 lalu.
Kegiatan budidaya kepiting juga teah diupayakan di kawasan konservasi serta disekitar daerah perlindungan laut masyarakat pada lokasi program COREMAP II wilayah timur khususnya di Kab Biak dan Buton. Di Kabupaten Biak budidaya kepiting ini telah dicoba dan diusahakan oleh mayarakat kampung Mnurwar Distrik Oridek. Kegiata ini  cukup berhasil, namun kondisi prasarana pendukung seperti bahan keramba yang masih sederhana hanya menggunakan patok-patok bambu sehingga banyak kepiting yang akhirnya lolos.  Selain itu tingkat pengetahuan mereka tentang tehnik budidaya ini juga masih sangat terbatas.  Dari sisi pasar pada saat itu sudah terdapat permintaan secara kontinyu. Pengembangan budidaya ini belum optimal tetapi potensi usaha ini cukup besar. Ke depan budidaya ini perlu mendapat perhatian sebagai salah satu mata pencaharian alternatif yang cukup prospektif. Hal ini juga terjadi di Kabupaten Buton ,sehingga penguatan dan pengembangan dari berbagai pihak sangat dibutuhkan.
Dalam mendukung efektivitas pengelolaan kawasan konservasi, harapan ekonomi tak hanya berkembang di wilayah perairan dan sekitar kawasan konservasi saja. Usaha masyarakat di bidang perdagangan juga berkembang di beberapa wilayah COREMAP, salah satu contohnya di Raja Ampat. Perolehan dana alternative Income Generation ‘distrik Fund sejumlah Rp. 15.000.000,- telah merubah total kehidupan Bapak Ma Udin Kampung Yenwaupnor. Dengan bermodalkan semangat ingin membantu masyarakat kampung serta pengalaman kerja dagang kaki limanya di tambah dengan kepercayaan yang di berikan oleh petugas Lapangan Coremap II Kabupaten Raja Ampat, Bpk. Ma Udin dengan kiosnya telah dapat memenuhi kebutuhan masyarakat Kampung Yenwaupnor pada umunya dan dengan kiosnya pula Bpk. Ma Udin sekarang telah memperoleh Omzet Perbulan berkisar 15 Juta sampai dengan 25 juta perbulan dengan keuntungan bersih bisa mencapai 5 juta sebulan. Keberhasilan ini di peroleh dari pelayanan terhadap kebutuhan masyarakat yang berbanding lurus dengan kepentingan Bisnis. Selain kegiatan usaha kios Pak Ma Udin juga pembeli ikan asin dari masyarakat dengan memperhatikan harga yang saling menguntungkan dengan pihak penjual. Komitmen ini yang dipegang Pak Ma Udin untuk ikut mengembangkan ekonomi masyarakat setempat. Di desa Gerak Makmur kabupaten Buton juga telah berkembang kedai/warung yang menjual beberapa bahan pokok, mereka menyebutnya dengan ‘Kedai COREMAP’, kedai ini mampu menyuplai kebutuhan pokok masyarakat bahkan bahan bakar yang diperlukan oleh nelayan desa sekitarnya seperti desa Lapandewa Makmur, Burangasi, Lakaliba dan Lapandewa.
Tingkat partisipasi masyarakat yang tinggi untuk turut mengelola kawasan konservasi perairan yang dikelola pemerintah/pemerintah daerah di beberapa daerah sebagaimana dikemukakan tersebut,  jelas menganulir pernyataan pihak tertentu bahwa program konservasi terumbu karang yang dilakukan melalui program COREMAP membatasi akses nelayan tradisional dan mengabaikan kearifan lokal dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya laut. Pernyataan pihak dimaksud jelas tidak beralasan, contohnya di Wakatobi, dalam pelaksanaan COREMAP II, kolobarasi antara pemerintah daerah, masyarakat dan pengelola taman nasional Wakatobi berjalan dengan baik, masyarakat mempunyai ruang membuat DPL (Daerah Perlindungan Laut) di zona pemanfaatan tradisional Taman Nasional. Ada 28 DPL yang diinisiasi masyarakat di Wakatobi, kemudian secara keseluruhan lokasi program COREMAP II lebih dari 400 DPL telah diinisiasi dan dikelola oleh masyarakat lokal. Jadi tidak benar jika Masyarakat nelayan tidak dilibatkan dalam pembentukan pengelolaan konservasi wilayah pesisir. Proses pembentukan DPL-DPL di seluruh desa COREMAP II sejak awal diinisiasi masyarakat terlibat dan aktif berpartisipasi, proses identifikasi potensi desa, konsultasi publik, sampai pengesahan/penetapan oleh Desa seluruhnya berbasis masyarakat. Masyarakat secara partisipatif membuat peta/denah lokasi DPL, menyusun aturan pengelolaan yang kemudian dikukuhkan aturannya dalam Peraturan Desa (PERDES). Rencana pengelolaan terumbu karang (RPTK) yang merupakan petunjuk dan arahan bagi desa dalam mengelola DPL, disusun dan dibuat oleh masyarakat dengan dibantu oleh beberapa fasilitator.  DPL-DPL tersebut merupakan bagian “No Take Area” dari Kawasan Konservasi Perairan Kabupaten. Disamping itu, program COREMAP II telah memberikan perhatian khusus terhadap keberadaan Suku Bajo khususnya di wilayah Sulawesi Tenggara. Sebagai bagian proses pembelajaran, buku “Bajo Berumah di Laut Nusantara, telah diterbitkan oleh COREMAP II.
Beberapa penuturan cerita di atas, merupakan pembelajaran COREMAP II, dapat dilihat bahwa kegiatan-kegiatan mata pencaharian alternatif sangat penting dalam sebuah program yang mendorong perubahan perilaku masyarakat dalam memelihara alamnya serta mengelola kawasan konservasi terumbu karang yang lestari.  Para pelaku pencaharian alternatif ini dapat menjadi mitra pelaku konservasi, karena masyarakat akan memelihara alam jika mereka mendapat manfaat ekonomi dari alam itu. Sementara “Kedai COREMAP” tidak kalah membanggakan, karena kedai ini telah mampu menyuplai kebutuhan pokok masyarakat, bahkan bahan bakar untuk kebutuhan nelayan melaut. Berdasarkan paparan keberhasilan program mata pencaharian alternatif, maka pelibatan masyarakat sebagai mitra pelaku konservasi adalah upaya COREMAP untuk mengubah perilaku masyarakat dalam memelihara kelestarian ekosistem terumbu karang dan asosiasinya. Teramat jelas guratan asa alternatif ekonomi masyarakat lokal tergambar dari semangat dan upayanya melestarikan terumbu karang. Semoga upaya positif ini tetap terjaga untuk mewujudkan terumbu karang sehat, ikan berlimpah dan masyarakat yang sejahtera. (sji)
SURAJI
surajis.wordpress.com
http://suraji78.blogspot.com
http://suraji.s5.com
Kepala Seksi Perlindungan dan Pelestarian Kawasan
Head of Conservation Area Protection and Preservation
Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan, Ditjen KP3K - Kementerian Kelautan dan Perikanan
Directorate of Conservation Area and Fish Species, Directorate General of Marine, Coasts and Small Islands, Ministry of Marine Affairs and Fisheries. 
Jl. Medan Merdeka Timur No. 16, Gd. Mina Bahari III lt. 10 Jakarta Pusat. T./F. +62 21-3522045

GAMBARAN SOSIAL EKOMONI MASYARAKAT PESISIR DESA COREMAP II KABUPATEN BUTON

Oleh: Ma'ruf Kasim, PhD

PENDAHULUAN
Keberhasilan Coremap salah satunya dipengaruhi oleh kesesuaian desain program dengan permasalahan, potensi dan aspirasi masyarakat. Untuk merancang program yang sesuai dengan permasalahan dan potensi daerah serta mempertimbangkan aspirasi masyarakat diperlukan data base sosial-ekonomi yang berkaitan dengan pemanfaatan terumbu karang. Di samping dapat digunakan sebagai masukan dalam mendisain program, data base aspek sosial-ekonomi terumbu karang juga penting untuk melakukan evaluasi keberhasilan program. Data base sosial-ekonomi ini merupakan titik awal yang menggambarkan kondisi sosial-ekonomi masyarakat sebelum dan sesudah program/intervensi Coremap dilakukan.
Kabupaten Buton yang merupakan salah satu daerah yang ditunjuk oleh pemerintah pusat dalam pelaksanaan kegiatan Coremap Fase II. Dalam implementasi program Coremap II Kabupaten Buton yang telah dilaksanakan meliputi; penguatan kapasitas kelembagaan, pengembangan masyarakat melalui kegiatan pelatihan, sosialisasi, dan kegiatan lain. Sedangkan untuk kegiatan pembangunan di bidang sarana prasarana, pihak Coremap II telah memberikan bantuan berupa dana Block Grant pada masing-masing desa di wilayah program. Begitu pula halnya dengan pengembangan di bidang ekonomi, pihak Coremap II telah meluncurkan dana AIG dan Seed Fund. Hal ini dimaksudkan untuk membantu masyarakat dalam meningkatkan pendapatannya dengan tidak merusak lingkungan pesisir.

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT
Hasil analisis survei pada 11 Kecamatan Wilayah coremmap II dan tersebar pada 20 Desa/Kelurahan memperlihatkan bahwa, masyarakat yang bergerak sektor nelayan tradisional mempunyai tingkat pendidikan relatih rendah yaitu tidak tamat SD sampai dengan SD sebanyak 76,93% serta yang berpendidikan SLTP sampai SLTA sebanyak 23,03%. Dari informasi data tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa kualitas sumberdaya manusia yang bergerak pada sektor ini masih relatif rendah.

Penghasilan nelayan tradisional berkisar antara Rp. 562.500 sampai Rp. 1.300.000. Kecamatan yang memberikan konstribusi penghasilan nelayan tradisional tertinggi adalah kecamatan Mawasangka Timur yaitu Desa Lasori dengan konstribusi penghasilan rata-rata Rp. 1.300.000/bln, sedangkan Kecamatan yang memberikan konstribusi penghasilan nelayan yang terendah adalah kecamatan Kadatua yaitu sebesar Rp. 425.000.
Jika diamati lebih jauh, ternyata yang dapat memberikan peningkatan penghasilan nelayan tradisional pada wilayah Coremmap II Kabupaten Buton adalah kombinasi mata pencaharian nelayan tradional dengan budidaya rumput laut, disusul kombinasi mata pencaharian berdagang dan bahkan pada sektor mata pencaharian alternatif budidaya rumput laut dan berdagang memberikan konstribusi yang lebih baik jika dibadingkan dengan mata pencaharian utama yaitu sebagai nelayan tradisional.

Nelayan pembudidaya adalah nelayan yang melaksanakan aktifitasnya pada sektor perikanan dalam artian, mereka melaksanakan kegiatan usaha budidaya perikanan dalam rangka memenuhi kebutuhan bagi dirinya dan keluarganya. Berdasarkan hasil analisis kuesioner pada 11 kecamatan yang tersebar pada 20 Kelurahan/Desa dalam wilayah coremmap II kabupaten Buton, ternyata aktifitas nelayan pembudidaya di daerah ini terbagi dalam dua jenis komoditi budidaya yaitu komoditi rumput laut dan karamba.

Kegiatan budidaya akan memberikan konstribusi penghasilan yang baik, manakala usaha tersebut dilaksanakan dalam bentuk skala usaha dan manakala kegiatan budidaya dilaksanakan dalam skala kecil, maka tidak memberikan konstribusi yang signifikan bagi nelayan pembudidaya terwsebut. Tingkat penghasilan nelayan pembudidaya berkisar antara Rp. 582.500,- sampai Rp. 1.667.500,-. Tingkat penghasilan nelayan pembudidaya yang tertinggi terkonsentrasi di kecamatan Lasalimu Selatan dan terendah terkonsentrasi di kecamatan Kadatua. Rendahnya tingkat penghasilan nelayan di kecamatan Kadatua, kemungkinan disebabkan oleh; (1) rumput laut yang dibudidayakan bukan berada dalam usaha, (2) mata pencaharian alternatif (MPA) dalam hal ini memancing tidak memberikan konstribusi yang signifikan terhadap penghasilan kepala keluarga, (3) lokasi penanaman rumput laut, tidak cocok/layak untuk budidaya rumput laut, (4) tingkat sdm yang rendah.
Program coremmap II di kabupaten Buton, memberikan solusi terhadap permasalahan modal yang dihadapi oleh nelayan selama ini. Program coremmap II kabupaten Buton berkonstribusi terhadap peminjaman modal yaitu sebesar 38,10%, P2KP (4,26%), penampung (9,52%), dan PPK (4,76%). Hasil survei juga menunjukkan bahwa terjadi; penigkatan penghasilan (57,14%), tetap (23,81%), dan turun (19,05%) dibandingkan dengan tahun 2007. ini sangat beralasan karena pada tahun 2008 terjadi peningkatan harga rumput laut yang sangat signifikan dibanding dengan tahun lalu. Dari tingkat penghasilan tersebut ternyata yang dipergunakan menabung sebanyak 28,57% dan digunakan untuk konsumsi dan sekolah sebesar 71,47%.

Mata pencaharian alternatif masyarakat pesisir Kabupaten Buton adalah mata pencaharian diluar mata pencaharian utama. kategorisasi daripada mata pencaharian alternatif adalah waktu yang dipergunakan lebih sedikit dicurahkan jika dibandingkan dengan mata pencaharian utama. Namun kadang secara tidak sadar kadang mata pencaharian alternatif ini ternayata memberikan konstribusi pendapatan yang lebih tinggi jika dikomparasikan dengan mata pencaharian utama.

Data hasil survei dari 11 kecamatan yang tersebar dalam 20 desa/kelurahan pada wilayah coremmap kabupaten terlihat bahwa isteri maupun anak-anak masyarakat pesisir pada wilayah coremmap II kabupaten Buton turut memberikan partisipasinya dalam rangka membantu penghasilan/pendapatan dalam keluarga. Pelibatan anak atau isteri yang paling dominan adalah pada sektor budidaya rumput laut. Pelibatan mereka ini tidak lain adalaj semata-mata menopang pendapatan/penghasilan keluarga, disamping kesibukan tersebut ternayata ada isteri mereka melaksanakan kegiatan lain seperti tenun dan usaha membuka warung yang mendatangkan penghasilan tersendiri.

Rata-rata penghasilan/pendapatan MPA yang tertinggi adalah terkonsentrasi pada nelayan modern, diikuti secara berturut-turut; nelayan pembudidaya, petani, dan nelayan tradisional. Seperti pada ulasan di atas bahwa nelayan modern mempunyai kemampuan modal investasi yang cukup, sehingga sangat memungkinkan untuk melaksanakan aktifitas kegiatan usaha atau MPA, misalnya pada sektor budidaya rumput laut dan tentunya kegiatan usaha rumput laut tersbut akan lebih besar jika dibandingkan dengan; nelayan tradisional, pembudidaya, dan petani
(Data dan Informasi Coremap II Buton)

sumber: http://marufkasim.blog.com/2011/06/26/gambaran-sosial-ekomoni-masyarakat-pesisir

Konservasi Kawasan Akomodasi Kepentingan Nelayan

Jakarta, Harian Nusantara - Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tetap akan mengakomodasi kepentingan nelayan terkait dengan upaya mengelola sumberdaya pesisir, laut dan pulau-pulau kecil. Kepentingan nelayan tidak dikurangi dengan penerapan sistem zonasi (pemanfaatan tata ruang) untuk kawasan konservasi demi kelestarian, kelangsungan sumber daya ikan. “Jadi semuanya clear, nelayan ada di situ (pengelolaan kawasan konservasi). Kita ingin alam (laut) lestari. Masyarakat, nelayan masih boleh memanfaatkan laut, tapi dengan pengaturan,” Agus Dermawan, Direktur Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan (KKJI) KKP mengatakan kepada Harian Nusantara (3/8).
 
Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia, dengan 17.504 pulau. Potensi ekonomi kelautan sangat besar, yang meliputi lahan budidaya (12,4 juta hektar), perikanan tangkap (6,8 juta ton), cadangan minyak bumi (9,1 milyar barel), cekungan minyak dan gas/migas sampai 70 persen. Potensi tersebut akan memberi manfaat kalau dibarengi dengan pengembangan konservasi sumber daya ikan, wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Sehingga upaya perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan secara berkelanjutan mutlak diberlakukan. “Masyarakat, termasuk LSM (lembaga swadaya masyarakat) harus bisa membedakan pemanfaatan kawasan konservasi dan di luar konservasi. Ada perbedaannya.”
KKP melihat bahwa peraturan yang ada sudah memayungi inisiasi masyarakat lokal, masyarakat adat dan tradisional dalam konteks hukum nasional. Peraturan Menteri (Permen) No. 17/2008 sudah mengakomodasi kepentingan masyarakat lokal. Kategori Kawasan Konservasi Maritim (KKM) terdiri dari dua, yaitu perlindungan adat maritim dan perlindungan budaya maritim. “Jadi criteria, kategori tersebut dibentuk untuk melindungi kearifan lokal dan masyarakat adat yang berlaku. Budaya maritime untuk menginisiasi berbagai hal yang sudah dilakukan oleh masyarakat adat. Payung hukumnya, yaitu Undang Undang (UU No. 27 Tahun 2007) yang memberi kekuatan pada level adat dan tradisional.”
Hal lain yang esensial dari pengelolaan kawasan konservasi yaitu pengubahan paradigma, dari yang lama menjadi baru. Domain kawasan konservasi dulunya di bawah otoritas Kementerian Kehutanan (Kemenhut). Paradigma tersebut berkembang karena domain nya territorial. Sekarang, paradigmanya harus berkembang ke domainwilayah perairan. Sehingga KKP merasa perlu membangun kawasan konservasi yang dibarengi dengan pengelolaan sumberdaya pesisir, laut dan pulau-pulau kecilnya. “Kami berpijak pada kepentingan pengembangan ini (wilayah perairan).”
Paradigma lama, yang domain nya territorial rawan konflik, terutama yang terkait dengan kepentingan nelayan dan masyarakat pesisir. Nelayan, ibaratnya dikalahkan oleh kepentingan lain karena domain dan paradigmanya berorientasi pada territorial. “Karena rejim yang lama, terbukti bahwa nelayan kita dikalahkan.”
Sehingga UU No. 27/2007, seketika diterbitkan, sudah mulai meninggalkan strategi lama pengelolaan kawasan konservasi. Nelayan dan masyarakat lokal secara turun temurun hidup dan mencari nafkah di kawasan tersebut. Semuanya menjadi satu kawasan terpadu, dan tidakimaginary mengenai berbagai hal terkait dengan upaya mengonservasi kawasan. “UU No. 27/2007 dan UU mengenai Perikanan (No. 31 Tahun 2004) sudah mengakomodasi dan mengatur berbagai kepentingan nelayan sehingga tidak tubrukan dengan kepentingan sector lain, seperti wisata bahari, perhubungan dan lain sebagainya. Kawasan konservasi hanya sebatas pengaturan pengelolaan yang berdasarkan kaidah dan prinsip konservasi. Tidak ada upaya mengesampingkan kepentingan nelayan. Jadi semuanya sudahclear.”
Masyarakat adat yang men-declare kawasan konservasi hanya terikat dengan sanksi hukum adat kalau memang terjadi pelanggaran. Sehingga seorang pelanggar yang bukan berasal dari daerah yang sudah di-declaresebagai kawasan konservasi, tidak bisa dikenakan sanksi hukum adat. Sebaliknya, pelaku pelanggaran tersebut diberi sanksi sesuai dengan hukum nasional Indonesia. “Misalkan pelakunya berasal dari Jakarta, dia tidak bisa dikenakan sanksi hukum adat di kawasan yang sudah mengonservasi. Tetapi kalau pelakunya berasal dari daerah tersebut, ada kesepakatan yang diberlakukan untuk menjaga kelestarian lingkungan. Hal ini tidak bertentangan dengan hukum nasional.”
Di sisi lain, kawasan konservasi sempat di-declare, mencakup 10 persen dari representasi ekosistem esensial yaitu mangrove, terumbu karang, padang lamun. Pemerintah menyangupi deklarasi tersebut, karena memang pernah dibicarakan di berbagai forum internasional. Usulan dan permintaan internasional, sesungguhnya bukan suatu masalah. Kawasan konservasi diperluas bukan masalah bagi Pemerintah Indonesia. Tetapi (perluasan) bukannya lebih baik, karena semakin besar kawasan konservasi, semakin mengurangi aktivitas nelayan untuk menangkap ikan. “Logikanya, kalau kawasan konservasi lebih besar daripada areal penangkapan ikan, kesempatan menangkap ikan berkurang. Sehingga kajian kami, kawasan konservasi perairan tetap harus mendukung kelestarian sumber daya perikanan, tapi juga menjamin kepentingan nelayan, masyarakat pesisir.”
Perhitungan usulan 10 persen dari keseluruhan luasan wilayah perairan Indonesia yang dikonservasi, setara dengan 31 juta hektar. Karena luas keseluruhan wilayah perairan Indonesia mencapai sekitar 310 juta hektar. Sehingga kalau ketentuan konservasi 10 persen, berarti luas kawasan (yang dikonservasi) menjadi sekitar 31 juta hektar. Sementara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam forum COP-CBD di Brazil tahun 2006 berkomitmen pada pengelolaan kawasan konservasi perairan seluas 20 juta hektar pada tahun 2020. “Jumlah 20 juta hektar lebih kecil dibanding usulan 31 juta hektar. Kita masih memproses agar bisa menjangkau (31 juta hektar). Tetapi kalau kita mau realistis, 20 juta hektar sudah ideal untuk mendukung kelestarian sumberdaya ikan. Karena kegiatan konservasi juga membutuhkan pendanaan, kelembagaan yang efektif dan perekonomian rakyat, termasuk masyarakat pesisir serta nelayan.” (Liu)

Pelajar dan Mahasiswa Bersihkan Pantai Tanjung Bira

12 08 2013 pantai tanjung bira
Ikatan Pelajar Mahasiswa Bulukumba Komisariat Bontobahari (IPMAH Bontobahari) membersihkan Pantai Tanjung Bira, Kab. Bulukumba Sulawesi Selatan, Minggu (11/08/2013). FOTO : IPMAH Bontobahari.

BULUKUMBA, KabarKampus—Pantai Tanjung Bira memiliki lansekap alam yang indah. Pantai ini selalu menjadi tujuan wisatawan domestik dan mancanegara. Namun sayang pantai yang indah ini sering kotor akibat ulah wisatawan yang tak mau menjaga kebersihan pantai.
Kondisi inilah yang membuat Ikatan Pelajar Mahasiswa Bulukumba Komisariat Bontobahari atau yang biasa disingkat IPMAH Bontobahari bekerja sama kerukunan Pelajar Mahasiswa Bira (KPMB-Bira) dan Kerukunan Pelajar Mahasiswa Ara-Lembanna (KEPMA Ara-Lembanna), untuk membersihkan Pantai Tanjung Bira.
Sekitar 50 orang terdiri dari pelajar dan mahasiswa melaksanakan kegiatan yang mengusung tema “Mari Bersama Peduli Kebersihan Pantai” pada hari Minggu, 11 Agustus 2013. Selain mengumpulkan sampah yang berserakan mereka juga memberikan informasi kepada pengunjung untuk turut menjaga kebersihan pantai.
Generasi muda ini pun membawa poster yang berisi ajakan memelihara Pantai Tanjung Bira.
“Untunglah para wisatawan juga ikut terlibat dalam kegiatan ini,” ujar Nirwan Klaners, ketua panitia kegiatan. Menurut Nirwan kegiatan ini bertujuan meningkatkan kesadaran para wisatawan untuk menjaga kelestarian Pantai Tanjung Bira yang indah. Ia dan rekan-rekannya berharap anugerah Tuhan berupa pantai indah di Sulawesi Selatan tepatnya di Kabupaten Bulukumba ini dapat terus terjaga.
Pantai Tanjung Bira adalah salah satu pantai terindah yang dimiliki Indonesia. Di pantai ini pasirnya putih berkilau. Sementara air lautnya bening. Warga Sulawesi Selatan sering mengunjungi pantai bila musim liburan atau hari-hari besar. Bahkan wisatawan mancanegara pun sering terlihat menghabiskan waktunya di pantai ini.
Bagaimana kondisi wisata alam di tempat kaka? [] 

http://kabarkampus.com/2013/08/pelajar-dan-mahasiswa-bersihkan-pantai-tanjung-bira/

Indonesia, Salah Satu Pembunuh Hiu Terbesar di Dunia

Indonesia adalah salah satu negara penangkap ikan hiu terbesar di dunia saat ini. Hal ini terungkap dalam laporan yang disampaikan oleh lembaga TRAFFIC yang melakukan pemantauan terhadap perdagangan satwa liar dunia. Pernyataan TRAFFIC ini keluar menyusul adanya permintaan dari Uni Eropa yang saat ini tengah menyusun upaya perlindungan bagi tujuh spesies hiu dan manta.
Hiu yang mati setelah dipotong siripnya. Foto: Nancy Boucha
 Hiu yang mati setelah dipotong siripnya. Foto: Nancy Boucha
Selain Indonesia, India juga menjadi negara terbesar pembunuh hiu secara gobal. Kedua negara ini menyumbangkan lebih dari seperlima kebutuhan daging dan sirip hiu untuk kebutuhan ekspor. Selain kedua negara tersebut, 18 negara lain yang juga tercatat sebagai pembunuh hiu terbesar di dunia adalah Spanyol, Taiwan, Argentina, Mexico, Amerika Serikat, Malaysia, Pakistan, Brasil, Jepang, Perancis, Selandia Baru, Thailand, Portugal, Nigeria, Iran, Sri Lanka, Korea Selatan dan Yaman.
Negara-negara Uni Eropa sendiri saat ini memang tengah menindaklanjuti hasil dari Pertemuan CITES bulan Maret silam di Bangkok, Thailand yang mengumumkan tujuh spesies hiu dan manta yang dilindungi. Regulasi ini akan diterapkan mulai bulan September 2014 tahun depan untuk memberikan kesempatan kepada negara-negara anggota Uni Eropa untuk menentukan sejauh apa tingkat keberlanjutanyang masih bisa ditoleransi dalam perdagangan spesies-spesies ini dan memberikan kesempatan bagi industri perikanan mereka untuk beradaptasi dengan regulasi baru ini.
Ikan Hiu adalah jenis satwa yang mengalami pertumbuhan lambar dan perkembangbiakan yang jarang. Hilangnya hiu diyakini oleh para pakar akan merusak keseimbangan ekosistem kelautan di dunia, dan menyebabkan ledakan jumlah ubur-ubur. Beberapa jenis hiu, banyak ditangkap di perairan secara tidak sengaja, namun melihat nilai dagang sirip dan daging hiu, maka biasanya nelayan justru membunuhnya untuk dijual.
Sumber: SharkSaver
Sumber: SharkSaver
“Kunci untuk mengimplementasikan aturan CITES adalah dengan memberikan standarisasi rantai perdagangan yang jelas untuk membantu penegakan hukum dan melakukan verifikasi bahwa penangkapan ini adalah sesuatu yang ilegal,” ungkap salah satu penulis laporan ini, Victoria Mundy-Taylor.
Ketujuh spesies yang dilindungi lewat aturan CITES adalah whitetip shark, porbeagle shark, tiga spesies hiu martil, serta dua spesies ikan pari manta, yang semuanya sudah masuk kategori terancam di dalam Daftar Merah IUCN. Ketujuh spesies ini masuk dalam Appendix II di dalam peraturan CITES, dimana satwa ini masuk dalam kategori terancam akibat perdagangan atau bisa menjadi terancam tanpa adanya kontrol dan pengawasan yang ketat.

Penulis : Oleh Aji Wihardandi,  July 31, 2013
http://www.mongabay.co.id/2013/07/31/indonesia-salah-satu-pembunuh-hiu-terbesar-di-dunia/?fanpagefb