Rabu, 03 September 2008

SAATNYA KABUPATEN/KOTA MENATA PESISIR

Laju kerusakan hutan bakau diduga sekitar 200.000 hektar per tahun di berbagai wilayah; terutama di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, dan Jawa (LIPI,2008). Di Jawa sudah hampir habis, namun demikian masih saja terjadi alih fungsi lahan kawasan bakau; terutama untuk pertambakan, permukiman, bahkan kawasan industri. Luasan yang fantastis ini akan merusak kelestarian lingkungan hidup bagi sumberdaya hayati pesisir termasuk biota di dalamnya. Dengan meningkatnya kerusakan tersebut; sementara tahun 1993 luas hutan bakau 2,49 juta hektar; oleh para peneliti LIPI saat ini dinyatakan tinggal 1,2 juta hektar; satu pekerjaan rumah semua pihak guna mengamankan hutan mangrove yang merupakan bagian wilayah pesisir yang rentan kerusakan di negeri ini.

Alih fungsi lahan pesisir

Rokhmin Dahuri yang mantan Menteri Kelautan dan Perikanan tahun 2004 pernah mengatakan pembangunan pesisir di Indonesia berada di persimpangan jalan (at the cross road). Satu sisi menghadapi wilayah pesisir yang padat penduduk, sedangkan sisi lain dinamika pembangunan sedemikian intensif, seperti terjadi di pantai utara Jawa, Bali, pesisir antara Balikpapan dan Bontang di Kalimantan Timur; demikian pula halnya di Sulawesi Selatan. Di wilayah ini kapasitas keberlanjutan dari banyak ekosistem terancam oleh pola pembangunan yang unsustainable development (tidak berkelanjutan) akibat i pencemaran, erosi degradasi fisik habitat pesisir, eksploitasi berlebihan terhadap sumber daya alam, dan juga konflik penggunaan ruang maupun sumber daya.

Kasus alih fungsi hutan mangrove di Banyuasin Sumatera Selatan berubah menjadi Pelabuhan Tanjung Api-api misalnya; menuai masalah suap beberapa waktu lalu cukup memprihatinkan. Tetapi yang lebih memprihatinkan lagi sebenarnya adalah alih fungsi akan dibarengi perubahan lingkungan/ekosistem mangrove yang kaya sumber daya hayati. Dampak negatif yang kurang diantisipasi oleh pembuat kebijakan, bagaimana alih fungsi menjadi kurang menguntungkan untuk generasi mendatang akibat degradasi kondisi lingkungan yang ujung-ujungnya produktifitas sumber daya hayati menurun? Keadaan seperti ini apa merupakan gejala kepedulian terhadap lingkungan pesisir belum membumi di kalangan pemangku kepentingan? Sebenarnya tidak perlu terjadi jika pemerintah propinsi/kabupaten/kota mempunyai legalitas tata ruang wilayah yang ditaati semua pihak. Tetapi kenyataan menunjukkan bahwasanya yang sudah adapun sering “dilanggar” hanya untuk kepentingan sesaat, sehingga banjir pasang laut terjadi dimana-mana akibat pemanfaatan dan penataan pesisir yang tidak rasional.

Disisi lain, secara emperis ada keterkaitan ekologis; hubungan fungsional antar habitat ekosistem pesisir dengan lahan di atasnya maupun laut lepas. Perubahan yang terjadi pada suatu ekosistem pesisir; seperti mangrove misalnya; maka cepat atau lambat mempengaruhi ekosistem lainnya. Demikian pula halnya dengan pengelolaan lahan di atas (daerah aliran sungai/DAS) jika tidak dilakukan secara arif dan berwawasan lingkungan dampak negatifnya akan merusak tatanan dan fungsi ekologis kawasan pesisir. Secara ekologis-ekonomis pun pemanfaatan kawasan pesisir secara mono culture atau single use sangat rentan terhadap perubahan internal/eksternal yang menjurus kegagalan; karena tidak ada kesimbangan lingkungan. Sebagai contoh misalnya pembangunan tambak udang pantura Jawa sejak tahun 1982 mengonversi hampir semua kawasan pesisir termasuk mangrove menjadi lahan pertambakan, lalu apa yang terjadi ? Tidak lain adalah peledakan wabah Monodon baculo virus (MBV); dan tambak terserang penyakit yang merugikan; alhasil petambak bangkrut sebagai akibat ambisinya menikmati daya dukung alami secara tidak terbatas. Ganjalan lainnya terkait rusak parahnya pesisir timbul ancaman akan kepunahan sejumlah satwa langka. Pantauan para ahli menyatakan bahwasanya kerusakan serius yang terjadi di kawasan lindung pesisir tempat tinggal sejumlah satwa langka, seperti elang laut, babi hutan, biawak, berbagai jenis burung kicau, ikan pesut dll akan mengurangi dan bahkan memusnahkan aset biologi yang bermanfaat bagi manusia.

Salah satu syarat yang secara ekologis menjamin pembangunan berkelanjutan, keharmonisan spasial (spatial sustainability); maka didalam suatu wilayah tidak seluruhnya digunakan untuk zona pemanfaatan; tetapi harus dialokasikan untuk zona preservasi dan konservasi. Keberadaan zona preservasi dan konservasi di suatu wilayah pembangunan sangat penting dalam memelihara berbagai proses penunjang kehidupan seperti siklus hidrologi dan unsur hara, membersihkan limbah secara alamiah dan sebagai sumber keanekaragaman hayati (biodiversity). Sesuai kondisi alamiah zona preservasi maupun konservasi yang optimal dalam suatu kawasan pembangunan berkelanjutan sebaiknya antara 30%-50% dari luas total. Kemudian zona pemanfaatan sebaiknya ditetapkan pada lokasi dengan kondisi fisik yang sesuai sehingga membentuk suatu mozaik yang harmonis; tanpa mengganggu keseimbangan lingkungannya.

Ada kasus alih fungsi lahan yang melibatkan sejumlah anggota DPR, lalu muncul persoalan kerusakan ratusan hektar hutan bakau habitat berbagai satwa yang kini sudah tergolong langka seharusnya menjadi pelajaran agar kita tidak menunda-nunda lagi menata pesisir secara konsekuen; “better late than never” dari pada tidak berbuat sama sekali. Kadangkala pembuat kebijakan lupa arti pentingnya “mengamankan” sumberdaya pesisir, sehingga pemanfaatannya menjadi tidak terkendali; ujung-ujungnya kerusakan lingkungan yang parah menjadi penyebab bencana alam dan bencana ekonoimi masyarakat pesisir. Bagamana pun upaya menata pesisir yang baik merupakan faktor kunci terwujudnya pembangunan berkelanjutan masa sekarang dan yang akan datang.

Menata pesisir, perlu legalitas

Wilayah pesisir sebagaimana tercantum dalam UU No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil; Pasal 1 Angka 2 : “Wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem di darat dan di laut”; kearah laut sampai batas 12 mil laut, sedangkan di darat sebatas kecamatan pesisir. Supaya pembangunan kawasan pesisir bisa langgeng berkelanjutan; maka perlu ada pemintakatan (zonasi) yang tepat dalam mengalokasikan ruang, memilah kegiatan sinergis, dan pengendaliannya. Dengan pemintakatan berarti wilayah pesisir menjadi zona sesuai peruntukannya, kegiatan yang saling mendukung (compatible) serta memisahkannya dari kegiatan yang saling bertentangan (incompatible). Dari itu pemintakatan harus memperhatikan : pertama, mempertimbangkan kebijakan pemerintah pusat/daerah, kepentingan masyarakat, dan hak-hak ulayat; kedua, bio-ekoregion karena wilayah pesisir dibentuk oleh sub-ekosistem yang saling berkaitan; ketiga, persepsi masyarakat yang hidup di sekitar ekosistem, berkaitan dengan konteks histori pemanfaatan sumberdaya hayati masa lampau sampai saat ini serta implikasinya terhadap keberlanjutan sumberdaya.

Pemintakatan wilayah pesisir tentu saja harus mempedomani peraturan perundangn yang ada dan saling berkaitan; seperti UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, UU No.31 Tahun 2004 tentang Perikanan, UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang telah disempurnakan menjadi UU No. 12 Tahun 2008 dlsb. Dengan demikian pemintakatan tersebut menjadi produk hukum yang benar-benar menganut peruntukan yang sesuai dan dominan di wilayah pesisir. Agar supaya mengikat semua stakeholders, maka perlu ada “pernyataan pemintakatan” berupa legalitas yang rasional, misalnya dalam bentuk peraturan daerah (Perda) Kabupaten/Kota yang berwibawa dan konsisten; serta dibarengi “penanaman etika pembangunan berkelanjutan” melalui sentuhan nilai-nilai sosial budaya dan keagamaan.

Dalam upaya menata pesisir masa depan, Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi. Jawa Timur sudah mengulur “pancing” berupa kegiatan proyek tata ruang pesisir atau bentuk lain, seperti dilakukan di Kabupaten-kabupaten Situbondo, Tuban, Probolinggo Pacitan, , Banyuwangi dll. Kiranya hasil tata ruang tersebut perlu ditindak lanjuti secara positif oleh Pemerintah Kabupaten/Kota pantai dengan menyusun rancangan peraturan daerah sebagai embrio peraturan daerah (Perda) yang mantap dan konsisten dalam pelaksanaannya. Keberadaan perda tersebut akan membentengi dari perbuatan tangan-tangan jahil yang tidak bertanggung jawab dalam memanfaatkan sumberdaya pesiri demi keuntungan yang hanya sesaat bagi kelompoknya. Dalam hal ini Pemerintah Kabupaten/Kota Kawasan Pesisir, jangan hanya memprioritaskan Perda penghasil PAD saja; tetapi hasilkan Perda yang mensejahterakan masyarakat; seperti halnya Perda penataan pesisir, yang berfungsi sebagai “tabungan potensi pembangunan” demi masa depan bangsa.

Kini saatnya para pimpinan daerah kawasan pantai menunjukkan prestasinya mengangkat harkat hidup nelayan dan masyarakat pesisir dengan mewujudkan penataan ruang pesisir yang bertanggung jawab sesuai kaidah hukum di Indonesia maupun internasional seperti tercantum di dalam Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF). Dan kepada para Anggota Dewan, senyampang masih ada kesempatan satu tahun tunjukkan karya mulia bersama Bupati/Walikota Kawasan Pesisir menyusun dan sekaligus mengsahkan peraturan daerah tentang tata ruang pesisir demi anak cucu kita.

(Sumber : Djoko Tribawono, Ikatan Sarjana Perikanan Indonesia (ISPIKANI) Jatim Dosen Tidak Tetap PS Budidaya Perairan FKH-UNAIR Pemerhati Hukum/Peraturan Perikanan-Kelautan Tinggal di Surabaya. Anggota Forum Illegal Fishing Indonesia).

Tidak ada komentar: