Sabtu, 05 Juli 2008

IUU FISHING ANTARA DUA PILIHAN

ILLEGAL FISHING ANTARA DUA PILIHAN

Maraknya illegal fishing menimbulkan kerugian secara ekonomi, lingkungan hidup, bahkan harga diri kita sebagai bangsa bahari; masih saja terjadi yang berdampak meresahkan nelayan local/tradisional.

PROSES hukum terhadap mereka yang melakukan pelanggaran tetap berjalan namun demikian manfaatnya pada pemerintah belum seperti diharapkan. Menyikapi kondisi semacam ini Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi saat kunjungan kerja ke pontianak baru-baru ini membuka wacana akan kemungkinan adanya peluang perubahan Undang-Undang Perikanan; sebagai ungkapan keprihatinan pemerintah terhadap illegal fishing nan tak kunjung henti.

Pengadilan Perikanan

UU nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan mengandung muatan spesifik pelaksanaan penegakan hukum bidang perikanan untuk mendorong percepatan dinamika pembangunan yang menganut azas pengelolaan perikanan bertanggung jawab (respon sible fisheries). Dengan undang-undang ini makin memberi kejelasan dan kepastian penegakan hukum atas tindak pidana bidang perikanan, dari itu perlu metode penegakan hukum yang bersifat spesifik pula yakni dengan pembentukan pengadilan perikanan di lingkungan peradilan umum; yang untuk pertama kalinya sesuai undang-undang dibentuk di lingkungan pengadilan Jakarta Utama, Medan,Pontianak, Bitung dan Tual.

Bab XIII Peangadilan Perikanan; khususnya Pasal 71 Ayat (1) menyatakan : “ Dengan Undang-Undang ini dibentuk pengadilan perikanan yang berwenang memerikasa, mengadili, dan memutuskan tindak pidana di bidang perikanan” merupakan indicator keseriusan pemerintah menangani pelanggaran perikanan . Ini menuntutn kesiapan penegak hukum Penyidik Pegawai Negeri Sipil ( PPNS ), Perwira TNI AL, dan Pejabat PORLI berkoordinasi lebih intens lagi menangani tindak pidana dibidang perikanan. Pengadilan perikanan bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus tindak pidana di bidang perikanan oleh majelis hakim terdiri atas 1 (satu) hakim karier pengadilan negeri dan 2 (dua) orang hakim ad hoc. Semua sudah dalam Bab XV Ketentuan Pidana; termasuk denda seperti tercantum pada Pasal 84 – 105; bahwa setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan RI melakukan penangkapan ikan menggunakan bahan kimia, bahan biologis,bahan peledak, alat/cara yang dapat merugikan/membahayakan kelestarian sumber daya ikan daya/atau lingkungannya pidana dengan hukuman penjara maupun di denda. Termasuk nahkoda kapal, ahli penangkapan, dan anak buah kapal; demikian pula dengan pemilik kapal perikanan, penanggung jawab perusahaan perikanan maupun operator kapal.

Signal berupa rambu hukum yang ada ternyata tidak menyurutkan langkah pelaku illegal fishing “pencuri ikan” dan berusaha menghindari jeratan hukum dengan segala macam cara. Sebagai Negara “ kurban illegal fishing Indonesia perlu melakukan kajian khusus dan segera menerbitkan peraturan yang dapat dipedomani dalam penyelesaian masalah yang bersinggungan dengan illegal fishing.

Illegal fishing

Illegal fishing dikenal dengan Illegal, Unregulated Fishing (IUU Fishing) tidak hanya terjadi di Indonesia saja; beberapa neraga kawasan Asia Pasifik mengakui bahwa IUU Fishing menjadi musuh yang harus diberantas demi usaha perikanan berkelanjutan. Upaya mengatasi bisa di implementasikan dengan inisiasi bentuk kerjasama bilateral antara Negara dalam rangka pengawasan perikanan:misalnya,kerja sama RI dengan Australia ,Philipina ,dan Thailan. Hal ini dimaksudkan supanya ada kesamaan persepsi antara Negara guna mengatasi berbagai masalah menyangkut illegal fishing. Pola kerjasama semacam ini sebagai implementasi Regional Plan of Action (RPOA) yang disepakati 10 (sepuluh) Negara pada saat Ministerial Meeting di Bali beberapa waktu lalu;dalam rangka “mendorong tumbuh berkembangnya responsible fishing practices”. Akibat maraknya illegal fishing Indonesia mengalami kerugian + Rp 30 triliun per tahun (demersal 2008); perhitungan tersebut didasari asumsi bahwasanya hasil curian sekitar 25% dari stock assessment ikan atau sebesar 1,6 juta ton; jika harga ikan rata-rata 2 dolar per kilogram, nilai tersebut merupakan angka yang sangat fantastik. Tidak salah kalau Departemen Kelautan dan Perikanan (DPK) kebakaran jenggot akibat ulah illegal fishing oleh nelayan asing, khawatir sumber daya ikan terkuras habis, dan sisi lain target Pendapatan Negara Bukan Pajak tidak terpenuhi. Oleh karena itu upaya menekan illegal fishing terus menerus dilakukan utamanya di perairan yang selama ini sangat rawan; yaitu Laut Arafura, perairan Natuna, dan Perairan Utama Sulawesi Utara; ternyata menuai hasil yang cukup menggembirakan.

Bulan Maret lalu operasi Gurita IV Bakorkamla di perairan Laut Aru dan Laut Arafura sukses menangkap konvoi armada 7 (tujuh) kapal Cina dengan bobot rata-rata 300 GT. Nampaknya kejahatan pencurian ikan semacam ini terorganisir dengan rapi, mereka hafal betul potensi sumber daya ikan kawasan perairan laut yang dijarah; jadi illegal fishing sudah berlangsung lama.

Perairan ZEE Indonesia di Laut Natuna dan Laut Cina Selatan juga menjadi target illegal fishing, terbukti akhir-akhir ini DKP menangkap 6 (enam) kapal Cina tanpa melengkapi dokumen dan 11 (sebelas) kappa lasal Vietnam ; hal ini membuktikan keseriusan aparat pengawasan melakukan tugas diatas keberbatasan prasarana dan sarana yang tersedia.

Pemerintah sudah membentuk kelembagaan pengawasan, tetap berupaya meningkatkan pengawasan terpadu (DKP, TNI, AL, POLRI), bahkan juga melibatkan kelompok masyarakat dengan SISWASMAS (system pengawasan masyarakat);tetapi mengapa illegal fishing terus berlanjut? Pemerintah perlu segera mencari dan mengeluarkan jurus mematikan guna menanggulangi maraknya illegal fishing.

Tenggelamkan saja?

Australia, salah satu negara yang “menghalalkan” kapal asing pencuri ikan di wilayah perairannya ditenggelamkan; mungkinkah dilakukan di Republik Indonesia? Jawabnya bias “ya” atau “tidak” karena ada “dua kubu” beda pendapat berkaitan munculnya ide “menenggelamkan kapal” di negeri ini. Kapal asing yang terbukti melakukan tindak pencurian ikan di perairan Indonesia tidak bisa begitu saja ditenggelamkan di tempat; karena belum ada paying hukum yang melindungi dan menguatkan tindak seperti itu; kecuali jika ada kearifan local atau hukum adat yang membolehkannya.

Tindakan menenggelamkan kapal akan membuat effek jera pelaku illegal fishing; kalaupun ini merupakan jalan terbaik yang harus ditempuh, maka semua awak kapal harus dievakuasi supaya tidak melanggar HAM.

Memang menenggelamkan kapal adalah salah satu pilihan langkah yang mudah dan tidak bertele-tele; mengingat proses hukum kadang berlarut-larut dan putusannya pun tidak optimal. Sisi lain menariknya kepelabuhan terdekat perlu biaya tidk sedikit; tambahan lagi selama proses pengadilan pun juga membutuhkan biaya pemeliharaan. Tetapi yang penting bahwa penegakan hukum harus dilakukuan melalui proses yang procedural dan membuat mereka jera.

Seperti apa yang dikatakan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan patut digunakan sebagai acuan; yaitu “sangat tepat bahwa tindakan hukum apapun terhadap illegal fishing sesuai putusan pengadilan; kapal tersebut bisa disita dan di manfaatkan nelayan”. Andaikan aturan membolehkan penenggelaman, tetap ada dua pilihan; yakni kapal yang tidak layak laut sebaiknya langsung ditenggelamkan karena membebani negara.

Ke depan bangkai berfungsi sebagai sarang/ tempat berlindung ikan, untuk pemulihan populasi jenis ikan dasar yang nilainya tinggi. Sedangkan kapal yang masih layak dan berteknologi maju, itulah yang hrus diselamatkan dan dimanfaatkan; tentu saja diperlukan ketersediaan SDM handal dan bisa mengoperasikan kapal yang disita.

Kiranya masih ada kesempatan bagi para pembuat kebijakan kalangan legislatif dan eksekutif menghasilkan kebijakan terbaik untuk bangsa dan negara,sebelum berakhir masa tugasnya. Nelaya membutuhkan perlindungan hukum menghadapi persaingan dengan nelayan asing yang meramba perairan Nusantara dan menguras sumberdaya ikan secara tanpa batas

Walaupun harus merubah UU Perikanan sebagai langkha terakhir membela nelayan, mengapa tidak..? yang penting perubahan Undang-Undang harus tepat sasaran,jangan sampai menimbulkan biaya tinggi dengan sarat kepentingan/KKN karena pada gilirannya akan menambah sibuk KPK yang lagi gencar memeriksa kasus suap dan korupsi.Siapa tahu lahirnya peraturan perundangan penangkal ellegal fishing membela nelayan kecil justru berdampak positif para anggota legislatif.Dengan citra peduli rakyat kecil berarti peluang untuk di pilih lagi dalam pemilu 2009

Djoko Tribawono Pensiunan PNS Pengurus ikatan Sarjana Perikanan Indonesia (Ispikani), Jawa Timur, Dosen Tidak tetap PS Budidaya Perairan FKH – Unair Bermukim di Surabaya.

Pengirim : Mukhtar, A.Pi

Kepala Satker PSDKP Kendari

http://mukhtar-api.blogspot.com

www.p2sdkpkendari.com

Tidak ada komentar: