Senin, 07 Juli 2008

HP3 VERSUS NELAYAN

Banyak pihak mencemaskan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) memangkas kehidupan nelayan, benarkan hal itu akan terjadi ?

Berlakunya UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (PWP3K) bagi sebagian orang menuai kontroversi. Ada yang positive thinking tetapi ada juga tanggapan bahwa undang-undang tersebut mengancam posisi nelayan yang hidup disepangjang pantai.

Pemicu tidak lain adalah Pasal 16 ; bahwa “ pemamfaatan wilayah perairan pesisir diberikan dalam bentuk HP3 ” yang selanjutnya Pasal 19 menyatakan bahwa HP3 diberikan dalam jangka waktu 20 tahun bahwa bisa diperpanjang. Bayang- bayang Fatamorgana seperti ini menciutkan nyali masyarakat pesisir/ nelayan yang semakin khawatir lebih termarginalkan. Timbulya rasa khawatir seperti itu kiranya tidak keliru karena fakta membuktikan bahwa sampai saat ini banyak kawasan pesisir “ dipagari pemodal besar “ menjadi objek wisata, pemukiman, bahwa industri yang sama sekali tidak boleh “ disentuh masyarakat local “ padahal disitu mereka dilahirkan; satu hal yang sangat ironos.

Marilah kita mencoba menelusuri rasa kekhawatiranya sambil memikirkan jalan keluar dalam mengantisifasi tumbuh dan berkembang “ pagar-pagar baru “ lain; dengan tanpa munganulir undang-undang ini, yang proses pembuatannya menelan biaya yang tidak sedikit.

Keberadaan Undang-Undang Pesisir

Hakikat NKRI sebagai negara hukum, pengembangan system Pengelolaan Wilayah Pesisir Kecil adalah sebagai bangian pembangunan yang berkelanjutan yang berwawasan lingkungan; untuk itu harus ada dasar hukum yang jelas, tegas, dan menyeluruh guna menjamin kepastian hukum pengelolaan wilayah pesisiryang rentan kerusakan akibat ulah manusia yang memanfaatkannya secara tidak terkendali. Walaupun sudah didukung oleh peraturan perundang-undangan ; ternyata akumulasi kegiatan eksploitasi parsial/sektoral atau dampak kegiatan dikawasan hulu wilayah pesisir sering menimbulkan kerusakan sumberdaya pesisir.

Sistem pengelolaan pesisir selama ini belum mampu mengeliminasi factor-faktor penyebab kerusakan dan belum memberi kesempatan sumberdaya hayati pulih kembali secara alami. Dengan keunikan ekosistemnya, maka wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil menjadi rentan konflik;selain itu dengan akses pemanfaatan yang belum dikelola secara optimal maka dampak aktivitas manusia menjadi tidak terkendali; dalam kaitan ini sebagian wilayah pesisir harus diperthankan untuk konservasi. Karena itu keberadaan UU Nomor 27 Tahun 2007 sangat strategis berkaitan dengan tumbuh dan berkembangnya usaha perikanan berkelanjutan; sebagaimana dipedomankan dalam FAO Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) demi generasi mendatang.

Ruang Lingkup Undang-Undang PWP3K diberlakukan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang meliputi daerah pertemuan antara pengaruh perairan dan daratan, ke arah daratan mencangkup wilayah administrasi kecamatan dan ke arah perairan laut sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan. Lingkup pengaturannya meliputi perencanaan, pengelolaan, serta pengawasan dan pengendalian, ditempuh dan melalui pendekatan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulaukecil terpadu (Integrated Coastal Management). Artinya mengintegrasikan berbagai sector dan daerah sehingga terwujud keharmonisan dan saling penguatan pemanfaatan, memberi arah pemanfaatan berkelanjutan yang pada gilirannya mengharmonisasikan kepentingan pembangunan ekonomi dengan pelestarian sumberdaya pesisir dengan tetap memperhatikan karakteristik dan keunikan wilayah.

Undang-Undang dijadikan sebagai acuan dan landasan pembangunan wilayah pesisir dengan demikian, dapat dihindarkan terjadinya tumpang tindih wewenang dan benturan kepentingan, yang secara operasional dituangkan dalam jejaring perencanaan meliputi (a) Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil (RSWP-3-K); merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari rencana pembangunan jangka panjang setiap Perintah Daerah. (b) Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang (RZWP-3-K) merupakan arahan pemanfaatan sumberdaya Di Wilayah Pesisir dan Pulau- pulau Kecil pemerintah provinsi dan / atau pemrintah kabupaten / kota. (c) Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RPWP-3-K); dan (d) Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RAWP-3-K).

Kegiatan perencanaan, pemanfaatan, pengawasan dan pengendalian terhadap iteraksi manusia dalam memanfaatan sumber daya berkelanjutan didalam kerangka NKRI; pelaksanaanya dilakukan dengan mengintegrasikan kegiatan : (a) antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah ; (b) antara Pemerintah Daerah ; (c) antar sektor ; (d) antara Pemerintah, dunia usaha, dan Masyarakat; (e) Antara Ekosistem darat dan Ekosistem laut; (f) antara ilmu pengetahuan dan prinsip-prinsip manajemen.

Pemanfaatan perairan pesisir diberikan dalam bentuk Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3). Meliputi Pengusahaan atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut; yang diberikan dalam luasan dan waktu tertentu pemberian HP-3 wajib mempertimbangkan kepentingan kelestraian ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil, masyarakat adat, dan kepentingan nasional serta hak lintas damai bagi kapal asing. HP-3 dapat diberikan kepada : (a) Orang perseorangan warga negara Indonesia; (b) Badan hukum yang dididirikan berdasarkan hukum Indonesia ; (c) Masyarakat Adat.

Tatanan sudah jelas bahwa pengelolaan wilayah pesisir terbuka untuk semua lapisan, apakah kelompok pemodal besar yang dominan menguasai kawasan, ataukah nelayan kecil/ masyarakat adapt yang puluhan tahun sudah bermukim disitu. Dengan adanya batasan seperti itu, jangan sampailah mereka yang bermiukimlebih dulu, terpinggirkan oleh kepentingan segelintir orang yang berniat menangguk keuntungan melalui HP-3 yang dimilikinya. Lalu bagaimana dengan posisi nelayan kecil yang selama ini setatusnya masih sebagai kelompok termarginalkan ? Mampuhkah mereka berhadapan dengan pemodal besar yang menghalalkan segala cara memperoleh hak pengelolaan, tanpa memikirkan nasib nelayan/ masyarakat pesisir ?

Manfaatkan Forum Mitra Bahari

UU PWP3K meberi kepastian dan perlindungan hukum untuk memperbaiki kemakmuran, menjalin akses dan hak-hak masyarakat pesisir termasuk dunia pengusaha. Asas peranserta masyarakat mengandung makna membuka peluang bagi masyarakat berperan dalam perencanaan, pelaksanaan, bahkan sampai pengawasan dan pengendalianya (community based management). Ini ditunjang dengan adanya peluang masyarakat memiliki kesempatan untuk tahu kebijakan pemerintah; selain itu terbukanya Representasi suara masyarakat ikut menentukan putusan kebijakan sebenarnya cukup strategis didalam pengelolaan sumberdaya pesisir secara rasional dan berkelanjutan; ujung-ujungnya melindungi masyarakat pesisir

Ketentuan menetabkan bahwa pemberian HP-3 wajib mempertimbangkan kepentingan kelestarian ekosistem pesisir, masyarkat adat maupun kepentingan nasional. Rambu-rambu semacam ini menunjukan bahwa arah pengelolaannya bermuara pada upaya penyelamatan masyarakat pesisir dari dampak kesewenangan –wenangan penetapan HP3. Apabila penetapan HP3 dibuat rancu unrtuk maksud tertentu; maka pada gilirannya secar sadar atau tidak; sertifikat yang terbitkan jelas merugikan keberadaan nelayan disepanjang pantai.

Dalam Pasal 41 mengisyaratkan adanya Forum Mitra Bahari yang dibentuk sebagai upaya peningkatan kapasitas pemangku kepentingan pengelolaan wilayah pesisir. Mitra Bahari merupakan forum kerja sama pemerintah, pemerintah daerah, perguruan tinggi, lembaga suadaya masyarakat, organisasi profesi , dan tokoh masyarakat termasuk dunia usaha. Kegiatannya difokuskan pada bentuk pendampingan/penyuluhan, pendidikan/pelatihan, penelitian terapan, termasuk rekomendasi kebijakan. Artinya forum mempunyai beban moral dan harus bertanggung jawab mengeliminasi dampak negative kehadiran HP3 bagi masyarakat pesisir/nelayan dikawasan tertentu. Bisakah merek berperan optimal dan objektif memberi sumbangan saran menetapkan pengelolaan pesisir diwilayahnya secara objektif ? Kita butuh insan-insan idealis yang mempunyai komitmen tinggi guna mengangkat harkat hidup dan kesejahteraan masyarakat pesisir.

Sekarang tinggal kemauan dan niat baik semua pihak yang terkait penetapan HP3 maupaun para pemangku kepentingan, karena aturan main sudah ada; berupa rambu-rambu hukum; dan ini bias dipakai sebagai pedoman. Apabila objektifitas tetap digunakan sebagai “iming-iming” yang ujungnya berdampak menyesatkan dalam menentukan ketetapan sertifikat HP3, niscaya masyarakat pesisir/nelayan masih bisa terselamatkan dari dampak negatifnya. Minimal mereka mempunyai kebanggaan karena bias menjadi “ tuan dirumahnya sendiri “ bukan malah sebaliknya justru menjadi “ orang asing ditanah kelahirannya

Semua terpulang kepada para punggawa negara yang punya kewenangan dalam pemberian HP3; apakah mereka tetap konsisten dengan meningkatkan kesejahtraan nelayan/ masyarakat pesisir ? Atau sebaliknya mereka silau tawaran penanam modal yang ingin memperoleh HP3 demi keuntungan kelopoknya ? kalau semua pihak terkait termaksut didalamnya Forum Mitra Bahari, tetap disiplin, sadar dan taat hukum menerapkan undang-undang maka HP3 versus Nelayan bukan menjadi fakta yang “ mematikan nelayan “ tetapi justru menjadi sebaliknya yaitu mensinergikan hak pengelolaan perairan pesisir dengan kesinambungan usaha nelayan

Djoko Tribawono Anggota Ikatan Sarjana Perikanan Indonesia (Ispikani) Jawa Timur Pemerhati Hukum / Peraturan Perikanan. Bermukim di Suranaya.

Pengirim : Mukhtar, A.Pi

Kepala Satker PSDKP Kendari

http://mukhtar-api.blogspot.com

www.p2sdkpkendari.com

Tidak ada komentar: