Jumat, 25 Juli 2008

BBM NAIK, KAPAL IKAN ASING MERAJALELA

Oleh : Muhamad Karim

Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim

Kenaikan bahan bakar minyak (BBM) hampir 30 % berdampak pada sektor perikanan karena kapal asing semakin merajalela. Terbukti, pada akhir Mei 2008 kapal pengawasan berhasil menangkap 15 unit kapal asing di perairan Kepulauan Natuna. Bahkan, nelayan dari pantai selatan Jawa di Kabupaten Cianjur melaporkan maraknya kapal – kapal modern berbendera asing menangkap ikan dengan pukat harimau di perairan itu. Kedua peristiwa ini berlangsung pasca kenaikan BBM. Bukankah semuanya akan semakin menghancurkan sumberdaya perikanan kita? Apa penyebabnya dan kebijakan yang semestinya dilakukan?

Penyebab

Merajalelanya pencurian ikan pasca kenaikan BBM karena, pertama, armada perikaan rakyat maupun nasional praktis menghentikan aktivitasnya. Sebab, selain pasokan BBM terbatas dan dibatasi pembeliannya. Juga, biaya operasional penangkapan meningkat 30 – 40 % (termasuk BBM, makan dan minuman).

Kedua, armada perikanan skala besar mengalihkan wilayah penangkapannya ke wilayah pesisir demi menghemat BBM. Padahal, perairan pesisir sudah mengalami tangkap lebih (over exploitation). Akibatnya, mengancam sumber kehidupan nelayan tradisional. Juga, berpotensi menimbulkan konflik karena penyerobotan wilayah perikanan tradisional. Kasus semacam ini sudah terjadi di perairan pantai selatan Jawa khususnya daerah sekitar Kabupaten Cianjur. Nelayan tradisonal di daerah itu menemukan kapal-kapal asing bertonase besar dan berbendera asing menangkap ikan di perairan itu.

Ketiga, tidak adanya insentif pemerintah yang dapat menyelamatkan perikanan nasional yang amat bergantung pada ketersediaan BBM yang memadai. Umpamanya, mengapa pemerintah tidak memberikan subsidi khusus bagi nelayan? Padahal nelayan di negara-negara Uni Eropa semacam Belgia, Perancis justru menuntut subsidi BBM.

Keempat, kapal pengawas milik Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) dan patroli TNI AL juga menggunakan BBM. Praktis kenaikan BBM juga mengurangi aktivitas pengawasannya..

Kelima, kapal asing yang mencuri ikan di perairan Indonesia menggunakan BBM yang disubsidi oleh negaranya seperti China, Vietnam, Thailand, Filipina, dan Malaysia.

Wajar saja kapal asing merajalela mencuri ikan di perairan Indonesia. Kondisi ini berdampak luas karena sumberdaya kita akan terkuras habis dan kontribusi sektor perikanan akan menurun drastis.

Kebijakan

Maraknya pencurian ikan pasca kenaikan BBM tidak bisa dibiarkan begitu saja. Pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan yang jelas agar stok sumberdaya perikanan nasional tidak terkuras habis dan aktivitas armada perikanan nasional tetap beroperasi. Kebijakannya; pertama, pemerintah memberikan insentif berupa subsidi khusus BBM bagi nelayan sehingga armada perikanan nasional tetap beroperasi. Mengapa? Sebab, komponen biaya terbesar dalam operasional penangkapan adalah BBM. Amat mustahil dengan harga BBM sekarang, armada perikanan nasional beroperasi normal. Hal serupa juga dapat diberikan pada kapal pengawasan, agar tetap beroperasi. Semestinya, nilai subsidi sektor perikanan 5,74 triliun (35 %). Angka ini berdasarkan (i) asumsi kenaikan harga BBM dunia sebesar (US$ 120/barrel) atau US$ 0,75 (75 sen) per liter dan kenaikan rata-rata biaya operasional. Jika dikonversi dalam rupiah (kurs tengah Rp 9.323), maka harga BBM sebesar 12,3 juta kilo liter untuk kebutuhan perikanan mencapai Rp 16,40 triliun. Bila subsidinya 35 %, harga BBM untuk perikanan semestinya Rp 4.575 per liter. Mengapa pemerintah tidak berani memberikan insentif ini? Padahal China, Vietnam, Thailand, Filipina, dan Malaysia melakukannya yang kapalnya mencuri ikan di perairan kita.

Kedua, pemerintah mengembangkan teknologi penangkapan ikan yang mampu menghemat penggunaan BBM. Umpamanya, mengembangkan (i) rumpon sehingga tidak perlu beroperasi berhari-hari mencari fishing ground ikan untuk menangkap ikan; dan (ii) budidaya perikanan laut (marine culture) berbasis ekosistem terumbu karang yang dinamakan sea farming yang memanfaatkan terumbu karang cincin (atol). Keduanya akan mengefisienkan penggunaan BBM, karena tidak perlu mengarungi lautan terlalu lama dan jauh. Cukup menangkap ikan di rumpon dan memanen ikan di karang atol.

Ketiga, mengembangkan pengawasan rakyat semesta berbasis penduduk yang bermukim di pulau - pulau kecil perbatasan (PPKB) dan wilayah pesisir serta pulau kecil yang berdekatan dengan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI). Pemerintah dapat memberikan pelatihan bagi mereka mengenai pemantauan kapal asing. Pemerintah juga memberi dukungan infrastruktur pengawasan misalnya Geographic Positioning System (GPS), kompas dan radar. Tak hanya itu. Dalam pengawasan ini perlu memberdayakan kearifan lokal masyarakat yang mampu membaca tanda-tanda alam, sehingga mendukung proses pengawasan. Hal ini penting karena perubahan cuaca, arus dan gelombang di lautan kerapkali sulit diprediksi. Apalagi perairan tersebut mengalami dinamika oseanografinya yang dinamis seperti perairan Aru, Arafura, Sulawesi bagian utara, Laut Cina Selatan dan Laut Banda.

Keempat, memberikan insentif dalam bentuk kompensasi kesehatan dan pendidikan bagi anak - anak nelayan tradisional yang orangtuanya berhasil melindungi fishing ground ikan dan ekosistem khas (misal; terumbu karang dan mangrove) secara mandiri. Pola ini selain meningkatkan produktivitas perikanan di suatu daerah. Juga, meningkatkan kualitas kesehatan dan pendidikan anak nelayan yang bermukim di desa-desa pesisir.

Kelima, nelayan tradisional yang sukses mengelola dan melindungi fishing ground dan ekosistem khas secara mandiri, asetnya dinilai dalam bentuk saham. Pola ini merupakan cara mengkonsolidasikan nelayan tradisional (fish folk consolidation) agar memiliki hak akses dan aset atas sumberdaya kelautan secara berdaulat. Kongkritnya, model ini dapat diaplikasikan pada sistem rumpon dan Sea farming. Mengapa harus demikian? Sebab, selama ini pola-pola daerah perlindungan maupun konservasi laut belum memberikan hak akses dan kepemilikan aset kepada nelayan tradisional. Justru yang terjadi dalam UU No. 27 Tahun 2007 perairan pesisir diprivatisasi yang ujung-ujungnya menguntungkan pemilik modal saja. Model ini juga praktis menghemat BBM, karena mereka cukup datang dan menangkap ikan di wilayah yang dia kelola secara mandiri. Bisa saja ia menggunakan perahu motor tempel maupun perahu layar. Model ini pada gilirannya akan menciptakan kedaulatan nelayan atas sumberdaya pesisir, tanpa direcoki pemilik modal.

Pelbagai kebijakan yang diuraikan dalam artikel ini akan tidak sekadar mampu melindungi serbuan kapal asing yang mencuri ikan di perairan Indonesia. Melainkan akan meningkatkan produktivitas dan pendapatan nelayan tradisional sehingga keluar dari jeratan kemiskinan.

Tidak ada komentar: