Sabtu, 28 Juni 2008

NELAYAN-NELAYAN INDONESIA MENGGUGAT AUSTRALIA

NELAYAN-NELAYAN INDONESIA MENGGUGAT AUSTRALIA

"Berani karena benar!" Sikap itulah yang memompa semangat juang La Bara, nakhoda kapal ikan Indonesia "Kembar Jaya", untuk mendapatkan kembali keadilan yang hilang setelah kapal patroli Australia menangkap perahunya 25 Maret silam.

Kapal patroli Australia itu menangkap kapalnya saat masih berada di perairan yang ia yakini penuh sebagai wilayah jurisdiksi Indonesia.

Penangkapan tersebut tidak hanya telah memisahkan dia dari sanak keluarganya, tetapi juga telah membuatnya kehilangan kapal yang sudah menjadi rumpon di dasar laut Arafura, potensi pendapatan, modal penangkapan, waktu, dan mata pencaharian.

Untuk kepentingan perjuangannya itu, sesaat sebelum dipulangkan oleh otoritas Australia ke Indonesia via Kupang 29 April lalu setelah lebih dari sebulan mendekam di Pusat Penahanan (Detention Centre) Darwin dan mengikuti proses pengadilan, ia menguasakan gugatan ganti ruginya kepada pemerintah federal Australia itu kepada pengacara setempat.

Pengacara yang berkenan membantunya adalah Colin McDonald. Sepenggal kisah hidup La Bara mencari keadilan di Australia itu terungkap dalam perbincangan ANTARA dengan sang pengacara dan Konsul RI di Darwin, Harbangan Napitupulu.

Colin McDonald mengatakan, pihaknya berupaya memperjuangkan tuntutan ganti rugi La Bara kepada pemerintah federal karena ia merasa ditangkap di dalam wilayah Indonesia.

"La Bara sudah memberikan kuasa hukum kepada saya dan dia mengatakan bahwa dia ditangkap di perairan Indonesia dan dibawa ke Darwin bersama (empat) awak kapalnya, sedangkan kapalnya sudah dihancurkan di laut," katanya.

Pengacara yang berkantor di Darwin, ibukota negara bagian Northern Territory (NT) itu, bertekad memperjuangkan tuntutan pembayaran kompensasi bagi La Bara di pengadilan.

Pihak pengadilan, katanya, sudah meminta pemerintah federal untuk memelihara dan menyerahkan perangkat "Global Positioning System" (GPS) kapal "Kembar Jaya" sebagai barang bukti hukum ke pengadilan federal.

Bersama seorang saksi ahli, McDonald mengatakan, pihaknya akan membaca data GPS guna membuktikan benar tidaknya klaim La Bara bahwa dia masih berada di perairan Indonesia saat ditangkap kapal patroli Australia.

Jika rekaman data GPS menunjukkan koordinat posisi kapalnya mendukung klaimnya, pihaknya akan melanjutkan penuntutan ganti rugi bagi La Bara, katanya.

Colin McDonald enggan menyebutkan total nilai kompensasi kerugian yang ia coba perjuangkan untuk nelayan asal Pulau Buton, Sulawesi Selatan itu.

Namun di antara elemen yang masuk dalam kompensasi tersebut adalah kerugian atas kehilangan pendapatan, mata pencaharian, kapal, dan waktu akibat penangkapan tersebut.

Perjuangan La Bara yang dipulangkan menyusul pendeportasian empat anak buah kapal (ABK)-nya ini juga mendapat dukungan moril Konsul RI di Darwin,Harbangan Napitupulu.

Untuk kepentingan proses hukum penuntutannya, pihak konsulat sempat mengupayakan La Bara mendapat izin otoritas Australia untuk tetap berada di Darwin supaya dia bisa leluasa memperjuangkan keyakinan dan haknya secara hukum namun pihak pengadilan setempat tidak setuju kalau dia lebih lama berada di pusat penahanan Darwin.

Untungnya dia telah memberi kuasa hukum kepada biro bantuan hukum yang bekerja sama dengan Colin McDonald, pengacara senior Australia yang selama ini menaruh perhatian besar pada Indonesia dan nasib nelayan Indonesia, untuk melakukan penuntutan,katanya.

Hanya saja, seperti nasib kapal-kapal nelayan Indonesia lain yang terbuat dari bahan kayu, kapal La Bara pun langsung dibakar di perairan di mana ia ditangkap setelah nakhoda dan para ABK-nya dinaikkan ke kapal patroli Australia.

Pembakaran terhadap perahu-perahu nelayan Indonesia yang berbahan kayu itu dilakukan otoritas Australia atas pertimbangan kepentingan "karantina" namun perangkat GPS perahu "Kembar Jaya" masih berada di tangan pihak terkait di Australia, katanya.

La Bara bukanlah satu-satunya nelayan Indonesia yang kini menggugat perihal penangkapan kapalnya oleh kapal patroli Australia di perairan utara yang membatasi wilayah kedua negara.

Rasa penasaran dan gugatan terhadap lokasi penangkapan oleh kapal-kapal patroli Australia itu juga datang dari para nelayan Indonesia yang kini ditahan di Darwin, khususnya mereka yang ditangkap pada 24 hingga 26 April lalu.

"Sekarang ini ada kecenderungan kapal-kapal nelayan kita ditangkap di wilayah 'seabed line' (garis bentang perairan laut) Australia tapi nelayan-nelayan kita umumnya masih merasa berada di dalam perairan kita," kata Napitupulu.

Dalam kasus 14 kapal yang ditangkap dalam waktu tiga hari April lalu itu, Napitupulu mengatakan, tampaknya ada kebingungan dan ketidaktahuan para nelayan Indonesia mengenai kejelasan batas perairan yang masih membolehkan mereka menangkap ikan padahal mereka umumnya sudah melaut selama puluhan tahun di perairan yang sama.

"Sepertinya ada ketidaktahuan nelayan-nelayan kita mengenai kejelasan batas mana mereka boleh menangkap ikan padahal nelayan-nelayan kita itu sudah puluhan tahun melaut dan dulu tidak ada masalah. Kenapa sekarang jadi masalah?" katanya mengutip pengakuan sejumlah nelayan yang ditahan.

"Ini kecenderungan penangkapan (pihak Australia) yang agak mengherankan," katanya.

Kemungkinan kapal patroli Australia melakukan penangkapan saat perahu atau kapal nelayan Indonesia masih berada di dalam perairan jurisdiksi Indonesia tetap terbuka.

Bahkan, menurut Napitupulu, sudah ada nelayan Indonesia yang berhasil memenangkan gugatan pada pemerintah federal Australia sampai dia mendapatkan pembayaran ganti rugi.


Kasus-kasus 2004

Dalam masalah ini, beberapa kasus penangkapan tahun 2004 yang kemudian memunculkan pertanyaan pihak Indonesia kepada Australia memperkuat argumentasi tentang tetap terbukanya kemungkinan kapal-kapal patroli Australia melakukan pelanggaran.

Pada masa itu, gugatan terhadap Australia dilayangkan oleh para nakhoda kapal "Nurius", "Sari Jaya", "Tidak Baik", dan "Teguh Kaya Abadi".

Kapal Nelayan "Nurius" dengan nakhoda, George Elis, menurut catatan Konsulat RI Darwin, ditangkap di posisi 9.47-371 S dan 129.16-102 E. Kapal Nelayan "Sari Jaya" yang dinakhodai, Lukman, ditangkap di posisi 9.47-371 S dan 129.16-102 E.

Kapal "Tidak Baik" yang dinakhodai Benoni ditangkap pada posisi 10.01-800 S dan 128.56-300 E, dan Kapal Nelayan "Teguh Kaya Abadi" dengan kapten, Antonius Tan, ditangkap saat berada di perairan Indonesia dengan posisi 10.28-500 S dan 128.11-060 E.

Berdasarkan data GPS dari masing-masing kapal itu, Konsulat RI Darwin menemukan kebenaran atas klaim para nakhoda kapal nelayan yang ditangkap dengan menempatkan posisi masing-masing kapal sesuai dengan data perangkat GPS.

Nota diplomatik untuk meminta klarifikasi tentang posisi masing-masing kapal pun dilayangkan Indonesia ke Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia di Canberra.

Sebelum berdiri fasilitas pusat penahanan (detention center), para nelayan Indonesia yang tertangkap dan kapalnya ditarik ke Darwin pada tahun 2004-2005 umumnya ditahan di atas kapal kayu mereka bersama dengan hasil tangkapan yang membusuk.

Namun mereka mendapatkan perlakuan yang manusiawi dengan menerima jatah bahan pangan dan pengobatan jika sakit dari otoritas terkait Australia.

Bagi Australia, kehadiran kapal-kapal nelayan asing, khususnya asal Indonesia, di perairannya untuk menangkap ikan secara tidak sah atau mencari jenis-jenis biota laut yang dilindungi, seperti teripang, adalah masalah yang sudah berjalan bertahun-tahun.

Pada 2005 misalnya, Australia dilaporkan menahan sebanyak 280 kapal ikan dan menyita 327 perahu nelayan Indonesia karena menangkap ikan secara tidak sah (illegal fishing) di perairan utaranya.

Mantan Menteri Perikanan Australia, Senator Ian Macdonald, mengatakan, jumlah kapal nelayan Indonesia yang ditangkap selama 2005 itu meningkat lebih dari 100 persen dari tahun 2004.

Untuk melindungi kekayaan laut Australia dari praktik "illegal fishing" itu, pemerintah federal di era Perdana Menteri John Howard pun pernah menggelontorkan dana sebesar 603 juta dolar Australia untuk menekan tingkat pencurian ikan di wilayahnya.

Upaya itu, menurut Eric Abetz (menteri perikanan terakhir di era Howard) dalam sebuah pernyataan persnya tahun 2007, telah membantu menurunkan jumlah kasus penangkapan ikan secara ilegal di perairan utara Australia hingga 90 persen.

Sepanjang 2007, menurut catatan Konsulat RI Darwin, ada sebanyak 980 orang nelayan yang merupakan awak dari 119 kapal ikan Indonesia ditangkap dan ditahan di pusat penahanan Darwin atau jumlahnya turun drastis dari tahun-tahun sebelumnya.

Siapa sebenarnya para nelayan Indonesia yang sering tertangkap itu? Konsulat RI Darwin mencatat bahwa mereka umumnya adalah nelayan-nelayan kecil asal Indonesia timur, seperti Buton, Flores, dan Merauke, namun ada juga kapal-kapal kayu berukuran lebih besar dan dilengkapi GPS.

Di antara para nelayan kecil itu ada yang menangkap ikan secara ilegal di perairan Australia untuk mencari sirip ikan hiu tapi ada juga yang kedapatan menangkap teripang.

Bagi kapal-kapal kayu yang lebih besar dan dilengkapi GPS itu, ada di antaranya yang berasal dari Probolinggo, Jawa Timur. Mereka masuk ke wilayah Australia untuk mencari ikan kakap merah.

Teguh Wiweko, diplomat senior Indonesia yang sering menangani masalah nelayan Indonesia dan sempat beberapa kali ditemui ANTARA saat ia masih bertugas di Konsulat RI Darwin, melihat setidaknya ada dua faktor pendorong nelayan-nelayan Indonesia terpaksa "melaut" ke Australia.

Kedua faktor itu adalah kehadiran kapal-kapal pukat harimau (trawl) asing yang menjarahi kekayaan laut Nusantara serta dampak negatif pemakaian bom ikan oleh sementara pihak di perairan Indonesia. Keduanya menyebabkan nelayan-nelayan kecil semakin kesulitan mencari sumber perikanan yang sesuai dengan kemampuan tangkap mereka.

Disamping itu, ada pula faktor warisan budaya dan kesejarahan yang hidup secara turun-temurun di kalangan nelayan tradisional di kawasan timur Indonesia. Sejak nenek moyang mereka dulu, mereka biasa menangkap ikan hingga ke pulau-pulau terluar Australia.

Hak tradisional para nelayan Indonesia itu hingga kini tetap diakui sekalipun makna kata "tradisional" masih dipahami Australia sebatas perahu-perahu dayung atau berlayar dan tanpa dilengkapi mesin apalagi GPS.

Australia tampaknya sengaja mengabaikan faktor perkembangan teknologi kebaharian dan alat tangkap untuk mereduksi hak tradisional para nelayan Indonesia di wilayah-wilayah yang diatur dalam kesepakatan dua negara yang dikenal dengan "MoU Box 1974".

Sesuai dengan Kesepakatan kedua negara mengenai akses nelayan tradisional Indonesia ke Ashmore Islands (gugusan pulau karang) pada November 1974 itu, Australia tetap mengizinkan nelayan tradisional Indonesia berlabuh guna mengambil air tawar dan mencari ikan di pulau-pulau yang telah disepakati dalam perjanjian selama tidak mengambil hewan laut yang dilindungi.

Berdasarkan MoU Box 1974 itu, kawasan yang dibolehkan bagi para nelayan tradisional Indonesia adalah kepulauan karang Scott, Seringapatam, Pulau Browse, kepulauan karang Ashmore, Pulau Cartier dan perairan di sekitarnya.

Persoalan perlunya Australia melakukan perubahan-perubahan yang tepat terhadap pengaturan akses jangka panjang bagi para nelayan tradisional Indonesia di wilayah-wilayah yang disepakati MoU Box 1974 pernah diusulkan Dr.Meryl J.Williams.

Terus bekerja sama

Dalam laporan studinya yang dipublikasi Lembaga Kajian Kebijakan Internasional, Lowy Institute belum lama ini, Dr.Williams meminta Pemerintah Australia untuk terus bekerja sama dengan Indonesia dalam menciptakan pemahaman dan pendefinisan pola-pola pemakaian kapal ikan di wilayah konservasi yang disepakati dalam MoU Box 1974 itu.

Peneliti senior bidang perikanan dan pertanian Australia yang juga mantan Dirjen "WorldFish Center" itu melihat Indonesia sebagai "raksasa" di sektor perikanan dunia yang sumberdaya perikanan lautnya sudah hampir sepenuhnya dieksploitasi secara berlebihan.

Australia memberikan perhatian pada masalah perikanan dalam hubungan bilateralnya dengan Indonesia karena adanya isu "illegal fishing", pengelolaan ikan tuna, stok ikan yang berbagi, dan perdagangan ikan, katanya.

Persoalan "illegal fishing" berikut dengan kompleksitasnya itu telah mendorong Australia untuk terus memperkuat upaya pengamanan perairan utara dan baratlautnya guna melindungi potensi perikanannya yang relatif lebih terjaga baik.

Australia mengambil langkah pro-aktif dengan menambah jumlah kapal patroli serta meningkatkan kerja sama dengan Indonesia.

Pada 7 April lalu misalnya, Australia menambah satu kapal patroli milik Bea Cukai (ACS) untuk memperkuat pengamanan perairan baratlautnya dari kegiatan perusakan lingkungan taman laut, pencurian ikan, dan penyelundupan manusia.

Dalam operasinya, kapal sepanjang 35 meter dengan berat 339 ton itu ikut mengawal taman nasional kepulauan karang "Ashmore" dan Pulau Cartier yang hanya berjarak sekitar 150 kilometer selatan Pulau Rote, Indonesia.

Sesuai dengan namanya, "Ashmore Guardian" (Pengawal Ashmore), kapal berawak 10 orang ini dilaporkan beroperasi melindungi kawasan taman nasional seluas sekitar 750 kilometer persegi yang berjarak sekitar 320 kilometer dari pantai terdekat Benua Australia itu.

Dalam penanggulangan bersama kegiatan "illegal fishing" pun, Departemen Kelautan dan Perikanan RI dan ACS melakukan patroli bersama di perairan Laut Arafura seperti mereka lakukan dari 29 Oktober hingga 1 November 2007.

Pada patroli bersama yang didukung pesawat pengintai yang memasok data harian survelensi udara tentang kondisi kawasan yang menjadi lingkup operasi itu, ACS menurunkan kapalnya "Arnhem Bay", sedangkan DKP melibatkan kapal patroli "Macan 003" dan "Macan 004".

Menyadari bahwa masalah "illegal fishing" sangat berdimensi regional sebagaimana tampak dari kehadiran kapal-kapal pukat asing di Indonesia atau pun kehadiran nelayan-nelayan Indonesia di perairan Australia, kedua negara tampak berupaya mencari solusi atas tantangan bersama bagi kelestarian sumberdaya kelautan di kawasan Asia Pasifik.

Prakarsa bersama Jakarta dan Canberra itu kemudian diwujudkan dengan penyelenggaraan pertemuan tingkat menteri dari Australia, Indonesia, Brunei Darussalam, Kamboja, Timor Leste, RRC, Jepang, Malaysia, Papua Nugini, Singapura, Thailand, Filipina dan Viet Nam di Bali Mei 2007 lalu adalah bukti dari berjalannya prakarsa bersama kedua negara.

Upaya bersama Jakarta dan Canberra mengajak 11 negara lain untuk mencari solusi efektif atas praktik "illegal fishing" dan cara-cara eksploitasi lain yang berlebihan sehingga mengancam kelestarian sumberdaya perikanan kedua negara maupun kawasan Asia Pasifik secara umum itu dinilai positif untuk jangka menengah dan panjang.

Namun, persoalan yang tak kalah pentingnya adalah bagaimana kedua negara sedapat mungkin mengurangi kemungkinan terjadinya kesalahpahaman dan friksi sebagai ekses dari cara-cara penanganan aparat keamanan dan penegak hukum di lapangan.

Tanpa menutup-nutupi fakta bahwa banyak di antara para nakhoda kapal ikan Indonesia yang mungkin sengaja memasuki perairan Australia yang kaya sumberdaya ikannya, namun protes dan keluhan yang disuarakan La Bara dan banyak nakhoda kapal-kapal ikan Indonesia lainnya karena mereka merasa ditangkap aparat penegak hukum Australia di dalam wilayah Indonesia agaknya patut mendapat perhatian Canberra.

Persoalannya adalah rasa keadilan para nelayan yang bisa saja menjadi korban "salah-tangkap" itu hilang seketika kapal mereka ditangkap dan kemudian dibakar.

Seperti kebanyakan nelayan Indonesia pada umumnya, La Bara dan para nelayan lain yang kini ditahan di Darwin pun adalah "orang-orang kecil" yang bertahan hidup dengan berjuang mengais-ngais rezeki laut di tengah kehadiran kapal-kapal pukat harimau lokal maupun asing. Oleh Rahmad Nasution

*) My news-article for ANTARA on May 2, 2008

Tidak ada komentar: