Jonson Lumban Gaol
Meledaknya
jumlah penduduk dunia menyebabkan eksploitasi sumber daya alam secara
besar-besaran. Tahun 1960-an dicanangkanlah Revolusi Hijau, tetapi lahan
darat belum cukup untuk penyediaan pangan sehingga dekade berikutnya
dicanangkan Revolusi Biru untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya
laut.
Beruntung
70 persen wilayah Indonesia adalah laut yang menyimpan sejumlah besar
seperti sumber daya ikan, bahan tambang, air mineral, wisata bahari, dan
jasa lingkungan yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat.
Program
peningkatan produksi perikanan di Indonesia dimulai sejak tahun 1970-an
melalui kegiatan motorisasi penangkapan ikan. Tahun 1973 dioperasikan
kapal tuna longline di perairan ZEE Samudra Hindia dan tahun 1974
ratusan kapal purseine di Jawa Timur.
Saat
ini terjadi peningkatan jumlah kapal, yakni 790.000 unit, 49 persen di
antaranya adalah perahu motor (Statistik, 2007). Produksi dan jumlah
nelayan meningkat, tetapi produktivitas masih rendah, sekitar 4,5 kg per
nelayan per hari, jauh di bawah nelayan negara-negara maju sekitar 100
kg per nelayan per hari. Dengan demikian, pendapatan nelayan/petani ikan
sekitar Rp 15.000 per hari, jauh di bawah upah minimum.
Produksi
perikanan tangkap di Indonesia umumnya meningkat sekitar 3 persen per
tahun, tetapi di beberapa lokasi, seperti di wilayah selatan Jawa,
terjadi penurunan dan perlu diwaspadai. Tidak beroperasinya kapal-kapal
akibat naiknya harga bahan bakar minyak menjadi salah satu faktor
penurunan produksi (Kompas, 20/10/2005). Sementara itu, tingkat konsumsi
ikan masyarakat Indonesia baru 22 kg per kapita per tahun lebih rendah
dibandingkan dengan Thailand, 35 kg per kapita per tahun.
Pemanfaatan
sumber daya kelautan dan perikanan (KP) tidak hanya untuk mengejar
target produksi karena peningkatan produksi tidak selalu diikuti dengan
peningkatan pendapatan. Selain itu, peningkatan produksi yang tidak
memerhatikan aspek sustainability juga akan menjadi bom waktu ambruknya
kegiatan perikanan, karena itu fungsi pengelolaan berperan. Pedoman
pengelolaan perikanan berkelanjutan dan bertanggung jawab tertuang dalam
Code of Conduct for Responsible Fishing (CCRF) yang diadopsi FAO sejak
tahun 1995.
Indonesia
telah menuangkan implementasi CCRF dalam Undang-Undang Perikanan Nomor
31 Tahun 2004 Pasal 3 yang menyebutkan, tujuan pembangunan perikanan
antara lain (1) meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dan pembudidaya
ikan; (2) meningkatkan penerimaan dan devisa negara; (3) mendorong
perluasan kerja, ...; (8) mencapai pemanfaatan sumber daya ikan, lahan
pembudidayaan ikan, dan lingkungan sumber daya ikan secara optimal; (9)
menjamin kelestarian sumber daya ikan, lahan pembudidayaan ikan, dan
tata ruang.
Pemerintah
Indonesia telah menggariskan aneka kebijakan dan program untuk tujuan
itu, tetapi fungsi pengelolaan belum berjalan mulus. Pemerintah
kabupaten/ kota yang berwenang dalam pengelolaan garis pantai harus
aktif mengoptimalkan potensi secara lestari sesuai dengan karakteristik
wilayah masing-masing. Berdasarkan pengamatan lapangan Kepala PPN
Kejawenan Cirebon Ir Jainur, jika fungsi pengelolaan berjalan baik,
tujuan pembangunan perikanan akan tercapai.
Garam dan air laut dalam
Ironis.
Hingga kini, Indonesia masih mengimpor garam industri sekitar 1,5 juta
ton per tahun seharga Rp 600 miliar. Di sisi lain, kini dunia dihadapkan
pada krisis air bersih. Menurut World Water Forum, 1 dari 4 orang di
bumi kekurangan air.
Laut
dalam (> 200 meter) menjadi salah satu sumber air dan garam
berkualitas tinggi pada masa mendatang karena kandungan mineralnya
tinggi, bebas polusi dan bakteri, serta kandungan NaCl tinggi.
Dengan proses desalinasi, air dan garam dari air laut dalam (ALD) dipisah.
Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) telah mencanangkan program pengembangan ALD beberapa tahun lalu.
Upaya
pemanfaatan ALD di Indonesia telah dimulai melalui kerja sama antara
Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan IPB dan perusahaan Jepang, Kyowa,
dirintis Prof Bonar Pasaribu. Kegiatan eksplorasi di beberapa lokasi
sudah dilakukan dan kini produksi dengan kapasitas skala kecil telah
dimulai di Bali.
Percepatan Revolusi Biru
Optimalisasi
pemanfaatan sumber daya KP tidak lepas dari political will, ilmu
pengetahuan dan teknologi, serta sumber daya manusia. Kemauan politik di
bidang KP terlihat sejak dibentuknya DKP 10 tahun lalu. Dalam usia
muda, pencapaian tujuan pembangunan KP belum terlaksana optimal, karena
itu diperlukan dorongan khusus.
Terlepas
dari kekurangan, program Revolusi Hijau (Bimas) berhasil mencapai
swasembada beras. Pengalaman yang sama dapat diterapkan dalam percepatan
revolusi biru karena banyak sektor terlibat langsung dengan laut dan
harus bersinergi agar tujuan pembangunan kelautan dan perikanan.
Iptek dan SDM
Iptek
dan SDM akan amat berperan dalam mencapai tujuan Revolusi Biru.
Perkembangan iptek kelautan di dunia amat pesat. Mengingat laut yang
tidak mengenal batas-batas fisik, teknologi satelit oseanografi berperan
penting dalam pemantauan proses oseanografi. Data dari satelit itu
mulai dari kelimpahan fitoplankton, ekosistem terumbu karang, mangrove,
arah dan energi arus, tinggi gelombang, kecepatan angin, serta suhu.
Data dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan produktivitas nelayan,
pengaturan daerah penangkapan ikan, dan pemetaan distribusi larva ikan.
Data satelit altimeter digunakan untuk penentuan anjungan pengeboran
minyak dan alur pelayaran yang optimal.
Pelaku
kegiatan di sektor KP mayoritas adalah nelayan yang masih jauh dari
sentuhan teknologi sehingga perlu bimbingan dan penyuluhan. Terbatasnya
jumlah dan kemampuan penyuluh dapat diatasi melalui kerja sama dengan
program KKN mahasiswa yang berperan sebagai agen pembaruan. Program ini
dapat dilaksanakan berkesinambungan 10 sampai 20 tahun, dengan harapan
terjadi peningkatan tarap hidup nelayan.
Jonson Lumban Gaol Lektor Kepala; Dosen Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan FPIK IPB
Share on Facebook Share on Twitter
Tidak ada komentar:
Posting Komentar