Senin, 05 Mei 2014

DESTRUCTIVE FISHING DI PERAIRAN PROPINSI SULTRA

Oleh : Mukhtar, A.Pi, M.Si

Nelayan adalah kelompok masyarakat yang bermukim di kawasan pantai umumnya menggantungkan sumber kehidupan dari sektor kelautan dan perikanan. Dalam memanfaatkan sumberdaya kelautan dan perikanan sering kali terjadi eksploitasi secara besar-besaran namun tidak mempertimbangkan aspek kelestarian lingkungan. Persoalannya adalah cara-cara yang dilakukan selama ini seringkali bertentangan dengan prinsip-prinsip tata laksana perikanan yang bertanggungjawab (Code of Conduct for Responsible Fisheries - CCRF). Konkritnya sebagai nelayan tradisional telah melakukan penangkapan ikan dengan cara–cara destructive fishing salah satu bagain dari Illegal Fishing yaitu kegiatan menangkapan ikan yang dilakukan oleh masyarakat/nelayan dengan cara merusak sumberdaya ikan dan ekosistemnya seperti pemboman ikan, penggunaan racun sianida, pembiusan dan penggunaan alat tangkap ikan seperti trawl (pukat harimau) serta mengeksploitasi habitat laut yang dilindungi.
Destructive fishing merupakan kegiatan mall praktek dalam penangkapan ikan atau pemanfaatan sumberdaya perikanan yang secara yuridis menjadi pelanggaran hukum. Secara umum, maraknya destructive fishing disebabkan oleh beberapa faktor ; (1) Rentang kendali dan luasnya wilayah pengawasan tidak seimbang dengan kemampuan tenaga pengawas yang ada saat ini (2) Terbatasnya sarana dan armada pengawasan di laut (3) Lemahnya kemampuan SDM Nelayan Indonesia dan banyaknya kalangan pengusaha bermental pemburu rente ekonomi (4) Masih lemahnya penegakan hukum (5) Lemahnya koordinasi dan komitmen antar aparat penegak hukum.
1. Bentuk Destructive Fishing
Dari hasil pengamatan dan pemantauan yang dilakukan terhadap masyarakat pesisir, nelayan, anggota kelompok masyarakat pengawas, dan pemerintah kelurahan ditemukan beberapa komponen destructive fishing di daerah pesisir perairan Sulawesi Tenggara, yaitu :
1) Menggunakan bahan peledak dan bahan kimia seperti : bom (dengan bahan berupa pupuk (cap matahari, beruang,obor), bius (kalium cianida – KCn) dan Tuba (akar tuba).
2) Penangkapan ikan dengan trawl (pukat harimau).

Ø Destructive fishing dengan Bom




Gambar 1. Penggunaan Bom Untuk Menangkap Ikan
Penggunaan bahan peledak seperti bom dapat memusnahkan biota dan merusak lingkungan, penggunaan bahan peledak dalam penangkapan ikan di sekitar daerah terumbu karang menimbulkan efek samping yang sangat besar. Selain rusaknya terumbu karang yang ada di sekitar lokasi peledakan, juga dapat menyebabkan kematian biota lain yang bukan merupakan sasaran penangkapan. Oleh sebab itu, penggunaan bahan peledak berpotensi menimbulkan kerusakan yang luas terhadap ekosistem terumbu karang. Penangkapan ikan dengan cara menggunakan bom, mengakibatkan biota laut seperti karang menjadi patah, terbelah, berserakan dan hancur menjadi pasir dan meninggalkan bekas lubang pada terumbu karang. Indikatornya adalah karang patah, terbelah, tersebar berserakan dan hancur menjadi pasir, meninggalkan bekas lubang pada terumbu karang.
Gambar 2. Terumbu karang yang rusak akibat Penggunaan Bom
Ø Destructive fishing dengan Racun Sianida, Pembiusan
Bahan beracun yang sering dipergunakan dalam penangkapan ikan, seperti sodium atau potassium sianida. Penangkapan dengan cara ini dapat menyebabkan kepunahan jenis-jenis ikan karang, misalnya ikan hias, kerapu (tpinephelus spp.), dan ikan napoleon (Chelinus). Racun tersebut dapat menyebabkan ikan besar dan kecil menjadi "mabuk" dan mati. Disamping mematikan ikan-ikan yang ada, sisa racun dapat menimbulkan dampak negatif bagi kehidupan terumbu karang, yang ditandai dengan perubahan warna karang yang berwarna warni menjadi putih yang lama kelamaan karang menjadi mati. Indikatornya adalah karang mati, memutih, meninggalkan bekas karang yang banyak akibat pengambilan ikan di balik karang.
Gambar 3. Pembiusan ikan di Terumbu karang
secara umum terutama pada daerah-daerah yang mempunyai jumlah terumbu karang yang cukup tinggi, karena kebanyakan ikan-ikan dasar bersembunyi atau melakukan pembiakan pada lubang-lubang terumbu karang. Sedang pelaku pembius memasukkan/ menyemprotkan obat kedalam lubang dan setelah beberapa lama kemudian ikan mengalami stress kemudian pingsan dan mati, sehingga mereka dengan muda mengambil ikan.
Ø Destructive fishing dengan Trawl (Pukat Hariamau).
Pukat harimau (trawl) merupakan salah satu alat penangkap ikan yang digunakan oleh nelayan. Alat ini berupa jaring dengan ukuran yang sangat besar, memilki lubang jaring yang sangat rapat sehingga berbagai jenis ikan mulai dari ikan berukuran kecil sampai dengan ikan yang berukuran besar dapat tertangkap dengan menggunakan jaring tersebut. Cara kerjanya alat tangkap ditarik oleh kapal yang mana menyapu ke dasar perairan. akibat penggunaan pukat harimau secara terus menerus menyebabkan kepunahan terhadap berbagai jenis sumber daya perikanan seperti yang terjadi di perairan Bagan Siapi-Api Provinsi Sumatera Utara dan di Selat Tiworo Provinsi Sulawesi Tenggara.
Gambar 4. Kapal Trawl (Pukat Harimau) di Kab. Bombana Sultra.
Gambar 5. Pengoperasian Trawl (Pukat Harimau).
Pukat harimau (trawl) yang merupakan salah satu alat penangkap ikan saat ini telah dilarang di wilayah perairan Indonesia sesuai Keputusan Presiden RI No.39 Tahun 1980 tentang Penghapusan Jaring Trawl, namun pada kenyataannya masih banyak nelayan yang melanggar dan mengoperasikan alat tersebut untuk menangkap ikan. Indikatornya adalah karang mati, atau sulit bertahan hidup di daerah dimana nelayannya sering menggunakan pukat harimau untuk menangkap ikan.
Menurut data dari Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bombana terdapat 105 unit kapal dengan alat tangkap trawl yang beroperasi di perairan Selat Tiworo yang berasal dari daerah kecamatan Rumbia. Sedangkan nelayan yang menggunakan trawl sebanyak 127 orang (23 %) dari keseluruhan nelayan.
Namun Keberadaan trawl (pukat harimau) di Kabupaten Bombana hingga saat ini membawa dampak negatif yang sangat besar terhadap nelayan tradisional. Keberadaan nelayan trawl sangat menggangu nelayan lainnya dan tidak sedikit kerugian yang diderita oleh nelayan tradisional karena ulah nelayan trawl, dan yang paling menyedihkan adalah banyaknya alat tangkap bubu yang hilang setiap malam dan rusaknya alat tangkap lainnya seperti bagan dan sero karena tertabrak oleh kapal trawl, sehingga hampir seluruh nelayan tradisional dililit utang bukan karena hasil tangkapan kurang, melainkan alat tangkap mereka raib di perairan. Rata-rata alat tangkap bubu yang hilang setiap malamnya hingga mencapai 100 buah. Jika dirupiahkan harga 1 unit bubu adalah Rp. 15.000,-. Jadi kerugian nelayan setiap malamnya mencapai Rp. 1.500.000,-. Kondisi ini sudah berlangsung sejak tahun 1998.
Dampak keberadaan Trawl terjadinya perselisihan antara nelayan trawl dengan nelayan tradisional sudah berulangkali terjadi; bahkan sudah mengarah ke tingkat anarkis. Upaya melakukan perdamaian sudah sering dilakukan melalui pembagian jalur penangkapan tetapi kesepakatan ini selalu dilanggar oleh nelayan trawl. Kesepakatan tidak dibarengi dengan pengawasan, sehingga aksi penolakan terhadap trawl semakin gencar dilakukan oleh nelayan tradisional.
Kendala penghapusan trawl di Kabupaten Bombana mengalami kendala karena tidak adanya sarana pengawasan dan lemahnya penegakkan hukum, HNSI tidak memperlihatkan peranannya dalam menyelesaikan masalah ini bahkan HNSI sebagai wadah seluruh nelayan justru memperparah permasalahan ini, sehingga nelayan tradisional semakin tertindas. Jika kondisi ini dibiarkan, maka kemungkinan terjadi anarki antara nelayan trawl dengan nelayan tradisional.
2. Jenis Bahan Beracun dan Berbahaya (B3) Untuk Destructive Fishing
Berdasarkan temuan yang ditemukan terhadap pelaku destructive fishing bahan-bahan yang sering digunakan adalah :
Ø Bahan Beracun
- Potasium Cianida digunakan untuk penangkapan ikan didaerah karang, bahan ini biasa digunakan tukang mas.
- Racun hama pertanian seperti merek Dexon, Diazino, Basudin, Acodan digunakan untuk penangkapan ikan air tawar di sungai atau perairan umum, bahan ini sering digunakan didaerah transmigrasi dan masyarakat lain disekitar perairan umum.
- Deterjen digunakan untuk penangkapan ikan didaerah karang.
- Akar Tuba digunakan untuk penangkapan ikan didaerah karang.
- Tembakau digunakan untuk penangkapan ikan didaerah karang.
Ø Bahan Berbahaya
- Belerang korek api seperti merek Diponegoro, Segi tiga ungu digunakan untuk penangkapan ikan teri dan ikan karang.
- Pupuk urea seperti merek matahari, tiga obor dan tengkorak digunakan untuk penangkapan ikan didaerah karang dan permukaan. Bahan ini bersama korek api diatas diracik sebagai bahan peledak diisi dalam botol korek api sebagai sumbu bahan peledak.
- Aliran listrik (strom) digunakan untuk penangkapan ikan di sawah, kali-kali kecil dan daerah genangan air.
3. Penyebab Destructive Fishing
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan kami ini secara perorangan (pembom aktif dan non aktif), bahwa dalam beberapa faktor “Penyebab utama/alasan" atas pelaku terhadap kegiatan destructive fishing di salah satu daerah di pesisir perairan Provinsi Sulawesi Tenggara yaitu didaerah Pulau Wawonii dengan menggunakan bom ikan dan berupa racun (bius dan tuba), antara lain :
Ø Adanya Pelaku Bom dari Pihak Luar.
Ø Adanya Pengedaran Bahan Baku yang masuk
Ø Mereka dianggap sebagai Golongan Monoritas (Terabaikan)
Ø Kurangnya ketegasan sanksi hukum
Ø Merupakan Tradisi
4. Persepsi Masyarakat Terhadap Destructive Fishing
Kegitan destructive fishing seperti bom, bius dan tuba berpengaruh terhadap kelangsungan ekosistem laut dan pantai, terutama pada daerah yang memiliki terumbu karang. Kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan bom menyebabkan karang hancur, ikan-ikan kecil mati, bahkan kelangsungan jiwa dari pelaku juga dapat terancam bahkan sampai mati. Selain itu, kegiatan penggunaan bom juga dapat menyebabkan kegiatan budidaya ikan dalam keramba terganggu dan penggunaan obat bius dapat merusak pertumbuhan budidaya rumput laut berubah menjadi putih dan mati.
Dari wawancara dengan warga setempat, secara umum destructive fishing banyak ditentang oleh para nelayan dan ibu rumah tangga terutama nelayan kecil dan nelayan usaha budidaya (rumput laut dan keramba) untuk itu perlu ada upaya penyadaran terhadap mereka yang melakukan pemboman, bahkan kalau sudah pernah mendapatkan pembinaan kemudian melakukan lagi maka ditindak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.
Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat diatas, bahwa penangkapan ikan dengan cara destructive fishing (bom, bius, dan sejenisnya) adalah sangat tidak menguntungkan bagi kehidupan serta dapat menyebabkan kerusakan habitat laut yang pada akhirnya mempengaruhi lapangan kerja mereka. Hal ini terbukti dari pernyataan masyarakat sebagaimana pada tabel 1 sebagai berikut :
Tabel 1. Jenis dan Persentase Dampak destructive fishing (Bom, Bius dan Sejenisnya)
No
Jenis/Bentuk
Dampak Illegal Fishing
Jumlah Responden (orang)
Prosentase
(%)
1.
Memusnahkan/merusak/mematikan ikan/bibit ikan
10
25
2.
Mengancam jiwa/merusak badan
7
17,5
3.
Sulit mencari ikan (mengurangi mata pencaharian nelayan lain)
5
12,5
4.
Mengganggu usaha nelayan lain/merusak rumput laut
4
10
5.
Merusak karang/habitat laut
3
10
6.
Lebih banyak ikan terbuang dari pada hasil yang diperoleh
1
2,5
7.
Menjadi tradisi
6
15
8.
Tidak tahu
4
10
TOTAL
40
100






Sumber Data : Satker PSDKP Kendari 2007.
6. Strategi Penanganan Destructive Fishing
Secara umum penanganan destructive fishing yaitu cara :
Ø Meningkatkan ke­sadaran masyarakat melalui sosialisasi, penyuluhan atau penerangan terhadap dampak negatif yang diakibatkan oleh penangkapan ikan secara ilegal.
Ø Mencari akar penyebab kenapa destructive fishing itu dila­kukan. Apakah motif ekonomi atau ada motif lainnya. Setelah diketahui perma­salahan, upaya selanjutnya melakukan upaya preventif.
Ø Meningkatkan penegakan dan penaatan hukum.
Ø Meli­batkan masyarakat setempat dalam pengelolaan sumberdaya ikan.
Ø Perlu adanya dukungan kelembagaan dari pemerintah. Artinya harus ada yang mengurusi kasus ini.
Berdasarkan hasil pemantauan yang dilakaukan selama ini ditemukan destructive fishing dengan menggunakan bahan peledak dan kimia seperti Bom, Bius dan Tuba, Pukat Harimau (Trawl). Pencegahan terhadap penangkapan ikan dengan menggunakan bahan-bahan peledak dan kimia lainnya seperti bom ikan, Bius, Racun Cianida adalah bukan persoalan yang mudah, apalagi aktifitas ini sudah mengakar dan membudaya bagi kalangan nelayan tradisional. Beberapa strategi penanganan masalah, antara lain :
Ø Peningkatan Ekonomi Nelayan
Dari hasil wawancara terhadap masyarakat nelayan, termasuk pelaku bom aktif dan non aktif, bahwa apalagi kegiatan destructive fishing dilarang maka meraka harus di beri mata pencaharian alternatif yang bernilai ekonomis sesuai dengan bidang/pengetahuan dan keterampilan masyarakat dan dalam penyalurannya harus tepat sasaran, bukan hanya pada nelayan tertentu atau yang hanya dekat dengan pejabat. Sebab jika tidak, maka strategi yang terbangun tidak menyelesaikan masalah.
Beberapa mata pencaharian alternatif yang diusulkan oleh masyarakat nelayan, sebagai berikut :
­ Budidaya rumput laut
­ Budidaya ikan keramba Tancap.
­ Alat Penangkapan Bubu
­ Tambahan Modal Usaha Bagi Pedagang Ikan (Papalele antar Pulau)
Ø Penguatan Kelompok Masyarakat Pengawas
Kelompok masyarakat pengawas di Kelurahan Langara Laut di sebut ” Kelompok Masyarakat Pengawas Samudera – KMPS ”. Sesuai hasil wawancara dengan masyarakat setempat termasuk nelanyan pelaku bom yang sudah non aktif, bahwa keberadaan kelompok msyarakat pengawas yang dibina oleh Satker PSDKP Kendari sangat menekankan intensitas kegiatan destructive fishing di Kelurahan Langara Luat dan Kawasan perairan Pulau Wawonii secara umum
Sejalan dengan kegiatan kelompok masyarakat pengawas yang rata-rata mereka adalah nelayan yang berpendapatan rendah termasuk mantan pelaku bom ikan, maka pihak Satker PSDKP Kendari dan Instansi teknis terkait (Dinas Perikanan Provinsi dan Kabupaten Konawe) harus memperhatikan keberlangsungan usaha dan kehidupan mereka karena mereka selain tertanggung jawab menjaga laut selaku anggota pengawas, juga mereka tetap bekerja sebagai nelayan.
Untuk mendukung aktivitas kelembagaan kelompok pengawas dan kehidupan sosial ekonomi anggota, maka diperlukan bentuk-bentuk strategi penguatan sebagai berikut :
Ø Kerjasama Instansi Terkait (Tim Gabungan Terpadu)
Kelompok Masyarakat Pengawas Laut dan Pantai yang ada di Kelurahan Langara Laut, masih tergolong muda dan merupakan hal baru bagi sebangian masyarakat setempat, maka strategi gerakan yang diperlukan adalah kerja sama Instansi teknis terkait secara terpadu yang meliputi : (1) Unsur Kelompok Masyarakat Pengawas samudera (2) Kepolisian (3) ABRI (4) Angkatan Laut (5) Dinas Kelautan dan Perikanan (6) Anggota Satuan Pengawas Perikanan Satker PSDKP Kendari. Bentuk kegiatan kerjasama (Tim Gabungan Terpadu – TIGER) antara lain :
• Penegakan hukum secara merata (Pelaku bom ikan dan pengedar bahan baku
• Gerakan penyadaran
• Pelacakan Pengedaran dan Bahan Baku Bom Ikan dan sejenis
Ø Peningkatan Sarana dan Prasanan Pendukung Kelompok Masyarakat Pengawas
Dalam rangka peningkatan kinerja dan jangkauan operasi Kelompok Masyarakat Pengawas Samudera yang maksimal maka di butuhkan sarana dan prasarana yang antara lain :
· Alat transportasi yang mempunyai kapasitas GT yang lebih besar ketimbang yang dimiliki oleh pelaku bom (minimal kapal mesin tempel 40 PK). Sebagai contoh sewaktu Tim Satker PSDKP Kendari dan Anggota KMPS turun lapangan diperairan Langara Laut ada sekelompok orang yang siap akan melemparkan bom dan ketika kami mendekati, mereka melarikan diri dengan menggunakan bodi batang bermesin tempel sehingga tidak mungkin untuk mengejar pelaku karena perahu kami menggunakan mesin katinting.
· Radio (HT) 3 unit
· Handy come 1 unit
· Posko Pengawasan 1 unit
· Identitas (Atribut anggota).
Ø Penguatan Kapasitas Sosial Ekonomi Anggota Pengawas
Bentuk usaha ekonomi produktif yang diusulkan oleh anggota Kelompok Masyarakat Pengawas Samudera, yaitu :
· Alat tangkap ikan Bubu (100 Unit) + Kompresor (1 Unit)
· Kapal Ikan (kapal gai – bahasa lokal) 2 Unit
· Jaring Insang (10 Unit )
· Budidaya Rumput Laut
· Budidaya Ikan dalam keramba tancap.
Ø Pencegahan Pelaku Bom dari Pihak Luar.
Berdasarkan wawancara dengan masyarakat nelayan (Pelaku Bom aktif dan non Aktif) serta informasi dari pihak pemerintah Kelurahan Langara Laut, anggota Pokmaswas dan Petugas Satker PSDKP Kendari, bahwa pelaku bom ikan di Perairan Wawonii, bukan saja dari nelayan setempat, tetapi juga berasal dari desa-desa lain, seperti : Desa di Pulau Cempedak dan sekitarnya (Kec. Laonti) Kabupaten Konawe Selatan dan Desa Mekar, Bajo Indah dan Sekitarnya (Kec. Soropia) Kab. Konawe.
Berdasarkan informasi tersebut di atas, maka masyarakat nelayan di Kelurahan Langara Laut, menyarankan kepada Pemerintah agar bom ikan baik dari dalam maupun dari luar wilayah Wawonii perlu ditindak tegas (diberikan sanksi hukum yang sesuai dengan Undang-Undang Perikanan).
7. Penanganan Pelaku Destructive Fishing
Pelaku destructive fishing yang berada di pesisir Propinsi Sulawesi Tenggara tidak pernah jerah (kapok) atau takut dengan ancaman hukuman dan bahaya yang menyintai terhadap diri mereka. Sudah banyak kasus tewasnya pelaku karena terkena bom yang belum sempat dibuang atau banyaknya tersangka sudah diadili di pengadilan yang sudah mempunyai keputusan yang tetap.
Gambar 6. Korban Yang Tewas akibat bom ikan.
Gambar 7. Korban Yang Terpotong Tangan akibat bom ikan.
Selain itu banyak kasus destructive fishing yang ditangani oleh Satker PSDKP Kendari terlihat pada tabel dibawah ini :
Tabel 2. Penanganan Kasus Tindak Pidana Perikanan destructive fishing oleh Satker PSDKP Kendari.
NO
TAHUN
HANDAK (BOM)
BIUS
TRAWL
KET
1.
2002
1 Kasus (4 Orang)
-
-
Proses Hukum
2.
2003
-
-
5 Kasus
Proses Hukum
3.
2004
2 Kasus (2 Orang)
-
-
Proses Hukum
4.
2005
2 Kasus (2 Orang)
-
-
Proses Hukum
5.
2006
2 Kasus (2 Orang)
-
7 Kasus
Proses Hukum
6.
2007
1 Kasus (5 Orang)
-
3 Kasus
Proses Hukum
Sumber Data : Satker PSDKP Kendari 2007.
Selain itu banyak kasus yang ditanggani oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten/Kota, Kepolisian dan TNI Angkatan Laut yang belum ada datanya.
Tabel 3. Penanganan Kasus Tindak Pidana Perikanan destructive fishing oleh Instansi Lain.
NO
TAHUN
HANDAK (BOM)
BIUS
TRAWL
KET
1.
2000
24 Kasus (24 Org)
-
57 Kasus
Proses Hukum
2.
2001
12 Kasus (30 Org)
-
55 Kasus
Proses Hukum
3.
2002
3 Kasus (3 Org)
-
3 Kasus
Proses Hukum
4.
2003
-
-
-
Proses Hukum
5.
2004
11 Kasus (11 Org)
-
-
Proses Hukum
6.
2005
1 Kasus (1 Org
6 Kasus (6 Org)
-
Proses Hukum
7.
2006
5 Kasus (5 Org)
3 Kasus (3 Org)
-
Proses Hukum
8.
2007
3 Kasus (5 Org)
-
7 Kasus
Proses Hukum
Sumber Data : DKP Propinsi Sultra 2007.
(Mukhtar, A.Pi, M.Si, Kepala Satuan Kerja Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Kendari, Dosen Fakultas Perikanan Universitas Muhammadiah Kendari, Kepala SMKS Kelautan dan Perikanan Kendari, Pembina Yayasan Pelestarian Laut dan Pantai-Marine And Coastal Conservation Foundation Kendari, Penyidik Kasus-Kasus Perikanan, Pemerhati masalah Illegal Fishing dan Pembina Forum Illegal Fishing Indonesia). Email : mukhtar_api@yahoo.co.id Blog : http://mukhtar-api.blogspot.com

Tidak ada komentar: