Oleh : Mukhtar, A.Pi, M.Si
Nelayan
adalah kelompok masyarakat yang bermukim di kawasan pantai umumnya
menggantungkan sumber kehidupan dari sektor kelautan dan perikanan.
Dalam memanfaatkan sumberdaya kelautan dan perikanan sering kali terjadi
eksploitasi secara besar-besaran namun tidak mempertimbangkan aspek
kelestarian lingkungan. Persoalannya adalah cara-cara yang dilakukan
selama ini seringkali bertentangan dengan prinsip-prinsip tata laksana
perikanan yang bertanggungjawab (Code of Conduct for Responsible Fisheries - CCRF). Konkritnya sebagai nelayan tradisional telah melakukan penangkapan ikan dengan cara–cara destructive fishing salah satu bagain dari Illegal Fishing
yaitu kegiatan menangkapan ikan yang dilakukan oleh masyarakat/nelayan
dengan cara merusak sumberdaya ikan dan ekosistemnya seperti pemboman
ikan, penggunaan racun sianida, pembiusan dan penggunaan alat tangkap
ikan seperti trawl (pukat harimau) serta mengeksploitasi habitat laut
yang dilindungi.
Destructive fishing merupakan
kegiatan mall praktek dalam penangkapan ikan atau pemanfaatan
sumberdaya perikanan yang secara yuridis menjadi pelanggaran hukum.
Secara umum, maraknya destructive fishing disebabkan
oleh beberapa faktor ; (1) Rentang kendali dan luasnya wilayah
pengawasan tidak seimbang dengan kemampuan tenaga pengawas yang ada
saat ini (2) Terbatasnya sarana dan armada pengawasan di laut (3)
Lemahnya kemampuan SDM Nelayan Indonesia dan banyaknya kalangan
pengusaha bermental pemburu rente ekonomi (4) Masih lemahnya penegakan
hukum (5) Lemahnya koordinasi dan komitmen antar aparat penegak hukum.
1. Bentuk Destructive Fishing
Dari hasil pengamatan dan
pemantauan yang dilakukan terhadap masyarakat pesisir, nelayan, anggota
kelompok masyarakat pengawas, dan pemerintah kelurahan ditemukan
beberapa komponen destructive fishing di daerah pesisir perairan Sulawesi Tenggara, yaitu :
1) Menggunakan
bahan peledak dan bahan kimia seperti : bom (dengan bahan berupa pupuk
(cap matahari, beruang,obor), bius (kalium cianida – KCn) dan Tuba (akar
tuba).
2) Penangkapan ikan dengan trawl (pukat harimau).
Ø Destructive fishing dengan Bom
Gambar 1. Penggunaan Bom Untuk Menangkap Ikan
Penggunaan
bahan peledak seperti bom dapat memusnahkan biota dan merusak
lingkungan, penggunaan bahan peledak dalam penangkapan ikan di sekitar
daerah terumbu karang menimbulkan efek samping yang sangat besar. Selain
rusaknya terumbu karang yang ada di sekitar lokasi peledakan, juga
dapat menyebabkan kematian biota lain yang bukan merupakan sasaran
penangkapan. Oleh sebab itu, penggunaan bahan peledak berpotensi
menimbulkan kerusakan yang luas terhadap ekosistem terumbu karang.
Penangkapan ikan dengan cara menggunakan bom, mengakibatkan biota laut
seperti karang menjadi patah, terbelah, berserakan dan hancur menjadi
pasir dan meninggalkan bekas lubang pada terumbu karang. Indikatornya
adalah karang patah, terbelah, tersebar berserakan dan hancur menjadi
pasir, meninggalkan bekas lubang pada terumbu karang.
Gambar 2. Terumbu karang yang rusak akibat Penggunaan Bom
Ø Destructive fishing dengan Racun Sianida, Pembiusan
Bahan
beracun yang sering dipergunakan dalam penangkapan ikan, seperti sodium
atau potassium sianida. Penangkapan dengan cara ini dapat menyebabkan
kepunahan jenis-jenis ikan karang, misalnya ikan hias, kerapu
(tpinephelus spp.), dan ikan napoleon (Chelinus). Racun tersebut dapat
menyebabkan ikan besar dan kecil menjadi "mabuk" dan mati.
Disamping mematikan ikan-ikan yang ada, sisa racun dapat menimbulkan
dampak negatif bagi kehidupan terumbu karang, yang ditandai dengan
perubahan warna karang yang berwarna warni menjadi putih yang lama
kelamaan karang menjadi mati. Indikatornya adalah karang mati, memutih,
meninggalkan bekas karang yang banyak akibat pengambilan ikan di balik
karang.
Gambar 3. Pembiusan ikan di Terumbu karang
secara
umum terutama pada daerah-daerah yang mempunyai jumlah terumbu karang
yang cukup tinggi, karena kebanyakan ikan-ikan dasar bersembunyi atau
melakukan pembiakan pada lubang-lubang terumbu karang. Sedang pelaku
pembius memasukkan/ menyemprotkan obat kedalam lubang dan setelah
beberapa lama kemudian ikan mengalami stress kemudian pingsan dan mati,
sehingga mereka dengan muda mengambil ikan.
Ø Destructive fishing dengan Trawl (Pukat Hariamau).
Pukat
harimau (trawl) merupakan salah satu alat penangkap ikan yang digunakan
oleh nelayan. Alat ini berupa jaring dengan ukuran yang sangat besar,
memilki lubang jaring yang sangat rapat sehingga berbagai jenis ikan
mulai dari ikan berukuran kecil sampai dengan ikan yang berukuran besar
dapat tertangkap dengan menggunakan jaring tersebut. Cara kerjanya alat
tangkap ditarik oleh kapal yang mana menyapu ke dasar perairan. akibat
penggunaan pukat harimau secara terus menerus menyebabkan kepunahan
terhadap berbagai jenis sumber daya perikanan seperti yang terjadi di
perairan Bagan Siapi-Api Provinsi Sumatera Utara dan di Selat Tiworo
Provinsi Sulawesi Tenggara.
Gambar 4. Kapal Trawl (Pukat Harimau) di Kab. Bombana Sultra.
Gambar 5. Pengoperasian Trawl (Pukat Harimau).
Pukat
harimau (trawl) yang merupakan salah satu alat penangkap ikan saat ini
telah dilarang di wilayah perairan Indonesia sesuai Keputusan Presiden RI No.39 Tahun 1980 tentang Penghapusan Jaring Trawl, namun pada kenyataannya masih banyak nelayan yang melanggar dan mengoperasikan alat tersebut untuk menangkap ikan. Indikatornya
adalah karang mati, atau sulit bertahan hidup di daerah dimana
nelayannya sering menggunakan pukat harimau untuk menangkap ikan.
Menurut
data dari Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bombana terdapat 105
unit kapal dengan alat tangkap trawl yang beroperasi di perairan Selat
Tiworo yang berasal dari daerah kecamatan Rumbia. Sedangkan nelayan yang menggunakan trawl sebanyak 127 orang (23 %) dari keseluruhan nelayan.
Namun
Keberadaan trawl (pukat harimau) di Kabupaten Bombana hingga saat ini
membawa dampak negatif yang sangat besar terhadap nelayan tradisional. Keberadaan
nelayan trawl sangat menggangu nelayan lainnya dan tidak sedikit
kerugian yang diderita oleh nelayan tradisional karena ulah nelayan
trawl, dan yang paling menyedihkan adalah
banyaknya alat tangkap bubu yang hilang setiap malam dan rusaknya alat
tangkap lainnya seperti bagan dan sero karena tertabrak oleh kapal
trawl, sehingga hampir seluruh nelayan tradisional dililit utang bukan
karena hasil tangkapan kurang, melainkan alat tangkap mereka raib di
perairan. Rata-rata alat tangkap bubu yang hilang setiap malamnya hingga mencapai 100 buah. Jika dirupiahkan harga 1 unit bubu adalah Rp. 15.000,-. Jadi kerugian nelayan setiap malamnya mencapai Rp. 1.500.000,-. Kondisi ini sudah berlangsung sejak tahun 1998.
Dampak
keberadaan Trawl terjadinya perselisihan antara nelayan trawl dengan
nelayan tradisional sudah berulangkali terjadi; bahkan sudah mengarah ke
tingkat anarkis. Upaya
melakukan perdamaian sudah sering dilakukan melalui pembagian jalur
penangkapan tetapi kesepakatan ini selalu dilanggar oleh nelayan trawl.
Kesepakatan tidak dibarengi dengan pengawasan, sehingga aksi penolakan
terhadap trawl semakin gencar dilakukan oleh nelayan tradisional.
Kendala penghapusan trawl di Kabupaten Bombana mengalami kendala karena tidak adanya sarana pengawasan dan lemahnya penegakkan hukum,
HNSI tidak memperlihatkan peranannya dalam menyelesaikan masalah ini
bahkan HNSI sebagai wadah seluruh nelayan justru memperparah
permasalahan ini, sehingga nelayan tradisional semakin tertindas. Jika kondisi ini dibiarkan, maka kemungkinan terjadi anarki antara nelayan trawl dengan nelayan tradisional.
2. Jenis Bahan Beracun dan Berbahaya (B3) Untuk Destructive Fishing
Berdasarkan temuan yang ditemukan terhadap pelaku destructive fishing bahan-bahan yang sering digunakan adalah :
Ø Bahan Beracun
- Potasium Cianida digunakan untuk penangkapan ikan didaerah karang, bahan ini biasa digunakan tukang mas.
- Racun
hama pertanian seperti merek Dexon, Diazino, Basudin, Acodan digunakan
untuk penangkapan ikan air tawar di sungai atau perairan umum, bahan ini
sering digunakan didaerah transmigrasi dan masyarakat lain disekitar
perairan umum.
- Deterjen digunakan untuk penangkapan ikan didaerah karang.
- Akar Tuba digunakan untuk penangkapan ikan didaerah karang.
- Tembakau digunakan untuk penangkapan ikan didaerah karang.
Ø Bahan Berbahaya
- Belerang korek api seperti merek Diponegoro, Segi tiga ungu digunakan untuk penangkapan ikan teri dan ikan karang.
- Pupuk urea seperti merek matahari, tiga obor dan tengkorak digunakan untuk penangkapan ikan
didaerah karang dan permukaan. Bahan ini bersama korek api diatas
diracik sebagai bahan peledak diisi dalam botol korek api sebagai sumbu
bahan peledak.
- Aliran listrik (strom) digunakan untuk penangkapan ikan di sawah, kali-kali kecil dan daerah genangan air.
3. Penyebab Destructive Fishing
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan kami ini secara perorangan (pembom aktif dan non aktif), bahwa dalam beberapa faktor “Penyebab utama/alasan" atas pelaku terhadap kegiatan destructive fishing di
salah satu daerah di pesisir perairan Provinsi Sulawesi Tenggara yaitu
didaerah Pulau Wawonii dengan menggunakan bom ikan dan berupa racun
(bius dan tuba), antara lain :
Ø Adanya Pelaku Bom dari Pihak Luar.
Ø Adanya Pengedaran Bahan Baku yang masuk
Ø Mereka dianggap sebagai Golongan Monoritas (Terabaikan)
Ø Kurangnya ketegasan sanksi hukum
Ø Merupakan Tradisi
4. Persepsi Masyarakat Terhadap Destructive Fishing
Kegitan destructive fishing
seperti bom, bius dan tuba berpengaruh terhadap kelangsungan ekosistem
laut dan pantai, terutama pada daerah yang memiliki terumbu karang. Kegiatan
penangkapan ikan dengan menggunakan bom menyebabkan karang hancur,
ikan-ikan kecil mati, bahkan kelangsungan jiwa dari pelaku juga dapat
terancam bahkan sampai mati. Selain itu, kegiatan penggunaan bom juga dapat menyebabkan kegiatan budidaya ikan dalam keramba terganggu dan penggunaan obat bius dapat merusak pertumbuhan budidaya rumput laut berubah menjadi putih dan mati.
Dari wawancara dengan warga setempat, secara umum destructive fishing
banyak ditentang oleh para nelayan dan ibu rumah tangga terutama
nelayan kecil dan nelayan usaha budidaya (rumput laut dan keramba) untuk
itu perlu ada upaya penyadaran terhadap mereka yang melakukan pemboman,
bahkan kalau sudah pernah mendapatkan pembinaan kemudian melakukan lagi
maka ditindak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.
Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat diatas, bahwa penangkapan ikan dengan cara destructive fishing (bom, bius, dan sejenisnya) adalah sangat tidak menguntungkan bagi kehidupan serta dapat menyebabkan kerusakan habitat laut yang pada akhirnya mempengaruhi lapangan kerja mereka. Hal ini terbukti dari pernyataan masyarakat sebagaimana pada tabel 1 sebagai berikut :
Tabel 1. Jenis dan Persentase Dampak destructive fishing (Bom, Bius dan Sejenisnya)
No
|
Jenis/Bentuk
Dampak Illegal Fishing
|
Jumlah Responden (orang)
|
Prosentase
(%)
|
1.
|
Memusnahkan/merusak/mematikan ikan/bibit ikan
|
10
|
25
|
2.
|
Mengancam jiwa/merusak badan
|
7
|
17,5
|
3.
|
Sulit mencari ikan (mengurangi mata pencaharian nelayan lain)
|
5
|
12,5
|
4.
|
Mengganggu usaha nelayan lain/merusak rumput laut
|
4
|
10
|
5.
|
Merusak karang/habitat laut
|
3
|
10
|
6.
|
Lebih banyak ikan terbuang dari pada hasil yang diperoleh
|
1
|
2,5
|
7.
|
Menjadi tradisi
|
6
|
15
|
8.
|
Tidak tahu
|
4
|
10
|
TOTAL
|
40
|
100
|
|
|
|
|
|
|
Sumber Data : Satker PSDKP Kendari 2007.
6. Strategi Penanganan Destructive Fishing
Secara umum penanganan destructive fishing yaitu cara :
Ø Meningkatkan
kesadaran masyarakat melalui sosialisasi, penyuluhan atau penerangan
terhadap dampak negatif yang diakibatkan oleh penangkapan ikan secara
ilegal.
Ø Mencari akar penyebab kenapa destructive fishing itu
dilakukan. Apakah motif ekonomi atau ada motif lainnya. Setelah
diketahui permasalahan, upaya selanjutnya melakukan upaya preventif.
Ø Meningkatkan penegakan dan penaatan hukum.
Ø Melibatkan masyarakat setempat dalam pengelolaan sumberdaya ikan.
Ø Perlu adanya dukungan kelembagaan dari pemerintah. Artinya harus ada yang mengurusi kasus ini.
Berdasarkan hasil pemantauan yang dilakaukan selama ini ditemukan destructive fishing dengan
menggunakan bahan peledak dan kimia seperti Bom, Bius dan Tuba, Pukat
Harimau (Trawl). Pencegahan terhadap penangkapan ikan dengan menggunakan
bahan-bahan peledak dan kimia lainnya seperti bom ikan, Bius, Racun
Cianida adalah bukan persoalan yang mudah, apalagi aktifitas ini sudah
mengakar dan membudaya bagi kalangan nelayan tradisional. Beberapa strategi penanganan masalah, antara lain :
Ø Peningkatan Ekonomi Nelayan
Dari hasil wawancara terhadap masyarakat nelayan, termasuk pelaku bom aktif dan non aktif, bahwa apalagi kegiatan destructive fishing
dilarang maka meraka harus di beri mata pencaharian alternatif yang
bernilai ekonomis sesuai dengan bidang/pengetahuan dan keterampilan
masyarakat dan dalam penyalurannya harus tepat sasaran, bukan hanya pada
nelayan tertentu atau yang hanya dekat dengan pejabat. Sebab jika tidak, maka strategi yang terbangun tidak menyelesaikan masalah.
Beberapa mata pencaharian alternatif yang diusulkan oleh masyarakat nelayan, sebagai berikut :
Budidaya rumput laut
Budidaya ikan keramba Tancap.
Alat Penangkapan Bubu
Tambahan Modal Usaha Bagi Pedagang Ikan (Papalele antar Pulau)
Ø Penguatan Kelompok Masyarakat Pengawas
Kelompok
masyarakat pengawas di Kelurahan Langara Laut di sebut ” Kelompok
Masyarakat Pengawas Samudera – KMPS ”. Sesuai hasil wawancara dengan
masyarakat setempat termasuk nelanyan pelaku bom yang sudah non aktif,
bahwa keberadaan kelompok msyarakat pengawas yang dibina oleh Satker
PSDKP Kendari sangat menekankan intensitas kegiatan destructive fishing di Kelurahan Langara Luat dan Kawasan perairan Pulau Wawonii secara umum
Sejalan
dengan kegiatan kelompok masyarakat pengawas yang rata-rata mereka
adalah nelayan yang berpendapatan rendah termasuk mantan pelaku bom
ikan, maka pihak Satker PSDKP Kendari dan Instansi teknis terkait (Dinas
Perikanan Provinsi dan Kabupaten Konawe) harus memperhatikan
keberlangsungan usaha dan kehidupan mereka karena mereka selain
tertanggung jawab menjaga laut selaku anggota pengawas, juga mereka
tetap bekerja sebagai nelayan.
Untuk
mendukung aktivitas kelembagaan kelompok pengawas dan kehidupan sosial
ekonomi anggota, maka diperlukan bentuk-bentuk strategi penguatan
sebagai berikut :
Ø Kerjasama Instansi Terkait (Tim Gabungan Terpadu)
Kelompok Masyarakat Pengawas
Laut dan Pantai yang ada di Kelurahan Langara Laut, masih tergolong
muda dan merupakan hal baru bagi sebangian masyarakat setempat, maka
strategi gerakan yang diperlukan adalah kerja sama Instansi teknis
terkait secara terpadu yang meliputi : (1) Unsur Kelompok Masyarakat
Pengawas samudera (2) Kepolisian (3) ABRI (4) Angkatan Laut (5) Dinas
Kelautan dan Perikanan (6) Anggota Satuan Pengawas Perikanan Satker
PSDKP Kendari. Bentuk kegiatan kerjasama (Tim Gabungan Terpadu – TIGER) antara lain :
• Penegakan hukum secara merata (Pelaku bom ikan dan pengedar bahan baku
• Gerakan penyadaran
• Pelacakan Pengedaran dan Bahan Baku Bom Ikan dan sejenis
Ø Peningkatan Sarana dan Prasanan Pendukung Kelompok Masyarakat Pengawas
Dalam
rangka peningkatan kinerja dan jangkauan operasi Kelompok Masyarakat
Pengawas Samudera yang maksimal maka di butuhkan sarana dan prasarana
yang antara lain :
· Alat
transportasi yang mempunyai kapasitas GT yang lebih besar ketimbang
yang dimiliki oleh pelaku bom (minimal kapal mesin tempel 40 PK). Sebagai
contoh sewaktu Tim Satker PSDKP Kendari dan Anggota KMPS turun lapangan
diperairan Langara Laut ada sekelompok orang yang siap akan melemparkan
bom dan ketika kami mendekati, mereka melarikan diri dengan menggunakan
bodi batang bermesin tempel sehingga tidak mungkin untuk mengejar
pelaku karena perahu kami menggunakan mesin katinting.
· Radio (HT) 3 unit
· Handy come 1 unit
· Posko Pengawasan 1 unit
· Identitas (Atribut anggota).
Ø Penguatan Kapasitas Sosial Ekonomi Anggota Pengawas
Bentuk usaha ekonomi produktif yang diusulkan oleh anggota Kelompok Masyarakat Pengawas Samudera, yaitu :
· Alat tangkap ikan Bubu (100 Unit) + Kompresor (1 Unit)
· Kapal Ikan (kapal gai – bahasa lokal) 2 Unit
· Jaring Insang (10 Unit )
· Budidaya Rumput Laut
· Budidaya Ikan dalam keramba tancap.
Ø Pencegahan Pelaku Bom dari Pihak Luar.
Berdasarkan
wawancara dengan masyarakat nelayan (Pelaku Bom aktif dan non Aktif)
serta informasi dari pihak pemerintah Kelurahan Langara Laut, anggota
Pokmaswas dan Petugas Satker PSDKP Kendari, bahwa pelaku bom ikan di
Perairan Wawonii, bukan saja dari nelayan setempat, tetapi juga berasal
dari desa-desa lain, seperti : Desa di Pulau Cempedak dan sekitarnya
(Kec. Laonti) Kabupaten Konawe Selatan dan Desa Mekar, Bajo Indah dan
Sekitarnya (Kec. Soropia) Kab. Konawe.
Berdasarkan
informasi tersebut di atas, maka masyarakat nelayan di Kelurahan
Langara Laut, menyarankan kepada Pemerintah agar bom ikan baik dari
dalam maupun dari luar wilayah Wawonii perlu ditindak tegas (diberikan
sanksi hukum yang sesuai dengan Undang-Undang Perikanan).
7. Penanganan Pelaku Destructive Fishing
Pelaku destructive fishing yang
berada di pesisir Propinsi Sulawesi Tenggara tidak pernah jerah (kapok)
atau takut dengan ancaman hukuman dan bahaya yang menyintai terhadap
diri mereka. Sudah banyak kasus tewasnya pelaku karena terkena bom yang
belum sempat dibuang atau banyaknya tersangka sudah diadili di
pengadilan yang sudah mempunyai keputusan yang tetap.
Gambar 6. Korban Yang Tewas akibat bom ikan.
Gambar 7. Korban Yang Terpotong Tangan akibat bom ikan.
Selain itu banyak kasus destructive fishing yang ditangani oleh Satker PSDKP Kendari terlihat pada tabel dibawah ini :
Tabel 2. Penanganan Kasus Tindak Pidana Perikanan destructive fishing oleh Satker PSDKP Kendari.
NO
|
TAHUN
|
HANDAK (BOM)
|
BIUS
|
TRAWL
|
KET
|
1.
|
2002
|
1 Kasus (4 Orang)
|
-
|
-
|
Proses Hukum
|
2.
|
2003
|
-
|
-
|
5 Kasus
|
Proses Hukum
|
3.
|
2004
|
2 Kasus (2 Orang)
|
-
|
-
|
Proses Hukum
|
4.
|
2005
|
2 Kasus (2 Orang)
|
-
|
-
|
Proses Hukum
|
5.
|
2006
|
2 Kasus (2 Orang)
|
-
|
7 Kasus
|
Proses Hukum
|
6.
|
2007
|
1 Kasus (5 Orang)
|
-
|
3 Kasus
|
Proses Hukum
|
Sumber Data : Satker PSDKP Kendari 2007.
Selain
itu banyak kasus yang ditanggani oleh Dinas Perikanan dan Kelautan
Kabupaten/Kota, Kepolisian dan TNI Angkatan Laut yang belum ada datanya.
Tabel 3. Penanganan Kasus Tindak Pidana Perikanan destructive fishing oleh Instansi Lain.
NO
|
TAHUN
|
HANDAK (BOM)
|
BIUS
|
TRAWL
|
KET
|
1.
|
2000
|
24 Kasus (24 Org)
|
-
|
57 Kasus
|
Proses Hukum
|
2.
|
2001
|
12 Kasus (30 Org)
|
-
|
55 Kasus
|
Proses Hukum
|
3.
|
2002
|
3 Kasus (3 Org)
|
-
|
3 Kasus
|
Proses Hukum
|
4.
|
2003
|
-
|
-
|
-
|
Proses Hukum
|
5.
|
2004
|
11 Kasus (11 Org)
|
-
|
-
|
Proses Hukum
|
6.
|
2005
|
1 Kasus (1 Org
|
6 Kasus (6 Org)
|
-
|
Proses Hukum
|
7.
|
2006
|
5 Kasus (5 Org)
|
3 Kasus (3 Org)
|
-
|
Proses Hukum
|
8.
|
2007
|
3 Kasus (5 Org)
|
-
|
7 Kasus
|
Proses Hukum
|
Sumber Data : DKP Propinsi Sultra 2007.
(Mukhtar, A.Pi, M.Si,
Kepala Satuan Kerja Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan
Kendari, Dosen Fakultas Perikanan Universitas Muhammadiah Kendari,
Kepala SMKS Kelautan dan Perikanan Kendari, Pembina Yayasan Pelestarian
Laut dan Pantai-Marine And Coastal Conservation Foundation Kendari,
Penyidik Kasus-Kasus Perikanan, Pemerhati masalah Illegal Fishing dan
Pembina Forum Illegal Fishing Indonesia). Email : mukhtar_api@yahoo.co.id Blog : http://mukhtar-api.blogspot.com