Jumat, 16 Agustus 2013

Konservasi Terumbu Karang, Asa Alternatif Ekonomi Masyarakat Lokal

Pengelolaan kawasan konservasi perairan tidak terlepas dari pengelolaan sumberdaya ikan secara keseluruhan. Konservasi sumberdaya ikan adalah upaya melindungi melestarikan dan memanfaatkan sumberdaya ikan untuk menjamin keberadaan, ketersediaan dan kesinambungan jenis ikan bagi generasi sekarang maupun yang akan datang. Sebagai upaya konservasi wilayah perairan, pesisir dan pulau-pulau kecil, pemerintah telah menetapkan kebijakan penetapan target nasional konservasi laut yang disampaikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada pertemuan Convention on Biological Diversity (CBD) di Brazil tahun 2006, yaitu pencanangan target 10 juta hektar kawasan konservasi Laut pada tahun 2010, dan selanjutnya target 20 juta hektar pada tahun 2020, sebagaimana pernyataan Presiden mengenai Coral Triangle Initiative (CTI) dalam forum APEC Leaders Meeting di Sydney, 2007
Mandat CBD mengamanatkan setiap negara melaksanakan pengelolaan efektif kawasan konservasi perairan sebesar 10 (sepuluh) persen dari wilayah teritorial lautnya. Indonesia memiliki wilayah teritorial laut seluas lebih kurang 310 juta hektar,  komitmen Indonesia untuk mengelola 20 Juta Hektar Kawasan Konservasi pada tahun 2020 masih baru menjangkau sekitar 6 (enam) persen, belum memenuhi total 10 (sepuluh) persen wilayah teritorial yang terhitung mencapai tidak kurang dari 31 juta hektar. Komitmen konservasi tentu merupakan bentuk keberpihakan kepada masyarakat dan nelayan lokal, mengingat wilayah terumbu karang berada di kawasan perairan pesisir dan pulau-pulau kecil yang dapat dimanfaatkan untuk perikanan berkelanjutan bagi masyarakat, bukan untuk nelayan besar atau eksploitasi sumberdaya yang berlebihan. Dukungan kebijakan kebijakan nasional dalam pengembangan kawasan konservasi perairan dibuat secara menyeluruh dan terpadu serta mempertimbangkan desentralisasi dalam pelaksanaannya. Berbagai kebijakan, peraturan, pedoman terkait pengelolaan kawasan konservasi perairan telah dikembangkan. 
Paradigma baru pengelolaan kawasan konservasi perairan, pesisir dan pulau-pulau kecil, semakin memperkuat keberpihakan konservasi terumbu karang untuk kesejahteraan masyarakat lokal, paradigma ini paling tidak memuat dua hal penting, pertama: Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan diatur dengan sistem ZONASI. Paling tidak, ada 4 (empat) pembagian zona yang dapat dikembangkan di dalam Kawasan Konservasi Perairan, yakni: zona inti, zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan dan zona lainnya.  Zona perikanan berkelanjutan tidak pernah dikenal dan diatur dalam regulasi pengelolaan kawasan konservasi kawasan konservasi terdahulu baik menurut UU No. 5 tahun 1990 dan PP No. 68 tahun 1998. Kedua: Desentralisasi Kewenangan Pengelolaan, yakni pengelolaan kawasan konservasi yang selama ini menjadi kewenangan pemerintah pusat saja, kini berdasarkan UU No. 27 Tahun 2007 (Lebih lanjut, pengaturan mengenai kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil juga telah diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: Per.17/Men/2008) dan PP No. 60 Tahun 2007 serta Permen Men KP no Per.02/Men/2009, Pemerintah daerah diberi kewenangan dalam mengelola kawasan konservasi di wilayahnya. Hal ini sejalan dengan mandat UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 12 tahun 2008, khususnya terkait pengaturan pengelolaan wilayah laut dan konservasi.
Pengaturan sistem zonasi dalam pengelolaan kawasan konservasi serta perkembangan desentralisasi dalam pengelolaan kawasan konservasi, jelas hal ini merupakan pemenuhan hak-hak bagi masyarakat lokal, khususnya nelayan. Kekhawatiran akan mengurangi akses nelayan yang disinyalir banyak pihak dirasakan sangat tidak mungkin. Justru hak-hak tradisional masyarakat sangat diakui dalam pengelolaan kawasan konservasi. Masyarakat diberikan ruang pemanfaatan untuk perikanan di dalam kawasan konservasi (zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan, maupun zona lainnya), misalnya untuk budidaya dan penangkapan ramah lingkungan maupun pariwisata bahari dan lain sebagainya. Pola-pola seperti ini dalam konteks pemahaman konservasi terdahulu (sentralistis) hal ini belum banyak dilakukan. Peran Pemerintah pusat dalam konteks ini, hanya memfasilitasi dan menetapkan kawasan konservasi, sedangkan proses inisiasi, identifikasi, pencadangan maupun pengelolaannya secara keseluruhan dilakukan dilakukan sepenuhnya oleh pemerintah daerah. Hak-hak tradisional masyarakat adat sangat dijaga dalam pengelolaan konservasi kawasan yang dilakukan, pun demikian manfaat kawasan konservasi yang diperoleh sepenuhnya untuk kepentingan masyarakat lokal, seperti Contoh pengelolaan kawasan konservasi di Bintan, melalui program coremap telah dikembangkan mata pencaharian alternatif pengelolaan kepiting bakau di KKP-D. Hasilnya cukup lumayan, bahkan dapat dijadikan wisata saat pemanenannya (wisata kuliner/seafood kepiting). di Raja Ampat, dikelola dengan sistem Pungutan Konservasi berupa PIN bagi pengunjung KKP-D untuk kegiatan menyelam dll. Sistem buka tutup (sasi) yang dikembangkan di Kawasan Kawe - Raja Ampat telah memberikan hasil ekonomi yang signifikan bagi masyarakat. KKP tersebut ditutup 1 tahun dan dibuka di akhir periode, dengan hasil lebih Rp.1,5 juta hanya dalam waktu 1 minggu saja.
Terdapat sejumlah kegiatan ekonomi yang dilaksanakan oleh kelompok-kelompok masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi perairan di lokasi binaan COREMAP II, sebagaimana ditulis dalam “Konservasi sumberdaya Ikan berbasis Kearifan Lokal”. Diantaranya di wilayah barat, salah satu kegiatan ekonomi yang diminati dan memiliki prospek yang baik adalah budidaya perikanan. Jenis-jenis kegiatan budidaya perikanan tersebut antara lain; (i) pembesaran ikan kerapu, (ii) pembesaran kepiting bakau, dan (iii) pembesaran ikan lele. Kegiatan ini meskipun mempunyai siklus panen yang relatif panjang (rata-rata 3 s/d 8 bulan), tetapi dengan pengelolaan waktu yang efektif kegiatan budidaya ini tetap memberikan manfaat bagi kelompok-kelompok masyarakat yang melaksanakannya. Hingga tahun 2010 kegiatan pembesaran ikan kerapu, kepiting bakau dan ikan lele yang masih berjalan dan sedang dalam pengembangan adalah di Batam (pembesaran ikan kerapu), Lingga (pembesaran ikan kerapu), Bintan (kepiting bakau) dan ikan lele (Tapteng). Meskipun kegiatan pembesaran ikan kerapu di Batam belum memberikan peningkatan pendapatan secara langsung bagi kelompok-kelompok masyarakat, akan tetapi sejumlah kelompok masyarakat telah melakukan panen beberapa kali, yaitu di Pulau Mubud, Pulau Abang dan Pulau Karas. Secara umum, 1 kelompok masyarakat (1 KK) mendapat dukungan pembiayaan sebanyak Rp. 15 juta, dalam masa 8 bulan akan panen dengan hasil Rp. 15 juta. Hasil ini dibagi menjadi 3 bagian, yaitu Rp. 4 juta digunakan untuk membeli bibit baru, Rp. 3 juta digunakan untuk mencicil pinjaman, dan Rp. 8 juta digunakan untuk kebutuhan hidup keluarga selama 8 bulan, jadi rata-rata Rp. 1 juta perbulan. Saat proses pembesaran, anggota kelompok masyarakat ini telah menjalankan aktifitas penangkapan ikan dengan jadual yang tetap (seperti biasanya) karena pembesaran ikan kerapu tidak membutuhkan waktu yang banyak dalam pemeliharaannya. Hasil tangkapan yang kualitasnya bagus akan dijual dan selebihnya digunakan sebagai pakan. Pendapatan kelompok masyarakat menangkap ikan sekitar Rp 500 – Rp. 750 ribu perbulan. Untuk kegiatan pembesaran ikan lele di Tapteng mengalami perkembangan yang cukup pesat. Umumnya kelompok masyarakat mulai mengembangkan kegiatannya dengan menambah kolam yang tadinya hanya 1 unit sekarang menjadi 3 sampai 4 unit kolam dengan biaya sendiri. Investasi awal yang digunakan oleh setiap kelompok (1 KK) sekitar Rp. 3 juta. Dalam waktu 3 bulan, ikan peliharaan dipanen, dan dari panen diperoleh hasil rata-rata sebesar Rp. 400 – Rp. 600 ribu setiap unit kolam, sehingga dengan 3 unit kolam mereka memperoleh hasil rata-rata Rp. 1.200.000 – Rp. 1.600.000. Sebelum melakukan kegiatan pembesaran ikan lele anggota kelompok masyarakat memiliki aktifitas memancing dan berdagang dengan penghasilan rata-rata sebesar Rp. 600 ribu. Dengan adanya kegiatan pembesaran ikan lele ini, pendapatan kelompok masyarakat menjadi meningkat. Sementara kegiatan pembesaran kepiting bakau meskipun telah beberapa kali panen, tetapi hasilnya masih digunakan untuk pengadaan bibit dan pakan. Hal ini disebabkan karena kelompok masyarakat belum mampu meningkatkan kapasitas produksi. Beberapa faktor yang menyebabkan hasil panen tidak sesuai dengan perencanaan karena pencurian kepiting oleh monyet dan banyaknya kepiting yang lepas. Akan tetapi, kegiatan pembesaran kepiting bakau ini memiliki nilai lebih karena lokasi dan penataan tempatnya cukup baik, sehingga areal pembesaran dijadikan sebagai lokasi wisata dan edukasi bagi siswa sekolah. 
Berkembangnya kegiatan budidaya ikan kerapu di Batam dan budidaya ikan lele di Tapteng telah mampu mengispirasi masyarakat yang lainnya (di luar kelompok binaan COREMAP II) untuk mencoba bahkan menggeluti dengan lebih serius kegiatan budidaya ini secara swadaya (kemampuan sendiri). Kegagalan usaha yang selama ini menghantui masyarakat seakan sirna dan berganti dengan semangat serta keyakinan yang tinggi bahwa kegiatan budidaya ini akan memberikan keuntungan/manfaat yang besar bukan hanya secara ekonomi (pendapatan meningkat), tetapi juga akan memberikan jaminan kelestarian sumberdaya terumbu karang dan asosiasinya. Kelompok masyarakat di Pulau Mubud, Pulau Karas dan Pulau Abang secara kontinyu mengawasi serta menjaga lingkungan perairan agar terhindar dari pencemaran akibat tumpahan limbah kapal, rusak akibat praktek perikanan destruktif, sampah rumah tangga dan lain-lain, karena semuanya itu akan mengganggu kegiatan budidaya yang mereka lakukan. 
Tak berbeda dengan di wilayah barat, di wilayah timur terlaksana kegiatan budidaya yang cukup potensial seperti budidaya rumput laut di Kabupaten Biak Numfor, Buton, Sikka dan Wakatobi. Contohnya yang  telah dikembangkan oleh masyarakat di kawasan pulau Pai dan Nusi ,Kabupaten Biak sebagai mata pencaharian alternatif yang sangat digemari oleh masyarakat setempat. Hal ini  selain pemeliharaannya mudah, cepat panen juga ada yang menampung hasilnya. Selama ini masyarakat melakukan budidaya rumput laut hanya masih sebatas “pilot project” yang awalnya dibantu oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Biak.   Walaupun demikian masyarakat mulai bisa merasakan bahwa budidaya rumput laut ini cukup menjanjikan karena pasarnya sudah jelas.  Pada saat ini pengembangan rumput laut masih terbatas dari segi luasan maupun minat dan pengetahuan masyarakat akan budidaya rumput laut.  Oleh karena itu kedepan perlu penelitian yang lebih seksama pada daerah lain untuk pengembangannya yang secara lingkungan cukup potensial.  Kendala utama yang dihadapi masyarakat sekarang ini adalah masalah pengetahuan, sumber bibit dan modal awal.  Melalui program pengembangan mata pencaharian alternatif dalam pemngelolaan kawasan konservasi terumbu karang di wilayah COREMAP II, maka usaha ini bisa menjadi solusi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Salah satu kegiatan mata pencaharian alternatif yang dapat diandalkan di Kabupaten Raja Ampat adalah usaha ikan hidup di Kampung Manyaifun. Kegiatan ini dilakukan oleh Bapak Elias Maturuti. Kegiatan ini dilihat oleh pihak program cukup strategis untuk mengintervensi peminimalan cara tangkap yang tidak ramah lingkungan.  Melalui Pak Elias diminta untuk tidak membeli ikan dari nelayan yang melakukan penangkapan dengan cara yang tidak ramah dan ikut membantu menyampaikan pesan konservasi kepada para nelayan yang memasok ikan hidup. Adapun dana perolehan awal yaitu sebesar  Rp. 10.000.000,- di peruntukan penambahan modal pembelian ikan hidup terhadap masyarakat serta renovasi keramba penampung. Hal ini dirasakan sangat bermanfaat karena selama ini hanya mengandalkan modal sendiri yang jumlahnya pas-pasan sekarang telah terbantu dengan fasilitas yang mudah diakses serta mengerti kondisi obyektif di lapangan. Disamping itu adanya pembekalan secara informal yang dilakukan staf lapangan terhadap manajemen usaha yang baik sangat mempengaruhi jalanya usaha yang ditekuninya.
Kegiatan budidaya ikan hias dan ikan hidup  di Indonesia wilayah bagian Timur meskipun belum dimanfaatkan secara optimal, namun budidaya ini merupakan salah satu mata pencaharian alternatif di bagian zona perikanan berkelanjutan pada kawasan konservasi perairan yang potensial serta dapat membuat masyarakat pesisir untuk bersama-sama menjaga lingkungan ke arah yang lebih baik secara berkelanjutan. Selain di Kawasan Konservasi, kegiatan budidaya perikanan juga dilakukan di area pemanfaatan umum wilayah pesisir dan laut desa mereka. Oleh karena itu program COREMAP II II memfasilitasi masyarakat mengembangkan potensi ikan hias ini, salah satunya adalah di kabupaten Pangkep yang telah mampu menjalin jalur pemasaran dengan pihak eksportir di Jakarta. Sampai dengan tahun 2009, telah ada 3 kelompok nelayan di Pangkep dan 1 kelompok di Buton yang mengikuti program dan telah memiliki jaringan perdagangan dengan eksportir yang berstatus memiliki sertifikasi Marine Aquatic Council (MAC). Proses Sertifikasi untuk kedua lokasi dilaksanakan pada tahun 2010 lalu.
Kegiatan budidaya kepiting juga teah diupayakan di kawasan konservasi serta disekitar daerah perlindungan laut masyarakat pada lokasi program COREMAP II wilayah timur khususnya di Kab Biak dan Buton. Di Kabupaten Biak budidaya kepiting ini telah dicoba dan diusahakan oleh mayarakat kampung Mnurwar Distrik Oridek. Kegiata ini  cukup berhasil, namun kondisi prasarana pendukung seperti bahan keramba yang masih sederhana hanya menggunakan patok-patok bambu sehingga banyak kepiting yang akhirnya lolos.  Selain itu tingkat pengetahuan mereka tentang tehnik budidaya ini juga masih sangat terbatas.  Dari sisi pasar pada saat itu sudah terdapat permintaan secara kontinyu. Pengembangan budidaya ini belum optimal tetapi potensi usaha ini cukup besar. Ke depan budidaya ini perlu mendapat perhatian sebagai salah satu mata pencaharian alternatif yang cukup prospektif. Hal ini juga terjadi di Kabupaten Buton ,sehingga penguatan dan pengembangan dari berbagai pihak sangat dibutuhkan.
Dalam mendukung efektivitas pengelolaan kawasan konservasi, harapan ekonomi tak hanya berkembang di wilayah perairan dan sekitar kawasan konservasi saja. Usaha masyarakat di bidang perdagangan juga berkembang di beberapa wilayah COREMAP, salah satu contohnya di Raja Ampat. Perolehan dana alternative Income Generation ‘distrik Fund sejumlah Rp. 15.000.000,- telah merubah total kehidupan Bapak Ma Udin Kampung Yenwaupnor. Dengan bermodalkan semangat ingin membantu masyarakat kampung serta pengalaman kerja dagang kaki limanya di tambah dengan kepercayaan yang di berikan oleh petugas Lapangan Coremap II Kabupaten Raja Ampat, Bpk. Ma Udin dengan kiosnya telah dapat memenuhi kebutuhan masyarakat Kampung Yenwaupnor pada umunya dan dengan kiosnya pula Bpk. Ma Udin sekarang telah memperoleh Omzet Perbulan berkisar 15 Juta sampai dengan 25 juta perbulan dengan keuntungan bersih bisa mencapai 5 juta sebulan. Keberhasilan ini di peroleh dari pelayanan terhadap kebutuhan masyarakat yang berbanding lurus dengan kepentingan Bisnis. Selain kegiatan usaha kios Pak Ma Udin juga pembeli ikan asin dari masyarakat dengan memperhatikan harga yang saling menguntungkan dengan pihak penjual. Komitmen ini yang dipegang Pak Ma Udin untuk ikut mengembangkan ekonomi masyarakat setempat. Di desa Gerak Makmur kabupaten Buton juga telah berkembang kedai/warung yang menjual beberapa bahan pokok, mereka menyebutnya dengan ‘Kedai COREMAP’, kedai ini mampu menyuplai kebutuhan pokok masyarakat bahkan bahan bakar yang diperlukan oleh nelayan desa sekitarnya seperti desa Lapandewa Makmur, Burangasi, Lakaliba dan Lapandewa.
Tingkat partisipasi masyarakat yang tinggi untuk turut mengelola kawasan konservasi perairan yang dikelola pemerintah/pemerintah daerah di beberapa daerah sebagaimana dikemukakan tersebut,  jelas menganulir pernyataan pihak tertentu bahwa program konservasi terumbu karang yang dilakukan melalui program COREMAP membatasi akses nelayan tradisional dan mengabaikan kearifan lokal dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya laut. Pernyataan pihak dimaksud jelas tidak beralasan, contohnya di Wakatobi, dalam pelaksanaan COREMAP II, kolobarasi antara pemerintah daerah, masyarakat dan pengelola taman nasional Wakatobi berjalan dengan baik, masyarakat mempunyai ruang membuat DPL (Daerah Perlindungan Laut) di zona pemanfaatan tradisional Taman Nasional. Ada 28 DPL yang diinisiasi masyarakat di Wakatobi, kemudian secara keseluruhan lokasi program COREMAP II lebih dari 400 DPL telah diinisiasi dan dikelola oleh masyarakat lokal. Jadi tidak benar jika Masyarakat nelayan tidak dilibatkan dalam pembentukan pengelolaan konservasi wilayah pesisir. Proses pembentukan DPL-DPL di seluruh desa COREMAP II sejak awal diinisiasi masyarakat terlibat dan aktif berpartisipasi, proses identifikasi potensi desa, konsultasi publik, sampai pengesahan/penetapan oleh Desa seluruhnya berbasis masyarakat. Masyarakat secara partisipatif membuat peta/denah lokasi DPL, menyusun aturan pengelolaan yang kemudian dikukuhkan aturannya dalam Peraturan Desa (PERDES). Rencana pengelolaan terumbu karang (RPTK) yang merupakan petunjuk dan arahan bagi desa dalam mengelola DPL, disusun dan dibuat oleh masyarakat dengan dibantu oleh beberapa fasilitator.  DPL-DPL tersebut merupakan bagian “No Take Area” dari Kawasan Konservasi Perairan Kabupaten. Disamping itu, program COREMAP II telah memberikan perhatian khusus terhadap keberadaan Suku Bajo khususnya di wilayah Sulawesi Tenggara. Sebagai bagian proses pembelajaran, buku “Bajo Berumah di Laut Nusantara, telah diterbitkan oleh COREMAP II.
Beberapa penuturan cerita di atas, merupakan pembelajaran COREMAP II, dapat dilihat bahwa kegiatan-kegiatan mata pencaharian alternatif sangat penting dalam sebuah program yang mendorong perubahan perilaku masyarakat dalam memelihara alamnya serta mengelola kawasan konservasi terumbu karang yang lestari.  Para pelaku pencaharian alternatif ini dapat menjadi mitra pelaku konservasi, karena masyarakat akan memelihara alam jika mereka mendapat manfaat ekonomi dari alam itu. Sementara “Kedai COREMAP” tidak kalah membanggakan, karena kedai ini telah mampu menyuplai kebutuhan pokok masyarakat, bahkan bahan bakar untuk kebutuhan nelayan melaut. Berdasarkan paparan keberhasilan program mata pencaharian alternatif, maka pelibatan masyarakat sebagai mitra pelaku konservasi adalah upaya COREMAP untuk mengubah perilaku masyarakat dalam memelihara kelestarian ekosistem terumbu karang dan asosiasinya. Teramat jelas guratan asa alternatif ekonomi masyarakat lokal tergambar dari semangat dan upayanya melestarikan terumbu karang. Semoga upaya positif ini tetap terjaga untuk mewujudkan terumbu karang sehat, ikan berlimpah dan masyarakat yang sejahtera. (sji)
SURAJI
surajis.wordpress.com
http://suraji78.blogspot.com
http://suraji.s5.com
Kepala Seksi Perlindungan dan Pelestarian Kawasan
Head of Conservation Area Protection and Preservation
Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan, Ditjen KP3K - Kementerian Kelautan dan Perikanan
Directorate of Conservation Area and Fish Species, Directorate General of Marine, Coasts and Small Islands, Ministry of Marine Affairs and Fisheries. 
Jl. Medan Merdeka Timur No. 16, Gd. Mina Bahari III lt. 10 Jakarta Pusat. T./F. +62 21-3522045

Tidak ada komentar: