Minggu, 29 Juni 2008

Bila Pukat Harimau Dilegalkan Kembali

Pukat harimau akan dilegalkan kembali secara terbatas di tahun 2004 ini (Arief Satria ”Pukat Harimau Dilegalkan Kembali”, SH 23 Juni 2004). Yang dimaksud dengan ”terbatas” adalah harus ada izin dari Departemen Kelautan dan Perikanan, dan Pemda setempat serta memenuhi empat syarat. Keempat syarat itu: ìPertama, trawl yang dioperasikan hanya boleh dimiliki oleh nelayan tradisional, bukan nelayan modern. Kedua, hanya dioperasikan di daerah-daerah perbatasan. Ketiga, pengoperasiannya hanya pada zona empat mil dari pantai. Keempat, harus memperhatikan aspek konservasi. Artinya, harus ada closed season di mana trawl tidak boleh dioperasikan pada waktu ikan-ikan sedang bertelur.”

Penulis akan menganalisis keempat syarat DKP itu dalam dua tulisan berturut yang terbit hari ini dan besok, Sabtu (17/7). Syarat pertama bahwa hanya nelayan tradisional yang dibolehkan menggunakan trawl, sedangkan nelayan modern tidak, bisa menimbulkan kesulitan teknis dalam mengalokasikan mana yang ”tradisional” dan mana yang ”modern”. Sistem statistik perikanan Indonesia yang pertama kali dikembangkan oleh Dr. Tadashi Yamamoto, dalam buku pedoman ketentuan kerja dan terus dipakai hingga kini, tidak secara eksplisit mendefinisikan apa itu ”nelayan tradisional” dan apa itu ”nelayan modern”.
Klasifikasi usaha perikanan di sistem statistik perikanan kita mengacu kepada konsep rumah tangga atau perusahaan (RTP) perikanan sebagai sebuah unit ekonomi dan mengacu kepada besarnya usaha yang dicirikan oleh kepemilikan dan jenis ukuran kapal yang dipakai. Sebuah RTP disebut sebagai: (1) ”usaha skala kecil” jika RTP perikanan tersebut tidak memiliki perahu, memiliki perahu tanpa motor, dan memiliki perahu dengan motor tempel; (2) ”usaha skala menengah” jika memiliki kapal motor dengan ukuran kapal kurang dari 5 GT hingga 30 GT; dan (3) ”usaha skala besar” jika RTP tersebut memiliki kapal motor dengan ukuran kapal dari 30 GT hingga 200 GT ke atas.
Nah, dimanakah garis demarkasi ”tradisional-modern” akan diletakkan oleh DKP? Secara teknis, tidak mungkin kategori ”tradisional” untuk pengoperasian pukat harimau di sini diaplikasikan untuk kategori nelayan pemilik usaha skala kecil karena mereka tidak memiliki perahu/kapal dan andaikata pun memiliki hanya berupa perahu dengan motor tempel yang tidak cukup kuat untuk menarik jaring pukat harimau. Padahal justru, RTP perikanan laut kategori skala kecil inilah yang paling banyak jumlahnya di Indonesia.

Kuat dan Konsisten

Jika argumennya kini adaah ”memberdayakan” nelayan skala kecil untuk memiliki kapal-kapal ikan yang lebih besar ukurannya dan lebih kuat kemampuannya dari yang mereka miliki sekarang, maka pertanyaannya kini dari segi ekonomi, adakah ada dana yang kontinyu untuk menopang pemberdayaan capital cost ini? Dari segi ekologis, sudahkah dipastikan bahwa sumber daya stok ikan yang bersangkutan mampu dieksploitasi oleh tingkat pemberdayaan usaha penangkapan ikan (fishing effort) yang direncanakan? Adakah analisis ilmiah yang bisa mendukung ini?

Bila ternyata stok sumber daya yang ditargetkan tidak dapat mendukung besarnya effort yang diturunkan, maka yang terjadi adalah lebihnya kapasitas usaha perikanan (fishing overcapacity) yang kemudian berimplikasi kepada kondisi tangkap lebih (overfishing) dan tentunya memiliki dampak yang tidak sedikit dan bebannya akan ditanggung tidak hanya oleh generasi kini, tapi juga oleh generasi mendatang.

Syarat yang kedua bahwa pukat harimau hanya akan dioperasikan di daerah-daerah perbatasan juga tidak jelas batasannya. Apakah ini perbatasan antar dua propinsi, antar dua kabupaten, ataukah perbatasan antar dua negara. Perbatasan mana pun yang dikehendaki butuh instrumen monitoring, controlling, and surveillance (MCS) yang jelas, kuat dan konsisten.

Ini tidak hanya membutuhkan sumber daya manusia yang handal dan jujur, dukungan analisis ilmiah stok sumberdaya yang bisa dipakai sebagai acuan instrumen MCS, peralatan yang memadai dan rendah biaya perawatan, tapi juga dana operasional yang tidak sedikit. Adakah dana tangible yang cukup tersedia untuk ini?

Penulis menyebut tangible atau nyata ada agar kita yakin bahwa MCS ini pasti bisa jalan. Janganlah kita hanya mengharapkan atau mengandalkan dana yang sifatnya masih ”potensial” yang belum nyata kelanggengannya. Dalam kaitannya dengan semangat otoritas daerah, sanggupkah pihak pemerintah daerah yang akan melaksanakan pelegalan pukat harimau secara terbatas ini menjamin bahwa MCS di wilayah mereka bisa dilakukan secara efisien, konsisten dan bertanggung jawab?

Habitat Udang Alami

Syarat ketiga adalah bahwa pengoperasian trawl ini hanya untuk wilayah empat mil laut dari garis pantai juga dilematis, baik dari segi ekologis maupun sosial. Alasan utama mengapa pukat harimau beroperasi di wilayah perairan dekat pantai yang biasanya sekitar empat mil laut dari garis pantai, karena di sinilah letaknya habitat udang alami (wild shrimps, ini dibedakan dengan udang hasil budidaya tambak, farmed shrimps), target utama tangkapan trawl. Udang alami di perairan Indonesia, biasanya dari jenis udang windu (Penaeus monodon, dan P. semisulcatus) dan udang putih (Penaeus merguensis, dan P. indicus) hidup di habitat dasar laut (demersal) dekat dengan wilayah pantai. Terlebih-lebih lagi kalau wilayah pantai tersebut banyak hutan bakaunya.

Tidak bisa kita pungkiri bahwa udang, sebagaimana juga ikan dan hewan-hewan lainnya, tidak ”hidup sendiri” dan ”terisolir” satu sama lainnya. Dengan kata lain, secara ekologis, semua komponen hayati (biotik) dan non-hayati (abiotik) di laut berinteraksi satu dengan lainnya sebagai bagian dari sebuah kesatuan ekosistem laut yang utuh dan ini merupakan hukum alam. Bila satu bagian komponen ekosistem terkena dampak tertentu, maka akan mempengaruhi kesetimbangan alami dari ekosistem yang bersangkutan.

Banyak penelitian yang membuktikan bahwa peningkatan upaya penangkapan ikan (fishing effort) yang sangat intensif di tingkat top predators dalam jangka waktu tertentu bisa menghasilkan keuntungan ekonomi, namun akan tiba saatnya dimana kegiatan penangkapan ikan tersebut menjadi tidak memungkinkan karena jumlah hewan-hewan atau ikan-ikan top predators sudah sangat menurun drastis dan tidak menguntungkan lagi secara ekonomis untuk terus mempertahankan tingkat fishing effort yang bersangkutan.

Pada akhirnya target fishing effort pun beralih ke ikan-ikan di trophic level di bawahnya, dan begitu seterusnya, skenario eksploitasi berulang, hingga ke tingkat trophic level yang paling di bawah letaknya. Fenomena ini disebut sebagai ‘fishing down the marine food web’ (FDMFW) (Pauly et al. 1998) dan ditinjau dari kacamata ekologi laut dan konservasi laut, merupakan sebuah fenomena tragedi perikanan laut yang terus berulang di mana-mana. Tulisan ini merupakan bagian akhir dari dua tulisan yang telah diturunkan SH, Jumat (16/7) kemarin.

Akibat dari interaksi-interaksi ekologis sebagaimana disebutkan di atas, maka berkelanjutannya dan meningkatnya fishing effort di tingkat trophic level bawah, macam intensifnya penangkapan udang alami setelah FDMFW berlangsung, tidak akan memberikan kesempatan bagi ikan-ikan atau hewan-hewan lainnya di tingkat trophic level di atasnya untuk bisa pulih. Hal ini disebabkan karena hewan-hewan di tingkat trophic level bawah merupakan mangsa bagi hewan-hewan di tingkat trophic level di atasnya, dan seterusnya keterkaitan ekologis berlangsung hingga ke tingkat trophic level yang paling atas (top predators).
Bila para manajer perikanan laut kita tidak menyadari akan pentingnya keseimbangan dan keterkaitan ekologis di ekosistem laut kita, maka bukan mustahil, kebijaksanaan perikanan laut yang dicanangkan justru akan mendorong timbulnya dan terus dipertahankannya fenomena FDMFW yang selanjutnya akan mengancam keanekaragaman hayati sumber daya kelautan kita.


Adapun syarat terakhir atau keempat yang diungkapkan di artikel tersebut adalah bahwa ‘penggunaan pukat harimau secara terbatas ini harus memperhatikan aspek konservasi. Artinya, harus ada ’closed season’ di mana trawl tidak boleh dioperasikan pada waktu ikan-ikan sedang bertelur’. Sungguh ini merupakan syarat yang bersifat paradoks, dan berikut penulis berikan tiga alasan mengapa ini paradoks.

Kerusakan di Dasar Laut

Yang pertama, pada umumnya pukat harimau yang dipakai untuk menangkap udang adalah jenis alat tangkap pukat harimau dasar atau bottom trawling (karena udang merupakan hewan yang hidup di dasar laut) yang mana didalam pengoperasiannya memiliki sifat merusak terhadap dasar perairan yang dikeruknya. Hal ini disebabkan ada kontak fisik langsung antara substrat dasar laut yang dihuni oleh berbagai biota dengan: papan otter yang memiliki berat puluhan hingga ribuan kilogram; dan tali dasar jaring pukat yang dilengkapi oleh roda-roda besi (bobbins) yang memiliki berat puluhan hingga ratusan kilogram dan berfungsi untuk ”menggelindingkan” jaring pukat harimau di dasar laut pada saat ditarik oleh kapal.

Watling dan Norse (1998) dalam studinya yang menarik perhatian kalangan ilmuwan dan industri kelautan dan perikanan di akhir tahun 1990-an, menganalogikan kerusakan yang disebabkan oleh pukat harimau dasar dengan kerusakan yang disebabkan oleh penebangan hutan secara total (forest clearcutting). Lain halnya dengan hutan yang kerusakannya bisa langsung dilihat dengan mata, maka kerusakan yang disebabkan oleh pukat harimau ”tersembunyi” di dasar laut, sehingga sering terlewatkan dan tidak disadari hingga akhirnya semuanya terlambat.

Rusaknya struktur habitat dasar laut ini meliputi kerusakan terhadap struktur hayati (misalnya struktur komunitas hewan sepon, karang lunak, dan padang lamun) maupun struktur non-hayati (misalnya karang bebatuan, pasir dan lumpur).

Yang kedua, selain dampak kerusakan fisik yang ditimbulkan oleh pukat harimau, sifat pukat harimau terhadap target tangkapan juga tergolong non-selektif. Artinya, walaupun yang ingin ditangkap udang, tapi jenis-jenis hewan laut lainpun (baik itu ikan maupun mamalia laut) yang tidak dikehendaki dan merupakan hasil tangkapan sampingan (by-catch) akan tertangkap juga.
Biasanya karena pertimbangan faktor ekonomis (ketersediaan ruang di palka kapal, penghematan konsumsi bahan bakar, dsb.), sebagian besar by-catch dari pukat harimau dibuang kembali ke laut (discard). Penelitian tentang by-catch dan discard ini sulit untuk dilakukan karena biasanya armada trawl tidak akan mau melaporkan secara jujur jumlah by-catch dan discard mereka.
Namun menurut pernyataan yang dikeluarkan oleh UNEP), secara global, rasio rata-rata antara udang dan hewan non-target pada penangkapan dengan trawl biasanya berkisar antara 5:1 untuk perairan daerah beriklim sedang (temperate zone) dan 10:1 atau lebih untuk perairan daerah tropis. Artinya untuk setiap satu kilogram udang alami yang ditangkap, ada sekitar 5 hingga 10 kilogram atau lebih by-catch yang tertangkap dan biasanya dibuang kembali ke laut sebagai discards.

Protein Laut

Bandingkan besarnya pemborosan sumber daya protein laut dari discard ini dengan data FAO yang menyatakan konsumsi ikan rata-rata rakyat Indonesia di tahun 1998 hanya 16,3 kg/kapita/tahun). Dampak fisik yang merusak struktur habitat dasar laut dan dampak by-catch dan discards terhadap hewan non-target maupun aspek pemborosan protein laut ini bisa kita simpulkan sebagai dampak kolateral (collateral impacts) dari pengoperasian pukat harimau. Dengan demikian pukat harimau harus dioperasikan dengan memperhatikan aspek konservasi terdengar sangat paradoksial karena adanya dampak kolateral ini.
Yang ketiga, perairan Indonesia dianugerahi dengan jenis-jenis species ikan laut yang terkaya di dunia, dengan jumlah species ikan laut yang sudah tercatat sekitar 3.206 dan merupakan kurang lebih sepertiga dari seluruh species ikan di dunia (Daws dan Fujita 1999). Di lain pihak, dari lebih 3.000 species ikan laut ini, hanya 44 kelompok jenis ikan demersal dan pelagis yang diidentifikasi sebagai kelompok ikan ekonomis penting menurut sistem statistik perikanan kita (Dwiponggo 1987).

Mengacu kepada syarat keempat yang diajukan DKP bahwa ”penggunaan pukat harimau secara terbatas ini harus ada closed season di mana trawl tidak boleh dioperasikan pada waktu ikan-ikan sedang bertelur”, maka tantangannya sekarang apakah kita sudah mampu mengetahui karakteristik siklus hidup (termasuk pengetahuan tentang kapan saja musim bertelurnya) ikan-ikan dari yang 44 kelompok ekonomis penting ini?

Oleh Eny Anggraini Buchary adalah peneliti bidang manajemen perikanan laut dan ekologi laut di Fisheries Centre, The University of British Columbia, Vancouver, Canada; dan sedang menyelesaikan program S3 di universitas tersebut. Copyright © Sinar Harapan Sabtu, 17 Juni 2008.

IDENTIFIKASI ILLEGAL FISHING DI PULAU WAWONII

IDENTIFIKASI ILLEGAL FISHING DI PULAU WAWONII

KAB. KONAWE SULAWESI TENGGARA

Nelayan adalah kelompok masyarakat yang bermukim di kawasan pantai umumnya menggantungkan sumber kehidupan dari sektor kelautan dan perikanan. Dalam memanfaatkan sumberdaya kelautan dan perikanan sering kali terjadi eksploitasi secara besar-besaran namun tidak mempertimbangkan aspek kelestarian lingkungan. Persoalannya adalah cara-cara yang dilakukan selama ini seringkali bertentangan dengan prinsip-prinsip tata laksana perikanan yang bertanggungjawab (Code of Conduct for Responsible Fisheries - CCRF). Konkritnya sebagai nelayan tradisional telah melakukan penangkapan ikan dengan cara–cara yang illegal fishing, seperti penggunaan bom ikan, racun Cianida, bius, serta mengeksploitasi habitat laut yang dilindungi.

Illegal fishing merupakan kegiatan mall praktek dalam penangkapan ikan atau pemanfaatan sumberdaya perikanan yang secara yuridis menjadi pelanggaran hukum. Secara umum, maraknya illegal fishing disebabkan oleh beberapa faktor ; (1) Rentang kendali dan luasnya wilayah pengawasan tidak seimbang dengan kemampuan tenaga pengawas yang ada saat ini (2) Terbatasnya sarana dan armada pengawasan di laut (3) Lemahnya kemampuan SDM Nelayan Indonesia dan banyaknya kalangan pengusaha bermental pemburu rente ekonomi (4) Masih lemahnya penegakan hukum (5) Lemahnya koordinasi dan komitmen antar aparat penegak hukum.

Berdasarkan Misi Satuan Kerja Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Kendari Direktorat Jenderal Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan bersama dengan Yayasan Pelestarian Laut dan Pantai - Marine And Coastal Conservation Foundation (MCCF) melaksanakan identifikasi illegal fishing di Kelurahan Langara Laut Pulau Kecamatan Wawonii Barat Kabupaten Konawe, dengan tujuan adalah :

Ø Untuk mengidentifikasi bentuk-bentuk dan penyebab, serta pelaku illegal fishing yang dilakukan masyarakat nelayan.

Ø Untuk mengetahui persepsi masyarakat tentang illegal fishing dan dampaknya.

Ø Menyusun strategi dan rencana aksi kegiatan penanggulangan dampak negatif dan penyebab Illegal fishing.

Hasil yang diharapkan dalam pelaksanaan kegiatan ini, adalah :

Ø Diperoleh informasi bentuk-bentuk dan penyebab serta pelaku kegiatan illegal fishing.

Ø Hasil identifikasi tentang persepsi masyarakat mengenai dampak kegiatan illegal fishing.

Ø Rancangan strategi aksi pengendalian dampak kegiatan illegal fishing

Ø Menjadi acuan pemerintah dalam perencanaan program dan pengambilan kebijakan pelestarian laut dan pantai.

Dalam studi investigasi masalah Illegal fishing sebagai salah satu kegiatan mall praktek dalam sistem penangkapan ikan yang dilakukan masyarakat nelayan Pulau Wawonii dan berdampak luas pada ekosistim laut dan pantai. Kondisi seperti ini perlu mendapatkan perhatian dari semua pihak, termasuk pemerintah, LSM, Perguruan Tinggi dan masyarakat Permasalahan illegal fishing dapat ditempuh dengan pendekatan ilmiah (Scientific Crime Approach). Kerangka kerja ilmiah ini dapat dilakukan melalui langkah :

1. Observasi lokasi yaitu mengamati kondisi objektif daerah identifikasi.

2. Menetapkan/penarikan sampling yaitu teknik penarikan sampling dengan cara random. Sampel frame terdiri dari : pelaku, masyarakat, kelompok masyarakat pengawas, perangkat Kelurahan.

3. Wawancara/Interviuw yaitu melalui wawancara terhadap responden dengan menggunakan angket untuk mengumpulkan data primer dan sekunder.

4. Pengolahan/Identifikasi data yaitu data yang diperoleh dilapangan diolah dengan cara deskriftif kualitatif.

Bentuk, Penyebab dan Pelaku Illegal Fishing

Dari hasil pengamatan dan wawancara yang dilakukan terhadap responden (masyarakat biasa, nelayan, anggota kelompok masyarakat pengawas, dan pemerintah kelurahan), ditemukan 2 (dua) komponen kegiatan illegal fishing di Kelurahan Langara Laut, yaitu :

1) Menggunakan bahan peledak dan bahan kimia seperti: bom (dengan bahan berupa pupuk cap matahari, beruang, obor), bius (Kalium Cianida - KCn) dan Tuba (akar tuba).

2) Pelanggaran Administrasi.

Illegal Fishing dengan Bom, Bius dan Tuba.

Kegiatan Illegal fishing dengan menggunakan bom di perairan Wawonii secara umum dilakukan oleh nelayan Langara Laut serta nelayan dari luar, seperti : Pulau Cempedak Kecamatan Laonti Kabupaten Konawe Selatan, Desa Mekar, Bajo Indah, Bokori dan Pulau Saponda Kecamatan Soropia Kabupaten Konawe.

Kegiatan penangkapan dengan bius dan tuba berlangsung di perairan Langara laut dan Wawonii secara umum terutama pada daerah-daerah yang mempunyai jumlah terumbu karang yang cukup tinggi, yang memiliki potensi ikan-ikan dasar. Sedang pelaku pembius memasukan/menyemprotkan obat ke sela–sela karang setelah beberapa lama kemudian ikan mengalami stress, pingsan dan mati, sehingga mereka dengan mudah mengambil ikan.

Penyebab Illegal Fishing

Berdasarkan hasil identifikasi secara perorangan (pembom aktif dan non aktif), bahwa ada beberapa faktor “Penyebab utama/alasan “ atas pelaku terhadap kegiatan Illegal fishing di Kelurahan Langara Laut dengan menggunakan bom ikan dan berupa racun (bius dan tuba), antara lain :

Ø Adanya Pelaku Bom dari Pihak luar.

Pelaku bom dari pihak luar sangat berpengaruh terhadap nelayan lokal seperti: nelayan Pulau Cempedak, Desa Mekar, Bajo Indah, dan Saponda. Sehingga mereka turut ikut-ikutan walaupun mereka sudah tahu, bahwa kegiatan ini sangat beresiko (ancaman jiwa akibat bom dan mendapat hukuman jika didapat oleh petugas).

Ø Adanya pengedar bahan baku yang masuk di Kelurahan Langara Laut.

Adanya pengedar bahan baku berupa pupuk dari luar daerah (Kabupaten Buton), sangat besar pengaruhnya terhadap aktivitas illegal fishing. Hal ini terbukti saat Tim MCCF melakukan identifikasi, bersamaan dengan ditangkapnya 15 karung pupuk (bahan baku bom ikan) yang disuplai oleh seseorang dari Wanci Kabupaten Buton. Informasi awal tertangkapnya pelaku pengedar ini adalah atas laporan kelompok masyarakat pengawas. Dari kasus ini, menunjukkan bahwa secara nurani, penduduk lokal sudah tidak senang atau siap membantu pemerintah dalam pengawasan terhadap kelestarian lingkungan perairan.

Ø Tingkat Pendidikan Masyarakat rendah

Ø Mereka dianggap sebagai golongan minoritas (terabaikan).

Oleh karena beberapa program pemberdayaan masyarakat dari pemerintah hanya diberikan pada nelayan pedagang (kaya) atau yang hanya dekat dengan pejabat pemerintah maka ada istilah yang populer dikalangan mereka yaitu “ Siapa yang dekat dengan api itu yang merasakan panasnya “ atau siapa yang dekat dengan orang pemerintah mereka yang akan mendapatkan bantuan. Tetapi, apabila ada permintaan sumbangan mereka juga dibebankan (mereka etnis Bajo tersisihkan), dengan demikian mereka merasa kecewa hal ini terbukti dari 25 orang responden yang ditemui oleh Tim MCCF, mereka sama sekali belum pernah menerima sentuhan tambahan modal, bahkan ditemukan beberapa orang nelayan hanya menggunakan 1 (satu) mata pancing untuk menangkap ikan.

Ø Kurangnya ketegasan sanksi hukum.

Mereka tahu, bahwa kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan bom ikan atau sejenisnya adalah sebagai pelanggaran, tetapi selama ini cukup banyak pelaku pemboman termasuk pengedar bahan baku bom tidak diberi sanksi yang tegas (dan bahkan pengedar bahan baku bom terkesan dilindungi).

Ø Merupakan Kebiasaan

Kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan bom dan sejenisnya telah berlangung sejak lama yang mulai semenjak usia remaja (menjadi kebiasaan ) dan berhenti apabila telah mengalami kecelakaan, kesadaran sendiri atau ancaman dari pihak istri.

Pelaku Illegal Fishing

Adanya penduduk pendatang pada tahun 70-an dan tinggal di pesisir pantai Langara. Mereka penduduk lokal dilatih merakit bom ikan dengan tujuan untuk mendapatkan ikan secara cepat. Disamping pelaku dari nelayan lokal juga ada beberapa pelaku dari daerah lain yaitu dari Bajo Indah, Mekar, Cempedak, Saponda dan Bokori.

Illegal Fishing Tanpa Surat Izin

Berdasarkan peraturan pemerintah, bahwa salah satu ketegori penangkapan ikan secara illegal fising adalah penggunaan kapal untuk penangkapan ikan yang tidak memiliki surat izin usaha perikanan, surat izin penangkapan ikan maupun surat izin pengangkutan ikan. Untuk itu pihak-pihak yang terkait perlu mendata ulang secara menyeluruh kapal-kapal yang beroperasi sehingga dapat diketahui keberadaannya yang pada akhirnya akan mendatangkan pendapatan daerah. Berdasarkan data dari Kelompok Masyarakat Pengawas Samudra, terdapat ± 300 Unit kapal ikan di Kelurahan Langara Laut tanpa memiliki Izin ( sebagian besar milik pengusaha luar) dengan menggunakan tenaga nelayan lokal. Karakteristik penangkapan ikan tanpa izin, antara lain :

o Tanpa dokemen awal ( PAD)

o Menangkap ikan secara bebeas (semua jenis dan ukuran)

o Alat tangkap ikan yang digunakan tidak dapat dikontrol

o Jumlah kapal ikan lokal dan dari pihak luar yang beroperasi di perairan Wawonii tidak diketahui jumlahnya.

o Tidak membayar retribusi.

Persepsi Masyarakat Terhadap Illegal Fishing

Kegitan illegal fishing seperti bom, bius dan tuba berpengaruh terhadap kelangsungan ekosistem laut dan pantai, terutama pada daerah yang memiliki terumbu karang. Kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan bom menyebabkan karang hancur, ikan-ikan kecil mati, bahkan kelangsungan jiwa dari pelaku juga dapat terancam bahkan sampai mati. Selain itu, kegiatan penggunaan bom jaga dapat menyebabkan kegiatan budidaya ikan dalam keramba terganggu dam penggunaan obat bius dapat merusak pertumbuhan budidaya rumput laut berubah menjadi putih dan mati.

Dari wawancara dengan warga setempat, secara umum illegal fishing banyak ditentang oleh para nelayan dan ibu rumah tangga terutama nelayan kecil dan nelayan usaha budidaya (rumput laut dan keramba) untuk itu perlu ada upaya penyadaran terhadap mereka yang melakukan pemboman, bahkan kalau sudah pernah mendapatkan pembinaan kemudian melakukanna lagi maka ditindak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Adapun pandangan masyarakat terhadap kegiatan illegal fishing dapat dilihat pada tabel 2 dibawah ini:

No.

Nama Responden

Umur (Thn)

L/P

Jenis Mata Pencaharian/ Pekerjaan

Pandangan Dampak Illegal Fishing (Bom, Bius, Tuba)

1

BIRSON

58

L

Mancing ikan, ex. Panglima Bom, Kepala Lingkungan III

Merusk karang, mengancam jiwa

2

NAJAMUDDIN

53

L

Mancing ikan, menyuluh udang, ex. Pelaku bom, pembawa misi bom di wawonii thn 1970

Merusak biota laut, merusak diri sendiri

3

ARFA

30

L

Mancing ikan, papalele antar pulau

Merusak nyawa ikan, merusak badan

4

LA MUSE

38

L

Mancing ikan, papalele antar pulau, pelaku bom

Merusak karang, merusak ikan, merusak badan

5

NDILI

30

L

Budidaya rumput laut, mancing rawe

Merusak badan, merusak agar-agar, membunuh ikan

6

DJAFAR

71

L

Mancing, menyuluh udang, ex. Pelakun bom.

Merusak karang, mematikan anak ikan, berbahaya bagi badan

7

BUDU. R

57

L

Budidaya rumput laut, mancing ikan, ex. Pelaku bom

Merusak karang, merusak ikan

8

NAHABA

60

L

Pancing ikan/perahu dayung, ex. Pelaku bom

Merusak karang, ikan-ikan kecil mati, tangan terpotong

9

NAHASA

38

P

Budidaya rumput laut

Mematikan agar-agar

10

YANTI ( Janda)

22

P

Menganggur

Hancur badan, rusak karang

11

SAMALIA

27

P

Budidaya rumput laut

Merusak agar-agar

12

MASTIA

25

P

Papalele lokal

Merusak karang

13

SURYANI

24

P

Papalele lokal

Mematikan ikan kecil

14

BOYANG

32

L

Pancing ikan

Mematikan karang dan ikan

15

SUARDI

27

L

Pancing ikan, papalele antar pulau

Merusak karang, merusak ikan

16

IMA. B

23

P

Papalele

Merusak karang dan ikan

17

WAIYA

27

P

Papalele

Merusak karang dan ikan

18

YONI

18

P

Usaha ikan kering

Merusak karang dan ikan

19

BOYANG

27

L

Mancing ikan

Merusak karang dan ikan

20

ENGKANG

32

L

Mencing ikan, pelaku bom.

Merusak badan dan ikan

Berdasarkan hasil wawancara dengan responden diatas, bahwa penangkapan ikan dengan cara illegal fishing (bom, bius, dan sejenisnya) adalah sangat tidak menguntungkan bagi kehidupan serta dapat menyebabkan kerusakan habitat laut yang pada akhirnya mempengaruhi lapangan kerja mereka. Hal ini terbukti dari pernyataan responden sebagaimana pada tabel 3 sebagai berikut :

Tabel 3. Jenis dan Persentase Damapak Illegal Fishing (Bom, Bius dan Sejenisnya) Berdasarkan Pandangan Responden di Kelurahan Langara Laut

No

Jenis/Bentuk

Dampak Illegal Fishing

Jumlah Responden (orang)

Prosentase

(%)

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

Memusnahkan/merusak/mematikan ikan/bibit ikan

Mengancam jiwa/merusak badan

Sulit mencari ikan (mengurangi mata pencaharian nelayan lain)

Mengganggu usaha nelayan lain/merusak rumput laut

Merusak karang/habitat laut

Lebih banyak ikan terbuang dari pada hasil yang diperoleh

Menjadi tradisi

Tidak tahu

10

7

5

4

3

1

6

4

25

17,5

12,5

10

10

2,5

15

10

TOTAL

40

100

Pengirim : Mukhtar, A.Pi

Kepala Satker PSDKP Kendari

http://mukhtar-api.blogspot.com

www.p2sdkpkendari.com

PENANAMAN MANGROVE DITELUK KENDARI.

PENANAMAN MANGROVE DITELUK KENDARI.

Ekosistem sumberdaya kelautan dan perikanan di perairan Teluk Kendari Kota Kendari Propinsi Sulawesi Tenggara cukup banyak manfaatnya terutama dalam menunjang kegiatan pembangunan, oleh sebab itu dalam pemanfatannya perlu di lakukan secara optimal dan berkelanjutan.

Dalam pemanfaatan Ekosistem di Perairan Teluk Kendari Kota Kendari Propinsi Sulawesi Tenggara dan Sekitarnya adalah ekosistem Hutan Bakau, umumnya digunakan untuk kegiatan pertambakan, tambat labuh kapal, Pariwisata, dan lain-lainnya.

Berkaitan dengan hal tersebut diatas dan memperhatikan kebijakan pemerintah bahwa pemanfaatan ekosistem diarahkan pada optimalisasi kegiatan kelautan dan perikanan yang bertanggung jawab, berdaya guna dan berhasil guna dengan tetap menjaga kelestarian sumberdaya kelautan dan perikanan dan lingkungannya, serta mendukung program pengawasan dan pengendalian pengelolaan ekosistem, maka pemerintah pusat dalam hal ini Satuan Pengawas Perikanan PPS Kendari perlu melaksanakan kegiatan Operasi Pelestarian Mangrove di Teluk Kendari untuk pengawasan ekosistem laut yaitu cara melakukan penanaman bibit Mangrove diperairan Teluk Kendari dan sekitarnya.

Kegiatan operasi Pelestarian Mangrove di Teluk Kendari Kota Kendari Propinsi Sulawesi Tenggara dan sekitarnya dimaksudkan untuk melestarikan Ekosistem Mangrove di Teluk Kendari.

Adapun tujuan kegiatan tersebut adalah melakukan penanaman bibit pohon mangrove di daerah yang sudah tidak ada pohon mangrovenya karena sudah ditebang oleh masyarakat dan memberikan contoh pada masyarakat untuk melakukan pelestarian ekosistem mangrove dengan rasa tanggung jawab dengan tetap menjaga kelestarian Ekosistem Mangrove dan lingkungannya.

Adapun Pengertian Mangrove adalah Jenis pohon khusus yang dapat hidup pada tanah (campuran pasir dan lumpur) atau rawa asin (payau). Jenisnya seperti api-api, lolaro, posi-posi dan ting. Habitat mangrove disebut juga hutan bakau merupakan gabungan berbagai tumbuhan, terutama pohon-pohon mangrove yang hidup disepanjang garis pantai, pada daerah pasang surut, yang berfungsi pelindung daratan dari erosi oleh ombak, penyaring pencemaran organik dan kimia sehingga perairan terumbuk karang dan padang lamun tetap bersih.

Pelaksanaan Kegiatan operasi pelestarian Mangrove di Teluk kendari Kota Kendari Propinsi Sulawesi Tenggara dan sekitarnya dilaksanakan selama 60 (enam puluh) hari yang dilakukan oleh Satuan Pengawas Perikanan PPS Kendari bekerjasama dengan Yayasan Pelestarian Laut dan Pantai (MCCF) berhasil menanam pohon mangrove sebanyak 1000 pohon.

Pelaksanaan Penanaman bibit pohon mangrove dilaksanakan berkoordinasi dengan aparat Kelurahan Puday dan Kepala Sekolah Menengah Tingkat Pertama (SMP) 14 Kelurahan Puday Kota Kendari dimana ditempat itu dilakukan penanaman.

Pengirim : Mukhtar, A.Pi

Kepala Satker PSDKP Kendari

http://mukhtar-api.blogspot.com

www.p2sdkpkendari.com